“Tidak ada yang tahu musibah itu kapan datang, Mbak! Aku tidak pernah menyuruh Ibu untuk datang ke sana, jika Mbak Asih berani mengacaukan tokoku silakan saja maka aku pastikan Mbak masuk penjara! Sudah cukup sabar aku selama ini pada Mbak, awas saja kalian akan aku hajar! Satu lagi, kalau kita kehilangan sesuatu dari hidup kita harusnya introspeksi diri bukan malah menyalahkan orang lain! Anggap saja ini balasan yang setimpal untuk kalian. Ingat tidak ada sebab tanpa akibat!” jawab Mas Danu pelan dia mencekal tangan Mbak Asih.“Halah Danu, kamu mau sok ceramahin aku? Lihat saja dirimu seperti apa! Baru juga dagang sehari sudah sombong! Aku tidak mau tahu ganti motorku atau kuacak-acak tokomu!” Mbak Asih sama sekali tidak takut dengan ancaman Mas Danu.“Silakan saja! Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Aku tidak mau ganti, dan satu lagi meski Mbak Asih bilang aku sok alim, setidaknya aku bukan pencuri uang saudara sendiri. Ingat Mbak, mungkin ini balasan untuk kalian berdua ka
🌸🌸Bakda isya kami menghitung pendapatan hari ini. Alhamdulillah untung yang kami dapat banyak, kalau begini terus aku bisa banyak menabung untuk bayar kontrakan lagi tahun depan dan untuk yang lainnya.“Alhamdulillah, Mas. Kita bisa menabung yang ini untuk modal besok kita belanja dan yang ini kita tabung ke Bank. Uang ini tetap kita bawa Mas. Kalau di rumah takut diambil orang.”“Iya, kamu benar, Dik. Mas serahkan semuanya padamu. Kamu yang paham.” Suamiku sangat percaya padaku maka aku tidak akan pernah menyiakannya. Aku berjanji pada diriku sendiri akan memajukan tokoku. Aku akan buktikan pada orang yang sudah merendahkanku bahwa aku pun bisa seperti mereka selagi aku giat berusaha. Sungguh kami bahagia sekali karena sampai detik ini masih bisa bersama dalam suka maupun duka. Semoga kami akan terus begini menjadi suami istri yang terus berjalan beriringan dalam satu tujuan.Tumben sekali sepanjang malam Kia tidurnya gelisah. Sebentar-sebentar terbangun padahal kami capek sekali
“Wah ... Danu, tokomu rupanya toko beneran ya? Aku kira toko kecil gitu. Kalau gini aku juga mau kerja di sini,” celoteh Mbak Asih. “Mau beli apa, Bu?” tanya Karim. Kami terkekeh. Karim memang belum tahu keluarga Mas Danu. “Apa? Tanya aku? Hem ... kamu pasti pekerjanya Danu, ya? Orang udik? Kelihatan dari penampilannya. Situ harus tahu aku ini Kakak dari bosmu, dan aku bukan mau beli,” jawab Mbak Asih sombong. Karim langsung menunduk dan mengangguk. “Benar, Karim. Mereka ini saudaranya Bos. Mereka ke sini mau rampok bukan mau beli!” sahut Joko ketus. Kemudian dia lari ke depan pintu karena ada pembeli. “Mbak, ada apa ke sini?” tanya Mas Danu. Kami masih tetap duduk lesehan menyantap sarapan yang sebentar lagi habis. “Kamu itu kalau ada Kakak datang disambut enggak makan aja begitu ngedeprok. Lihat, Danu. Ya ampun! Kamu itu bos, kok makan pakai beginian. Enggak level banget si! Irit apa pelit?” cemooh Mbak Asih. Sedang Mas Roni bak bodyguard istrinya diam saja. “Terserah kami, Mba
🌸🌸🌸Seperti biasa malam ini kami menghitung lagi pendapat yang di dapat. Alhamdulillah untungnya lumayan.“Alhamdulillah ... Mas, kalau begini terus kita bulan depan bisa beli motor second,” kataku semangat.“Alhamdulillah benar, Dik, semoga saja ya, Allah permudah segala usaha dan urusan kita,” jawab Mas Danu.“Aamiin ....”“Terima kasih banyak ya, istriku, sudah bersabar menemaniku sampai titik ini. Mas beruntung sekali punya istri seperti kamu,” ucap Mas Danu. Matanya berkaca-kaca.“Apa sih, Mas. Mulai deh, alainya udah kayak ABG aja. Kan, namanya juga istri. Harus dong, selalu bersama suami. Aku ini kan, tulang rusukmu Mas. Kalau aku pergi saat kamu terpuruk pasti kamu juga bakal lebih terpuruk. Kamu tahu Mas? Kenapa wanita itu istimewa?” Mas Danu menggeleng tatapannya penuh cinta. “Karena dia bisa bertahan dalam situasi dan keadaan seperti apa pun. Seorang wanita percaya bahwa itu ujian yang harus dilewati untuk proses lebih baik lagi. Makanya banyak wanita yang bertahan hidu
“Duh, Nyonya muda apa kabar?” tanya Bu Jum padaku. Sekedar basa-basi mungkin.“Tambah glowing loh, semakin cantik,” ujar Wak Romlah.“Sombong ya, ditanya enggak mau jawab,” ucap Bu Jum lagi.“Kabarku baik, Bu. Seperti yang Ibu-ibu lihat, Alhamdulillah. Aku tadi mau jawab, tapi kalian tanya terus jadi bingung mau jawab yang mana dulu,” jawabku sambil membenarkan baju Kia.“Makanya tanya itu satu per satu,” timpal Bu Lastri. Dia mengangkat tangannya sambil membenarkan jilbabnya yang sudah benar menurutku. Oh, aku paham. Beliau memamerkan gelang keroncong emasnya pantas saja ibu-ibu yang lain mencebik kesal.“Iya, benar tanya itu gantian. Biar Itanya enggak salah jawab juga,” sahut Bu Rini. Dia mengipas-ngipaskan tangannya seperti orang kegerahan. Padahal ini pagi hari masih segar dan sejuk. Bu Jum langsung pindah tempat di sebelahku. Aku paham Bu Rini memamerkan cincin emasnya yang baru.Aku menghela nafas. Ibu-ibu di sini memang lucu, selalu saja ada yang jadi untuk bahan perbincangan.
