“Iya, Mas, jadi. Alhamdulillah. Maaf ya, menunggu lama.”“Tidak apa-apa, kalau datang tadi juga banyak debu karena mindah-mindahin barang. Kasihan Kia.”“Ya sudah, Mas salat Maghrib dulu," titahku.Aku masuk ruko sudah lumayan rapi, pasti ini kerjaan Joko. Lalu aku naik ke lantai dua. Ada kasur lantai baru dan juga bantal tersusun rapi di pojok ruangan. Lainnya untuk tempat barang-barang.Alhamdulillah. Aku berkali-kali berucap syukur. Allah maha segalanya siapa yang tahu aku yang setiap hari dicaci maki karena miskin sekarang mulai menapaki kehidupan yang lebih baik.Kuambil ponsel dari tasku. Ini adalah tas satu-satunya yang aku punya. Karena semua barang-barangku ikut terbakar kemarin.Benar saja Mbak Asih yang telepon ada juga Wak Tono. Ada apa lagi beliau menelepon. Seketika aku jadi ingat unggahan setatus kawan di FB. Katanya jangan cari saudara cari saja uang yang banyak nanti juga semua orang ngaku saudara.“Dik, besok kita buat acara pengajian di rumah untuk pembukaan toko k
“Apa ada lagi, Wak?” Aku heran kenapa Mas Danu malah bertanya seperti itu.“Ada ... ini Dan ....” Wak Tono memperlihatkan sebuah catatan dari buku besar yang diambilnya dari tas.“Nah, ini kamu kan, nunggak bulan sebelum kamu izin keluar itu 500 ribu rupiah, bulan yang kamu izin keluar 500 ribu rupiah, bulan setelahnya juga 500 ribu rupiah, ditambah bulan ini 500 ribu rupiah.” Wak Tono sangat bersemangat menjelaskan pada kami.“Ada lagi, Dan. Dipotong untuk uang kas 300 ribu rupiah, uang untuk ketua 200 ribu rupiah, untuk bendahara 200 ribu rupiah.”“Katanya ini udah dipotong biaya admin, Wak?” tanyaku.“Memang, biaya admin itu diluar ini semua. Nah, ada satu lagi Dan. Besok kan, kita mau ada acara kumpulan keluarga acara tahunan kita setiap KK wajib bayar 700 ribu rupiah ini untuk konsumsi, dan ongkos kita mau adain jalan-jalan ke pantai menginap satu malam. Kamu kan dua KK sama ibumu jadi kami kurang 700 ribu lagi.”Aku dan Mas Danu manggut-manggut. Kalau aku sendiri maksud arah p
Tanpa menjawab makian ibu, Mas Danu menutup pintu kuat sekali.“Aku sumpahin miskin terus kamu, Dan! Lihat saja omonganku ini bakalan jadi kenyataan!” teriak Wak Tono dari luar.Tak lama terdengar keributan ada suara Mbak Asih juga Mas Roni. Pasti mereka baru pulang dagang.“Ayo, Dik, tidur!” ajak Mas Danu.“Astahgfirullah. Sampai Mas, begini tidak bisa mengendalikan emosi.”“Mas, duduk dulu, aku ambilkan minum.” Gegas kuambil minum, aku tidak menyangka Mas Danu akan marah begitu. Dia selama ini hanya diam saat dihina.“Ini Mas, diminum dulu. Sabar, Mas. Kalau Mas main kasar begitu aku takut Wak Tono akan semakin brutal balas dendam. Kakimu kan, belum sepenuhnya sembuh, Mas,” kataku mencoba menenangkan hatinya.“Laki-laki punya cara sendiri untuk mempertahankan harga dirinya, Dik. Kalau mereka mau main keroyok itu urusan nanti yang penting sekarang Wak Tono sudah tahu bahwa aku pun bisa marah dan kasar bila terus dipojokan.” Kalau sudah begini aku lebih memilih diam.Aku mengiyakan sa
“Aku pamit ya, Dan.” Kami mengangguk saja saat Joko pamitan pulang. Aku fokus pada rombongan ibu.“Assalamualaikum ....” ucap rombongan ibu serempak.“Wa’alaikumsalam ....”Setelah cipika-cipiki kami duduk melingkar. Kia tampak senang karena rumah ramai dia diajak main sama Dafa anak Mbak Nur.Sepertinya ibu mengerti kebingunganku beliau langsung angkat suara. “Tadi Ibu sama Bapak mau naik bus, eh ... Mbak-mbak kamu mau ikut. Ya, sudah sekalian saja.”“Memang kamiu enggak boleh ke sini, Ta?” tanya Mbak Nur jutek.“Boleh, Mbak ... malah kami senang,” jawab Mas Danu.“Halah bersandiwara ... palsu!” sahut Mbak Ning. Bapak langsung melototi Mbak Ning.“Sebenarnya kami memang hanya mengundang Ibu dan Bapak saja, karena acara syukuran biasa, enggak mewah, tapi kalau Mbak semua ke sini dengan senang hati kami menyambut. Iya, kan, Dik?” Mas Danu menyenggol lenganku.“Eh, iya. Tentu saja. Aku hanya takut terjadi keributan saja,” jawabku jujur.“Kamu kira kami orang enggak punya adab, Ta? Mai
