“Iya, bener. Masih kalah sama keteringan langgananku. Per porsi saja harganya mahal. Ini masakan kampung pasti harganya juga murah,” jawab Mbak Nur. Mulutnya sibuk mengunyah makanan.“Tidak baik mengolok-olok makanan apalagi kita sedang memakannya nanti jadi lemak semua,” ucap bapak. Beliau memang paling paham kebiasaan kakak-kakakku mereka akan diet ketat setelah makan banyak. Kalau sudah disinggung tentang lemak mereka akan diam. Entah kenapa, aku juga tidak paham.“Hem ... Bapak, memang paling baik hati selalu ngingetin anaknya untuk diet,” sambung Mas Danu.Bapak dan Mas Danu terkekeh-kekeh, aku pun sebenarnya ingin tertawa, tapi kutahan.Alhamdulillah acara syukuran berjalan lancar semua undangan hadir mereka memberikan doa untuk kelancaran dan keberkahan usaha kami.Makanan habis tidak bersisa barang nasi sebutir pun. Semua saudaraku ikut bawa pulang makanan kampung ini, sisanya dibawa ibu semua. Aku dan Mas Danu bersyukur ternyata mereka doyan makanan orang kampung.Gampang bes
“Duh, panas banget, ya! Keluar, yuk!” Mbak Nur mengajak kakak-kakakku yang lain untuk keluar.“Yuk, ngapain di sini, kayak orang ndeso aja, ngeliatin barang dagangan begini doang,” jawab Mbak Ning. Kemudian mereka bertiga keluar.“Bagaimana, Bu. Toko ini sudah lumayan lengkap, kan?” tanya Mas Danu pada ibuku.“Iya, Nak. Ini lengkap, Insya Allah berkah dan laris manis. Doa Ibu dan Bapak menyertaimu,” jawab ibuku. Beliau begitu senang melihat toko kami.“Memang situ doang, yang orang tuanya? Aku ini juga orang tua tunggal Danu. Aku juga selalu doakan Danu. Enggak usah cari muka deh!” sahut ibu mertuaku kesal.“Hem ....” Mulut Joko melengos mendengar penuturan ibu.“Bu, ayok, buruan pulang! Ngapa sih, lama amat!” teriak Mbak Susi dari depan.“Iya! Sebentar!Nak, sudah malam Ibu dan Bapak pulang dulua ya, insya Allah kapan-kapan ke sini lagi. Itu Mbak kamu sudah rewel, rumah Ibu juga jauh,” pamit ibu aku dan Mas Danu mengiyakan.Padahal belum lama si baru sekitar 10 menit saja.Kakak-kaka
Aku dan Mas Danu cekikikan melihat tingkah ibu yang mirip sekali seperti anak kecil.“Makanya ayok, pulang!” titah Joko, dia sudah nangkring di motor. Ibu tergopoh-gopoh menghampiri Joko. Tidak tunggu waktu lama Joko tancap gas, sampai ibu mau terjengkang ke belakang.“Ibumu lucu ya, Mas.”“Begitulah, Dik. Ayo, kita kunci ruko, kita juga siap-siap pulang.” Aku mengiyakan ajakan Mas Danu.Sampai rumah ponsel kucas, iseng aku aktifkan data internet.Di grup keluarga ibu sudah banyak sekali obrolan.Aku tidak bisa komentar karena dikeluarkan dari grup.“Mas, kok aku dikeluarkan dari grup, ya?” tanya bingung.“Grup mana, Dik?”“Keluarga Ibu,” kataku manyun.“Mungkin salah pencet, Dik. Sudah enggak usah suuzon gitu, sekarang lebih baik kita tidur. Besok kita mulai hari baru.” Aku mengangguk setuju.Sebenarnya tidak masalah aku dikeluarkan dari grup, aku malah merasa lega dan aman. Tapi, alasan mereka apa? Itu yang ingin aku tahu. Selama ini kan, aku tidak pernah bikin masalah.Setelah aku
Sampai pasar Masya Allah tokoku ramai sekali. Joko sampai kewalahan melayani pembeli.“Mas, sarapan dulu, itu Joko diajak. Kasihan pasti dari subuh kan, sudah melayani pembeli,” ujarku.“Benar. Ya, usah tolong kamu gantikan di depan dulu ya, Dik. Kami sarapan dulu. Biar Kia sama, Mas.” Aku mengiyakan dan langsung melayani pembeli.Joko kerjanya sangat rajin dan teliti. Dia juga tidak perhitungan tenaga. Sedang Mas Danu terlihat lebih sehat dari biasanya. Dia semangat sekali. Aku yang di bagian kasir karena ramai pembeli jadi ikut melayani pembeli.Selesai salat asar kami tutup. Rasanya badan ini sudah remuk, capek sekali. Sungguh aku tidak menyangka kalau tokoku akan ramai di hari pertama.“Joko, ini uang bensin untuk hari ini. Tolong carikan orang 1 lagi yang jujur dan ulet kerjanya, ya?” Mas Danu memberikan uang 15 ribu rupiah untuk bensin Joko. Dia gajinya bulanan, tapi Mas Danu memberikan uang bensin setiap hari dan juga makan.“Terima kasih, Dan. Kebetulan iparku juga lagi butuh
