Tanpa menjawab makian ibu, Mas Danu menutup pintu kuat sekali.“Aku sumpahin miskin terus kamu, Dan! Lihat saja omonganku ini bakalan jadi kenyataan!” teriak Wak Tono dari luar.Tak lama terdengar keributan ada suara Mbak Asih juga Mas Roni. Pasti mereka baru pulang dagang.“Ayo, Dik, tidur!” ajak Mas Danu.“Astahgfirullah. Sampai Mas, begini tidak bisa mengendalikan emosi.”“Mas, duduk dulu, aku ambilkan minum.” Gegas kuambil minum, aku tidak menyangka Mas Danu akan marah begitu. Dia selama ini hanya diam saat dihina.“Ini Mas, diminum dulu. Sabar, Mas. Kalau Mas main kasar begitu aku takut Wak Tono akan semakin brutal balas dendam. Kakimu kan, belum sepenuhnya sembuh, Mas,” kataku mencoba menenangkan hatinya.“Laki-laki punya cara sendiri untuk mempertahankan harga dirinya, Dik. Kalau mereka mau main keroyok itu urusan nanti yang penting sekarang Wak Tono sudah tahu bahwa aku pun bisa marah dan kasar bila terus dipojokan.” Kalau sudah begini aku lebih memilih diam.Aku mengiyakan sa
“Aku pamit ya, Dan.” Kami mengangguk saja saat Joko pamitan pulang. Aku fokus pada rombongan ibu.“Assalamualaikum ....” ucap rombongan ibu serempak.“Wa’alaikumsalam ....”Setelah cipika-cipiki kami duduk melingkar. Kia tampak senang karena rumah ramai dia diajak main sama Dafa anak Mbak Nur.Sepertinya ibu mengerti kebingunganku beliau langsung angkat suara. “Tadi Ibu sama Bapak mau naik bus, eh ... Mbak-mbak kamu mau ikut. Ya, sudah sekalian saja.”“Memang kamiu enggak boleh ke sini, Ta?” tanya Mbak Nur jutek.“Boleh, Mbak ... malah kami senang,” jawab Mas Danu.“Halah bersandiwara ... palsu!” sahut Mbak Ning. Bapak langsung melototi Mbak Ning.“Sebenarnya kami memang hanya mengundang Ibu dan Bapak saja, karena acara syukuran biasa, enggak mewah, tapi kalau Mbak semua ke sini dengan senang hati kami menyambut. Iya, kan, Dik?” Mas Danu menyenggol lenganku.“Eh, iya. Tentu saja. Aku hanya takut terjadi keributan saja,” jawabku jujur.“Kamu kira kami orang enggak punya adab, Ta? Mai
“Cukup kalau kita bersyukur, kurang kalau kita selalu mengeluh dan membandingkan dengan yang lain,” ucap bapak menengahi.“Tapi, Pak, yang bener aja dong, masa rumah begini cukup. Nanti pelanggan-pelanggan Danu di pasar ngira Danu ini big bos, enggk tahunya rumahnya geribik gini,” kata Mbak Susi.“Big bos apaan sih, Sus. Kali hanya sewa toko biasa itu yang di tengah pasar,” ucap Mbak Ning, ketus.“Iya, bener juga kata, Mbak Ning,” sahut Mbak Susi lagi.Bapak dan ibu hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak-anaknya yang julid.“Ya, sudah nanti malam sebelum pulang mampir dulu ke lapak kami, Mbak,” kataku.“Tuh, kan, lapak. Ih, begitu saja susah amat ngomong dari tadi. Ruko-ruko aja ngakunya,” cemooh Mbak Nur.“Terserah, Mbak, sajalah,” kataku kesal.“Sudah mau asar, Ta. Kok, belum mulai masak. Sudah sana masak biar kami yang jagain Kia. Nanti keburu Maghrib belum siap yang untuk kenduri malah repot kamunya,” suruh Mbak Nur.“Kami enggak masak, Mbak . Sudah ada yang masak,” jawab
“Nih, Ta. Kami belum narik uang. ATM di sini juga jauh jadi, kami kasih segini yaaa ... semoga bisa membantumu,” ucap Mbak Ning. Mereka memberiku masing-masing 1 juta rupiah.Aku bingung antara diambil atau tidak. Kalau Kakak-kakakku jika sudah memberi tidak akan pernah memintanya lagi, tapi aku takut mereka mengungkit dan menyakiti hati Mas Danu seperti yang sudah-sudah. Sedangkan ibu dan Mbak Asih, jika sudah memberi akan merongrong minta ini dan itu sebagai imbalan.Kulirik ibu, beliau menggeleng. Oke, itu artinya ibu tidak setuju. Kulihat Mas Danu, dia diam saja terlihat sangat pasrah. Aku paham, karena kalau menolak pun tidak bisa. Sudah di depan mata.“Malah bengong! Ini ambil!” titah Mbak Susi.“Bengong saking herannya karena enggak pernah lihat duit segini banyak, mana pernah Ita punya duit segini banyak sejak menikah. Suaminya kan, hanya kuli bangunan.” Nah, kan, Mbak Nur kumat.“Aduh ... Maaf sebenarnya memang kami bingung sekali. Kami tidak mengadakan acara apa-apa hanya ke