“Cukup kalau kita bersyukur, kurang kalau kita selalu mengeluh dan membandingkan dengan yang lain,” ucap bapak menengahi.“Tapi, Pak, yang bener aja dong, masa rumah begini cukup. Nanti pelanggan-pelanggan Danu di pasar ngira Danu ini big bos, enggk tahunya rumahnya geribik gini,” kata Mbak Susi.“Big bos apaan sih, Sus. Kali hanya sewa toko biasa itu yang di tengah pasar,” ucap Mbak Ning, ketus.“Iya, bener juga kata, Mbak Ning,” sahut Mbak Susi lagi.Bapak dan ibu hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak-anaknya yang julid.“Ya, sudah nanti malam sebelum pulang mampir dulu ke lapak kami, Mbak,” kataku.“Tuh, kan, lapak. Ih, begitu saja susah amat ngomong dari tadi. Ruko-ruko aja ngakunya,” cemooh Mbak Nur.“Terserah, Mbak, sajalah,” kataku kesal.“Sudah mau asar, Ta. Kok, belum mulai masak. Sudah sana masak biar kami yang jagain Kia. Nanti keburu Maghrib belum siap yang untuk kenduri malah repot kamunya,” suruh Mbak Nur.“Kami enggak masak, Mbak . Sudah ada yang masak,” jawab
“Nih, Ta. Kami belum narik uang. ATM di sini juga jauh jadi, kami kasih segini yaaa ... semoga bisa membantumu,” ucap Mbak Ning. Mereka memberiku masing-masing 1 juta rupiah.Aku bingung antara diambil atau tidak. Kalau Kakak-kakakku jika sudah memberi tidak akan pernah memintanya lagi, tapi aku takut mereka mengungkit dan menyakiti hati Mas Danu seperti yang sudah-sudah. Sedangkan ibu dan Mbak Asih, jika sudah memberi akan merongrong minta ini dan itu sebagai imbalan.Kulirik ibu, beliau menggeleng. Oke, itu artinya ibu tidak setuju. Kulihat Mas Danu, dia diam saja terlihat sangat pasrah. Aku paham, karena kalau menolak pun tidak bisa. Sudah di depan mata.“Malah bengong! Ini ambil!” titah Mbak Susi.“Bengong saking herannya karena enggak pernah lihat duit segini banyak, mana pernah Ita punya duit segini banyak sejak menikah. Suaminya kan, hanya kuli bangunan.” Nah, kan, Mbak Nur kumat.“Aduh ... Maaf sebenarnya memang kami bingung sekali. Kami tidak mengadakan acara apa-apa hanya ke
“Iya, bener. Masih kalah sama keteringan langgananku. Per porsi saja harganya mahal. Ini masakan kampung pasti harganya juga murah,” jawab Mbak Nur. Mulutnya sibuk mengunyah makanan.“Tidak baik mengolok-olok makanan apalagi kita sedang memakannya nanti jadi lemak semua,” ucap bapak. Beliau memang paling paham kebiasaan kakak-kakakku mereka akan diet ketat setelah makan banyak. Kalau sudah disinggung tentang lemak mereka akan diam. Entah kenapa, aku juga tidak paham.“Hem ... Bapak, memang paling baik hati selalu ngingetin anaknya untuk diet,” sambung Mas Danu.Bapak dan Mas Danu terkekeh-kekeh, aku pun sebenarnya ingin tertawa, tapi kutahan.Alhamdulillah acara syukuran berjalan lancar semua undangan hadir mereka memberikan doa untuk kelancaran dan keberkahan usaha kami.Makanan habis tidak bersisa barang nasi sebutir pun. Semua saudaraku ikut bawa pulang makanan kampung ini, sisanya dibawa ibu semua. Aku dan Mas Danu bersyukur ternyata mereka doyan makanan orang kampung.Gampang bes
“Duh, panas banget, ya! Keluar, yuk!” Mbak Nur mengajak kakak-kakakku yang lain untuk keluar.“Yuk, ngapain di sini, kayak orang ndeso aja, ngeliatin barang dagangan begini doang,” jawab Mbak Ning. Kemudian mereka bertiga keluar.“Bagaimana, Bu. Toko ini sudah lumayan lengkap, kan?” tanya Mas Danu pada ibuku.“Iya, Nak. Ini lengkap, Insya Allah berkah dan laris manis. Doa Ibu dan Bapak menyertaimu,” jawab ibuku. Beliau begitu senang melihat toko kami.“Memang situ doang, yang orang tuanya? Aku ini juga orang tua tunggal Danu. Aku juga selalu doakan Danu. Enggak usah cari muka deh!” sahut ibu mertuaku kesal.“Hem ....” Mulut Joko melengos mendengar penuturan ibu.“Bu, ayok, buruan pulang! Ngapa sih, lama amat!” teriak Mbak Susi dari depan.“Iya! Sebentar!Nak, sudah malam Ibu dan Bapak pulang dulua ya, insya Allah kapan-kapan ke sini lagi. Itu Mbak kamu sudah rewel, rumah Ibu juga jauh,” pamit ibu aku dan Mas Danu mengiyakan.Padahal belum lama si baru sekitar 10 menit saja.Kakak-kaka