Mbak Asih langsung melototi Bu Jum. Bu Jum pun balik melotot Mbak Asih.“MasyaAllah, Ita juga sudah bisa hadir. Alhamdulillah. Gimana kabarnya Ita, dan si cantik Kia. Usaha barunya semoga lancar, dan barokah ya, Nak. Bu RT yang cerita kalau Mbak Ita sudah buka toko baru. Nanti kita sama-sama belanja di toko Mbak Ita, ya, Bu-ibu kalau belanjanya dalam jumlah banyak dan berniat untuk dijual lagi.”“Alhamdulillah sehat Ustazah, kami sekeluarga sehat. Terima kasih, kami tunggu kehadirannya di toko kami,” jawabku senang.“Dapat diskon loh, Ta.”“Ogah lah, belanja tempat Ita sama aja bikin kaya dia,” cetus Wak Romlah.Ustazah Fatimah hanya tersenyum menanggapi jama’ahnya yang unik-unik.“Baiklah, Ibu-ibu yang dirahmati Allah SWT kita mulai pengajian kita pagi hari ini dengan membaca umul kitab, dan juga salawat Nabi. Kita berharap Allah akan melimpahkan Rahmat dan Kasih sayang-NYA. Juga kita akan mendapat syafaat Nabi Muhammad shalallahulaihisalam kelak di yaumil kiyamat.”“Aamiin ....” sa
“Ya Allah, Bapak?” Mas Danu masih berdiri terperangah melihat pada orang di depan ibu.“Kamu Wasimin?” tanya ibu.“Iya, betul. Kamu Sakiyem? Ya Allah, apa ini Danu? Anakku?” Mas Danu mengangguk kemudian mereka saling berpelukan dan menangis. Herannya wanita yang bersama Pak Wasimin itu diam saja berdiri dengan—angkuh. Tatapannya tidak suka. Bibirnya bergincu merah cabe.“Sakiyem apa apa kabar?” Kini gantian ibu yang bersalaman. Ibu sampai menitikkan air mata.“Aku baik, seperti yang kamu lihat. Kamu ke mana aja? Lihat anakmu Danu sudah sukses sekarang. Ini semua berkat aku.” Duh, ibu mulai deh, cari muka.“Alhamdulillah ... terima kasih banyak Sakiyem, kamu sudah merawat anakku dengan baik.” Pundak ibu ditepuk-tepuk.“Pak, kenalin ini istriku, Ita. Dik, kenalin ini, Bapaknya Mamas. Mertuamu,” ucap Mas Danu.Aku menyalami tangan beliau menciumnya takzim. Akhirnya aku bisa merasakan punya bapak mertua.“Danu, apa kalian sudah punya anak?” tanya bapak.“Iya, Kia, dia masih tidur di lanta
Ibu makan lahap sekali. Seperti orang kelaparan.“Lapar apa doyan?” tegur istri bapak.“Lapar juga doyan, aku belum makan siang, kebetulan ada kue, rezeki nomplok ini namanya,” jawab ibu sampai beliau tersedak.“Pelan-pelan, Yem. Ini diminum?” Bapak memberikan teh hangat pada ibu. Aneh, ibu tersipu malu. Astaghfirullah kenapa pemandangan di depan kami jadi macam sinetron ABG.“Papah, ih. Ada Mamah saja berani begitu, apalagi kalau enggak ada.” Istri bapak merajuk lagi.“Cuma kasih minum doang, situ marah? Cemburu ya, takut kalah saing. Aku loh, cantik dan kembang desa pada masanya,” sahut ibu. Istri bapak berdiri dan hendak pergi, tapi dicegah Mas Danu.“Duduklah Bu, mari makan bersama. Aku juga ingin kenal dengan Ibu sambungku,” ucap Mas Danu. Istri bapak menurut dan berkelendot manja pada bapak.“Namaku Atik, kami baru menikah dua tahun yang lalu. Kamu boleh panggil Mamah,” jawab Bu Atik.“Udah tua juga Mamah, Papah. Ingat umur malu sama yang muda,” sahut ibu sewot.“Enggak apa-apa