“Iya, bener. Masih kalah sama keteringan langgananku. Per porsi saja harganya mahal. Ini masakan kampung pasti harganya juga murah,” jawab Mbak Nur. Mulutnya sibuk mengunyah makanan.“Tidak baik mengolok-olok makanan apalagi kita sedang memakannya nanti jadi lemak semua,” ucap bapak. Beliau memang paling paham kebiasaan kakak-kakakku mereka akan diet ketat setelah makan banyak. Kalau sudah disinggung tentang lemak mereka akan diam. Entah kenapa, aku juga tidak paham.“Hem ... Bapak, memang paling baik hati selalu ngingetin anaknya untuk diet,” sambung Mas Danu.Bapak dan Mas Danu terkekeh-kekeh, aku pun sebenarnya ingin tertawa, tapi kutahan.Alhamdulillah acara syukuran berjalan lancar semua undangan hadir mereka memberikan doa untuk kelancaran dan keberkahan usaha kami.Makanan habis tidak bersisa barang nasi sebutir pun. Semua saudaraku ikut bawa pulang makanan kampung ini, sisanya dibawa ibu semua. Aku dan Mas Danu bersyukur ternyata mereka doyan makanan orang kampung.Gampang bes
“Duh, panas banget, ya! Keluar, yuk!” Mbak Nur mengajak kakak-kakakku yang lain untuk keluar.“Yuk, ngapain di sini, kayak orang ndeso aja, ngeliatin barang dagangan begini doang,” jawab Mbak Ning. Kemudian mereka bertiga keluar.“Bagaimana, Bu. Toko ini sudah lumayan lengkap, kan?” tanya Mas Danu pada ibuku.“Iya, Nak. Ini lengkap, Insya Allah berkah dan laris manis. Doa Ibu dan Bapak menyertaimu,” jawab ibuku. Beliau begitu senang melihat toko kami.“Memang situ doang, yang orang tuanya? Aku ini juga orang tua tunggal Danu. Aku juga selalu doakan Danu. Enggak usah cari muka deh!” sahut ibu mertuaku kesal.“Hem ....” Mulut Joko melengos mendengar penuturan ibu.“Bu, ayok, buruan pulang! Ngapa sih, lama amat!” teriak Mbak Susi dari depan.“Iya! Sebentar!Nak, sudah malam Ibu dan Bapak pulang dulua ya, insya Allah kapan-kapan ke sini lagi. Itu Mbak kamu sudah rewel, rumah Ibu juga jauh,” pamit ibu aku dan Mas Danu mengiyakan.Padahal belum lama si baru sekitar 10 menit saja.Kakak-kaka
Aku dan Mas Danu cekikikan melihat tingkah ibu yang mirip sekali seperti anak kecil.“Makanya ayok, pulang!” titah Joko, dia sudah nangkring di motor. Ibu tergopoh-gopoh menghampiri Joko. Tidak tunggu waktu lama Joko tancap gas, sampai ibu mau terjengkang ke belakang.“Ibumu lucu ya, Mas.”“Begitulah, Dik. Ayo, kita kunci ruko, kita juga siap-siap pulang.” Aku mengiyakan ajakan Mas Danu.Sampai rumah ponsel kucas, iseng aku aktifkan data internet.Di grup keluarga ibu sudah banyak sekali obrolan.Aku tidak bisa komentar karena dikeluarkan dari grup.“Mas, kok aku dikeluarkan dari grup, ya?” tanya bingung.“Grup mana, Dik?”“Keluarga Ibu,” kataku manyun.“Mungkin salah pencet, Dik. Sudah enggak usah suuzon gitu, sekarang lebih baik kita tidur. Besok kita mulai hari baru.” Aku mengangguk setuju.Sebenarnya tidak masalah aku dikeluarkan dari grup, aku malah merasa lega dan aman. Tapi, alasan mereka apa? Itu yang ingin aku tahu. Selama ini kan, aku tidak pernah bikin masalah.Setelah aku
Sampai pasar Masya Allah tokoku ramai sekali. Joko sampai kewalahan melayani pembeli.“Mas, sarapan dulu, itu Joko diajak. Kasihan pasti dari subuh kan, sudah melayani pembeli,” ujarku.“Benar. Ya, usah tolong kamu gantikan di depan dulu ya, Dik. Kami sarapan dulu. Biar Kia sama, Mas.” Aku mengiyakan dan langsung melayani pembeli.Joko kerjanya sangat rajin dan teliti. Dia juga tidak perhitungan tenaga. Sedang Mas Danu terlihat lebih sehat dari biasanya. Dia semangat sekali. Aku yang di bagian kasir karena ramai pembeli jadi ikut melayani pembeli.Selesai salat asar kami tutup. Rasanya badan ini sudah remuk, capek sekali. Sungguh aku tidak menyangka kalau tokoku akan ramai di hari pertama.“Joko, ini uang bensin untuk hari ini. Tolong carikan orang 1 lagi yang jujur dan ulet kerjanya, ya?” Mas Danu memberikan uang 15 ribu rupiah untuk bensin Joko. Dia gajinya bulanan, tapi Mas Danu memberikan uang bensin setiap hari dan juga makan.“Terima kasih, Dan. Kebetulan iparku juga lagi butuh