Assalamualaikum selamat pagi semuanya semoga dalam keadaan sehat dan bahagia selalu. Yuk, bantu follow akunku. Untuk yang sudah follow aku ucapkan terima kasih banyak, yaaa. Happy reading. “Bagaimana ini Bu, motorku hilang!” Mas Roni tampak panik sekali.“Ini semua gara-gara Ibu mengajakku ke sini, aku jadi sial!” Ibu kaget Mas Roni memarahinya.“Pokoknya aku enggak mau tahu, itu motor harus ketemu!" Mas Roni mengacak rambutnya. Matanya merah jelas sekali dia begitu marah.“Motor kesayangku, hilang!”Mas Roni terus saja meracau tidak jelas, ibu sampai ketakutan.“Danu, kamu harus ganti! Ini hilangnya di tokomu jadi kamu harus ganti! Kami harus bertanggung jawab!" Kali ini Mas Roni teriak tepat di depan wajah Mas Danu.Dalam sekejap toko kami ramai orang mengerumuni Mas Roni yang menangis sambil tantrum seperti anak kecil.“Kalau di sini enggak bisa sembarangan parkir, Mas. Rawan. Sudah sering hilang,” ujar salah seorang warga.“Ayo, kita cari Danu, buruan!” bentak Mas Roni lagi.“Sia
“Tidak ada yang tahu musibah itu kapan datang, Mbak! Aku tidak pernah menyuruh Ibu untuk datang ke sana, jika Mbak Asih berani mengacaukan tokoku silakan saja maka aku pastikan Mbak masuk penjara! Sudah cukup sabar aku selama ini pada Mbak, awas saja kalian akan aku hajar! Satu lagi, kalau kita kehilangan sesuatu dari hidup kita harusnya introspeksi diri bukan malah menyalahkan orang lain! Anggap saja ini balasan yang setimpal untuk kalian. Ingat tidak ada sebab tanpa akibat!” jawab Mas Danu pelan dia mencekal tangan Mbak Asih.“Halah Danu, kamu mau sok ceramahin aku? Lihat saja dirimu seperti apa! Baru juga dagang sehari sudah sombong! Aku tidak mau tahu ganti motorku atau kuacak-acak tokomu!” Mbak Asih sama sekali tidak takut dengan ancaman Mas Danu.“Silakan saja! Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Aku tidak mau ganti, dan satu lagi meski Mbak Asih bilang aku sok alim, setidaknya aku bukan pencuri uang saudara sendiri. Ingat Mbak, mungkin ini balasan untuk kalian berdua ka
🌸🌸Bakda isya kami menghitung pendapatan hari ini. Alhamdulillah untung yang kami dapat banyak, kalau begini terus aku bisa banyak menabung untuk bayar kontrakan lagi tahun depan dan untuk yang lainnya.“Alhamdulillah, Mas. Kita bisa menabung yang ini untuk modal besok kita belanja dan yang ini kita tabung ke Bank. Uang ini tetap kita bawa Mas. Kalau di rumah takut diambil orang.”“Iya, kamu benar, Dik. Mas serahkan semuanya padamu. Kamu yang paham.” Suamiku sangat percaya padaku maka aku tidak akan pernah menyiakannya. Aku berjanji pada diriku sendiri akan memajukan tokoku. Aku akan buktikan pada orang yang sudah merendahkanku bahwa aku pun bisa seperti mereka selagi aku giat berusaha. Sungguh kami bahagia sekali karena sampai detik ini masih bisa bersama dalam suka maupun duka. Semoga kami akan terus begini menjadi suami istri yang terus berjalan beriringan dalam satu tujuan.Tumben sekali sepanjang malam Kia tidurnya gelisah. Sebentar-sebentar terbangun padahal kami capek sekali
“Wah ... Danu, tokomu rupanya toko beneran ya? Aku kira toko kecil gitu. Kalau gini aku juga mau kerja di sini,” celoteh Mbak Asih. “Mau beli apa, Bu?” tanya Karim. Kami terkekeh. Karim memang belum tahu keluarga Mas Danu. “Apa? Tanya aku? Hem ... kamu pasti pekerjanya Danu, ya? Orang udik? Kelihatan dari penampilannya. Situ harus tahu aku ini Kakak dari bosmu, dan aku bukan mau beli,” jawab Mbak Asih sombong. Karim langsung menunduk dan mengangguk. “Benar, Karim. Mereka ini saudaranya Bos. Mereka ke sini mau rampok bukan mau beli!” sahut Joko ketus. Kemudian dia lari ke depan pintu karena ada pembeli. “Mbak, ada apa ke sini?” tanya Mas Danu. Kami masih tetap duduk lesehan menyantap sarapan yang sebentar lagi habis. “Kamu itu kalau ada Kakak datang disambut enggak makan aja begitu ngedeprok. Lihat, Danu. Ya ampun! Kamu itu bos, kok makan pakai beginian. Enggak level banget si! Irit apa pelit?” cemooh Mbak Asih. Sedang Mas Roni bak bodyguard istrinya diam saja. “Terserah kami, Mba
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop