🌸🌸🌸Seperti biasa malam ini kami menghitung lagi pendapat yang di dapat. Alhamdulillah untungnya lumayan.“Alhamdulillah ... Mas, kalau begini terus kita bulan depan bisa beli motor second,” kataku semangat.“Alhamdulillah benar, Dik, semoga saja ya, Allah permudah segala usaha dan urusan kita,” jawab Mas Danu.“Aamiin ....”“Terima kasih banyak ya, istriku, sudah bersabar menemaniku sampai titik ini. Mas beruntung sekali punya istri seperti kamu,” ucap Mas Danu. Matanya berkaca-kaca.“Apa sih, Mas. Mulai deh, alainya udah kayak ABG aja. Kan, namanya juga istri. Harus dong, selalu bersama suami. Aku ini kan, tulang rusukmu Mas. Kalau aku pergi saat kamu terpuruk pasti kamu juga bakal lebih terpuruk. Kamu tahu Mas? Kenapa wanita itu istimewa?” Mas Danu menggeleng tatapannya penuh cinta. “Karena dia bisa bertahan dalam situasi dan keadaan seperti apa pun. Seorang wanita percaya bahwa itu ujian yang harus dilewati untuk proses lebih baik lagi. Makanya banyak wanita yang bertahan hidu
“Duh, Nyonya muda apa kabar?” tanya Bu Jum padaku. Sekedar basa-basi mungkin.“Tambah glowing loh, semakin cantik,” ujar Wak Romlah.“Sombong ya, ditanya enggak mau jawab,” ucap Bu Jum lagi.“Kabarku baik, Bu. Seperti yang Ibu-ibu lihat, Alhamdulillah. Aku tadi mau jawab, tapi kalian tanya terus jadi bingung mau jawab yang mana dulu,” jawabku sambil membenarkan baju Kia.“Makanya tanya itu satu per satu,” timpal Bu Lastri. Dia mengangkat tangannya sambil membenarkan jilbabnya yang sudah benar menurutku. Oh, aku paham. Beliau memamerkan gelang keroncong emasnya pantas saja ibu-ibu yang lain mencebik kesal.“Iya, benar tanya itu gantian. Biar Itanya enggak salah jawab juga,” sahut Bu Rini. Dia mengipas-ngipaskan tangannya seperti orang kegerahan. Padahal ini pagi hari masih segar dan sejuk. Bu Jum langsung pindah tempat di sebelahku. Aku paham Bu Rini memamerkan cincin emasnya yang baru.Aku menghela nafas. Ibu-ibu di sini memang lucu, selalu saja ada yang jadi untuk bahan perbincangan.
Mbak Asih langsung melototi Bu Jum. Bu Jum pun balik melotot Mbak Asih.“MasyaAllah, Ita juga sudah bisa hadir. Alhamdulillah. Gimana kabarnya Ita, dan si cantik Kia. Usaha barunya semoga lancar, dan barokah ya, Nak. Bu RT yang cerita kalau Mbak Ita sudah buka toko baru. Nanti kita sama-sama belanja di toko Mbak Ita, ya, Bu-ibu kalau belanjanya dalam jumlah banyak dan berniat untuk dijual lagi.”“Alhamdulillah sehat Ustazah, kami sekeluarga sehat. Terima kasih, kami tunggu kehadirannya di toko kami,” jawabku senang.“Dapat diskon loh, Ta.”“Ogah lah, belanja tempat Ita sama aja bikin kaya dia,” cetus Wak Romlah.Ustazah Fatimah hanya tersenyum menanggapi jama’ahnya yang unik-unik.“Baiklah, Ibu-ibu yang dirahmati Allah SWT kita mulai pengajian kita pagi hari ini dengan membaca umul kitab, dan juga salawat Nabi. Kita berharap Allah akan melimpahkan Rahmat dan Kasih sayang-NYA. Juga kita akan mendapat syafaat Nabi Muhammad shalallahulaihisalam kelak di yaumil kiyamat.”“Aamiin ....” sa
“Ya Allah, Bapak?” Mas Danu masih berdiri terperangah melihat pada orang di depan ibu.“Kamu Wasimin?” tanya ibu.“Iya, betul. Kamu Sakiyem? Ya Allah, apa ini Danu? Anakku?” Mas Danu mengangguk kemudian mereka saling berpelukan dan menangis. Herannya wanita yang bersama Pak Wasimin itu diam saja berdiri dengan—angkuh. Tatapannya tidak suka. Bibirnya bergincu merah cabe.“Sakiyem apa apa kabar?” Kini gantian ibu yang bersalaman. Ibu sampai menitikkan air mata.“Aku baik, seperti yang kamu lihat. Kamu ke mana aja? Lihat anakmu Danu sudah sukses sekarang. Ini semua berkat aku.” Duh, ibu mulai deh, cari muka.“Alhamdulillah ... terima kasih banyak Sakiyem, kamu sudah merawat anakku dengan baik.” Pundak ibu ditepuk-tepuk.“Pak, kenalin ini istriku, Ita. Dik, kenalin ini, Bapaknya Mamas. Mertuamu,” ucap Mas Danu.Aku menyalami tangan beliau menciumnya takzim. Akhirnya aku bisa merasakan punya bapak mertua.“Danu, apa kalian sudah punya anak?” tanya bapak.“Iya, Kia, dia masih tidur di lanta
Ibu makan lahap sekali. Seperti orang kelaparan.“Lapar apa doyan?” tegur istri bapak.“Lapar juga doyan, aku belum makan siang, kebetulan ada kue, rezeki nomplok ini namanya,” jawab ibu sampai beliau tersedak.“Pelan-pelan, Yem. Ini diminum?” Bapak memberikan teh hangat pada ibu. Aneh, ibu tersipu malu. Astaghfirullah kenapa pemandangan di depan kami jadi macam sinetron ABG.“Papah, ih. Ada Mamah saja berani begitu, apalagi kalau enggak ada.” Istri bapak merajuk lagi.“Cuma kasih minum doang, situ marah? Cemburu ya, takut kalah saing. Aku loh, cantik dan kembang desa pada masanya,” sahut ibu. Istri bapak berdiri dan hendak pergi, tapi dicegah Mas Danu.“Duduklah Bu, mari makan bersama. Aku juga ingin kenal dengan Ibu sambungku,” ucap Mas Danu. Istri bapak menurut dan berkelendot manja pada bapak.“Namaku Atik, kami baru menikah dua tahun yang lalu. Kamu boleh panggil Mamah,” jawab Bu Atik.“Udah tua juga Mamah, Papah. Ingat umur malu sama yang muda,” sahut ibu sewot.“Enggak apa-apa
“Uang apa, Pak? Aku tidak pernah dikirimi uang oleh Bapak. Kalau aku dikirimi uang tentu saja aku yakin kalau Bapak masih hidup,” ujar Mas Danu.“Uang beneranlah, masa daun. Aku ini saksinya selama dua tahu ini menjadi istri bapakmu. Karena kamu tidak pernah balas sama sekali pun surat dari bapakmu akhirnya kami putuskan untuk pindah ke sini, rumah kami tidak jauh dari pasar sini. Bapakmu melakukan ini semua demi kamu,” sahut Bu Atik.Ibu dan Mas Danu kembali kaget. Apalagi ibu beliau terus saja geleng-geleng kepala.“Ta—tapi ... kami tidak pernah menerimanya. Iya, kan, Dan?” Mas Danu mengangguk. Mengiyakan ucapan ibu.“Halah! Eggak percaya, jelas-jelas kalian minta tiap bulan, aku sendiri yang mentransfernya,” jawab Bu Atik tidak terima.“Bapak kirim ke siapa?” tanyaku.“Ke Tono. Dia selalu bilang kalian susah ini dan itu. Makanya bapak tidak tega akhirnya kirim,” jawab bapak.“Apa!” Ibu langsung limbung untung bapak gesit menolong ibu.“Apa yang terjadi, kenapa kalian kaget begitu?
“Eh, Ta. Danu mana?” tanya ibu saat aku sedang sibuk menjemur pakaian.“Sudah ke toko Bu, dari sebelum subuh tadi. Ada apa, Bu?” jawabku tanpa kulihat ibu mertuaku beliau bersama Mbak Lili.“Em, anu, Ibu mau minta uang dong, mau belanja,” jawab ibu malu-malu.“Berapa, Bu?” Mendengar pertanyaanku ini terlihat sumringah.“Enggak banyak kok, Ta. 3 juta rupiah saja,” jawab ibu sambil membantuku menjemur baju.“Apa Bu, 3 juta rupiah? Enggak banyak. Itu bagiku banyak, Bu. Maaf kalau segitu enggak ada. Aku kira Ibu mau beli sembako atau jajanan pasar saja,” kataku sedikit kesal.“Pelit amat sih, kamu! Itu kan duit juga punya Danu. Kamu Cuma istrinya yang enggak bawa apa-apa ke sini!” teriak Mbak Lili. Padahal dia enggak perlu teriak juga aku dengar.“Iya, kamu pelit amat sih, Ta! Aku ini ibunya Danu loh, kamu cuma istri. Ingat istri itu orang asing!” imbuh ibu.“Aku orang asing? Siapa bilang?” jawabku santai.“Kami yang bilang. Memang kamu orang asing kok,” ungkap Mbak Lili ketus.“Yang oran
Aku buru-buru masuk rumah dan kukunci pintu belakang. Lari ke depan memberi tahu di mana harus meletakkan.Tidak lama kemudian datang lagi mobil truk mengangkut batu bata.Baru mobil yang mengangkut bahan bangunan saja semua orang sudah kepo apalagi geng ibu-ibu julid mereka langsung berkumpul di teras depan rumah ibu ada juga yang di teras belakang rumah yang dekat dengan dapurku.Bahan bangunan ini sumbangan dari bapak Mas Danu. Semalam kami berbicara tentang rencana mau renovasi rumah, jadi bapak mertua dengan senang hati mau membantu. Aku kira hanya beberapa saja ternyata sebanyak ini.Bapak kaget saat mendengar cerita Mas Danu tentang kelakuan ibu dan keluarganya. Tentang Mas Danu yang tidak di sekolahkan dan harus bekerja siang malam. Hasil kebun juga dimakan semua oleh ibu. Setahu bapak ibu itu orang baik. Jadi dia begitu yakin menitipkan Mas Danu padanya.Tentang uang yang dikirimkan dari dulu yang tidak sampai ke Mas Danu, kalau ditotal sudah lebih dari 150 juta rupiah karena