“Danu, ya Allah, Nak. Kamu lama sekali berangkat pagi pulang sore begini,” kata ibu dibuat-buat.“Iya, kan, namanya juga lagi mau bisnis, Bu. Jadi ya, gini. Duh, senengnya ya, sekarang Mas Danu sama Mbak Ita bakalan jadi orang kaya,” sahut Bu Jum si ratu gosip.“Aamiin ... doakan saja, ya, Bu,” jawabku.“Asih! Sih, bawa sini dulu itu tadi yang kita masak, Nak!” teriak ibu.Aku yakin mereka mau memberi kami makanan lagi.“Nah, Danu. Lihat itu. Tadi Ibu minta tolong sama suami Bu Jum untuk membuat aliran air ke rumah kamu, biar kami sama Ita ke kamar mandinya tidak jauh. Tenang sudah tidak nimba. Pakai sanyo,” cicit ibu.Kami terbengong.“Semunya habis 500 ribu rupiah, Nak. Ongkos suami Bu Jum 100 ribu rupiah.” Nah, kan, benar filingku.Ck, ibu tidak akan kehabisan akal untuk mendapatkan uang dari Mas Danu.“Asih! Cepetan!” teriak ibu lagi.“Sabar, Bu. Ih, teriak-teriak terus!” jawab Mbak Asih kesal.“Mbak Lili ke mana, Bu?” tumben dia enggak ikut nimbrung bareng kakak dan ibunya.“Ada
“Heh, pelakor ngapain kamu manggil-manggil aku!” bentak Mbak Asih.“Berani sekali perempuan tidak tahu diri itu datang lagi ke sini!” ucap ibu kesal giginya sampai bergemeletuk.“Sebaiknya hati-hati Mbak, itu mbak Desi bawa gunting,” kataku mengingatkan.“Halah enggak takut aku! Mau bawa pedang atau bedil sekalian!” Tantang Mbak Asih."Iya, Sih, hati-hati dia itu wanita gil4!" umpat ibu.“Kurang ajar kamu, ya, Sih! Ikut campur masalahku!” teriak Mbak Desi lagi. Dia masih berdiri di tempat.“Masalah mana? Aku enggak merasa, tuh!” sahut Mbak Asih santai.“Hah! Kamu sudah merusak rencanaku! Kamu bantu Mas Eko untuk kembali lagi pada istrinya. Kamu kurang ajar!” Mbak Desi seperti kesetanan dia lari menyerang Mbak Asih.Aku dan ibu teriak histeris dan meminta tolong. Mbak Asih dan Mbak Desi terlibat perkelahian. Aku takut Mbak Desi melukai pakai gunting yang dia bawa.“Aaaa tolong!”“Tolong!”Aku dan ibu terus berteriak minta tolong barang kali ada orang lewat.Ada Mas Danu, tapi karena ko
“Astaghfirullah!” Kami beristighfar.“Cukup jelas bukan Mas? Kalau kamu diguna-guna sama dia!” ucap Mbak Lili lagi. Mas Eko terlihat syok.“Ck, apa bedanya dengan kamu! Sok suci! Kamu pun mendatangi dukun itu!” sindir Mbak Desi.“Ha-ha aku mendatangi dukun itu membantu adikku melepas peletnya dari kamu!” sahut Mbak Asih.Aku tentu saja kaget ternyata mereka berdua main dukun. Apa iya, mereka berdua omongannya bisa dipercaya.“Kurang ajar!” Awas kamu, Asih!” Mbak Desi hendak menyerang Mbak Asih lagi, tapi Mas Eko gesit menyekal tangan Mbak Desi.“Kamu jahat Mas!” Kini Mbak Desi berbalik marah pada Mas Eko.“Aku sudah menalakmu, Des. Aku juga sudah berbaik hati mengantarkan kamu pulang baik-baik, tapi kenapa kamu masih saja ke sini, bikin keributan di sini. Malu dilihat tetangga,” ucap Mas Eko.“A—aku ... hamil Mas,” jawab Mbak Desi lirih, tapi cukup membuat kami semua terkejut.“Apa! Jangan ngadi-ngadi dah! Tunggu di sini aku mau ke aptoik beli test pack!” titah Mbak Asih.Dia lari k
“Buruan, ih, lelet banget!” bentak Mbak Asih karena Mbak Desi jalannya lama sekali.Kami semua deg-degan menunggu hasil. Mbak Asih mencelupkan test pack ke dalam air seni Mbak Desi.Dua menit hasil sudah kelihatan. Mbak Desi terlihat girang.“Tuh, kan Mas ... aku hamil.” Ucap Mbak Desi senang. Mbak Lili kesal dia lari pulang.“Kita tetap cerai, Des. Aku tidak mencintaimu apalagi setelah tahu kamu guna-guna aku. Tenang saja aku tetap menafkahi anak itu.” Mas Eko menyusul Mbak Lili sedang Mbak Desi dicuekin.“Rasain! Makanya jadi perempuan enggak usah kegatelan!” ejek Mbak Asih dan berlalu menyusul Mbak Lili.“Anak masih bayi sudah hamil lagi, repot sendiri, kan? Gatel sih!” sahut ibu.Mbak Desi menangis, aku dan Mas Danu bingung mau ngapain. Sebenarnya tidak tega, tapi aku juga tidak boleh gegabah membawa dia masuk ke rumah.“Mbak, ini ada ongkos untuk pulang, besok kalau sudah pada tenang boleh kembali lagi ke sini,” ucap Mas Danu dia memberikan dua lembar uang merah pada Mbak Desi.“
Awalnya Wira cuek karena Mas Danu yang memanggil, tapi setelah dia melihatku langsung menghampiri.“Mbak, ya Allah, kok bisa sampai sini?” tanya Wira padaku. Dia sama sekali tidak menyapa Mas Danu.“Iya, Wir, ini Mbak sama Mas Danu—““Apa kalian bekerja juga di kota ini? Kasihan sekali kamu Mbak,” ucap Wira memotong omonganku. Dia melirik sinis pada Mas Danu.“Tidak Wir, kami ke sini belanja. Itu belanjaanya masih di masukkan ke mobil,” jawabku sambil menunjuk mobil juragan ikan.Wira mengerutkan keningnya pasti dia heran dan tidak menyangka. “Mbak disuruh siapa belanja sebanyak itu?” tanyanya lagi.“Tidak ada yang menyuruh, itu belanjaan kami. Alhamdulillah kami mau buka toko di pasar induk kecamatan tempat tinggal Mbak.” Wira kaget lalu melihat Mas Danu tidak percaya.Sebenarnya aku takut Mas Danu mau berbalik mengejek, tapi dia tidak melakukan itu. Mas Danu memang benar-benar orang baik.“Sayang, kok kamu berdiri di situ lama banget. Siapa dia?” tanya seorang gadis yang tadi ngobro
Assalamualaikum selamat pagi semuanya. Teman-teman apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan bahagia selalu. Oh, ya, follow akunku, ya? Terima kasih 🥰🌸🌸🌸“Bu, beli beras yang lima kilogram 1 karung, telur 1 kg ....”“Ini Mbak. Semuanya 68 ribu rupiah." Bu warung seperti biasa selalu tersenyum manis padaku meski aku biasanya belanja hanya seliter atau setengah kilogram beras dan terlur 1 butir.“Ini uangnya.” Kuberikan uang 100 ribu rupiah pada Bu warung.“Ita, sekarang kalau belanja duitnya merah-merah semua, sudah berbagi belum tu, sama mertuanya?” Komentar Bu Jum, aku tadi pas belanja enggak ada dia, ini kenapa dia tiba-tiba ada di sini.“Alhamdulillah, kalau Ibu ikut senang, berarti Ita sekarang sudah ada banyak kemajuan hidupnya. Roda kehidupan itu berputar Bu, jadi jangan suka menghina orang,” jawab Bu warung.“Ck, kamu itu mentang-mentang Ita belanja di sini kamu belain. Eh, tapi ... Ita masih punya hutang sama Ibu mertuanya 200 ribu rupiah. Masa duit banyak enggak b
“Danu suamiku, Mbak. Sekarang aku sudah menjadi istrinya jadi kalau Mbak Ning dan yang lainnya tidak bisa menghormati suamiku maka aku juga tidak akan bisa menghormati kalian.”“Kami ini keluargamu. Kalau ada apa-apa kami yang maju lebih dulu, Ta. Sedang Danu hanya orang lain?” bentak Mbak Susi.“Memang benar, Mbak. Mas Danu orang lain yang sudah ditakdirkan jadi jodohku maka aku wajib menjaga maruahnya. Sekarang kalau pertanyaannya dibalik. Apa Mbak Susi juga akan mengabaikan suami demi saudara. Suami Mbak Susi juga orang lain, loh?” tanyaku telak bisa-bisanya Mbak ngomong begitu tanpa memikirkan tersinggung atau tidaknya diriku.“Kamu sekarang sudah berani ya Ta, melawan kami, awas saja kamu kalau ada apa-apa jangan minta sama kami!”“Mbak Susi yang buat aku begini dan dari aku menikah pun tidak pernah meminta apa pun pada kalian. Meski hidupku susah!” Kututup telepon dengan hati panas. Mereka bukannya introspeksi diri malah menyalahkan Mas Danu.Ting!Satu pesan mendarat dari nomor
Tangisan Kia membangunkan tidur siangku. MasyaAllah aku tertidur saat mendengarkan celotehan Mbak Asih yang seperti orang kesurupan tadi.Segera kususui Kia, dan kulirik jam ternyata sudah pukul 13.13 WIB.Setelah Kia tenang dan kenyang aku ajak turun dan kutaruh di bawah, kuberi biskuit Milna dan segera aku ambil makan siang lalu siap-siap ke sawah Bulek Minah.Tepat jam 2 siang aku berangkat. Kukayuh sepedaku sekuat tenaga aku tidak ingin kepergok Mbak Asih. Dia benar-benar kehilangan akal. Demi duit 300 ribu rupiah saja rela mengganggu ketenangan orang lain. Mungkin kalau orang lain akan melawan bahkan melaporkan pada yang berwajib. Masih untung iparnya aku.Walaupun aku sekolah hanya lulusan SMA masalah begitu aku tahu, hanya saja aku memilih diam.Hamparan sawah yang mulai menguning menyejukkan pemandangan, ditambah segarnya angin yang bertiup membawa aroma alam membuat siapa pun betah di sawah dan juga takjub akan ciptaan-NYA.“Assalamu’ailikum ... Bulek!” teriakku.Bulek Minah