“Buruan, ih, lelet banget!” bentak Mbak Asih karena Mbak Desi jalannya lama sekali.Kami semua deg-degan menunggu hasil. Mbak Asih mencelupkan test pack ke dalam air seni Mbak Desi.Dua menit hasil sudah kelihatan. Mbak Desi terlihat girang.“Tuh, kan Mas ... aku hamil.” Ucap Mbak Desi senang. Mbak Lili kesal dia lari pulang.“Kita tetap cerai, Des. Aku tidak mencintaimu apalagi setelah tahu kamu guna-guna aku. Tenang saja aku tetap menafkahi anak itu.” Mas Eko menyusul Mbak Lili sedang Mbak Desi dicuekin.“Rasain! Makanya jadi perempuan enggak usah kegatelan!” ejek Mbak Asih dan berlalu menyusul Mbak Lili.“Anak masih bayi sudah hamil lagi, repot sendiri, kan? Gatel sih!” sahut ibu.Mbak Desi menangis, aku dan Mas Danu bingung mau ngapain. Sebenarnya tidak tega, tapi aku juga tidak boleh gegabah membawa dia masuk ke rumah.“Mbak, ini ada ongkos untuk pulang, besok kalau sudah pada tenang boleh kembali lagi ke sini,” ucap Mas Danu dia memberikan dua lembar uang merah pada Mbak Desi.“
Awalnya Wira cuek karena Mas Danu yang memanggil, tapi setelah dia melihatku langsung menghampiri.“Mbak, ya Allah, kok bisa sampai sini?” tanya Wira padaku. Dia sama sekali tidak menyapa Mas Danu.“Iya, Wir, ini Mbak sama Mas Danu—““Apa kalian bekerja juga di kota ini? Kasihan sekali kamu Mbak,” ucap Wira memotong omonganku. Dia melirik sinis pada Mas Danu.“Tidak Wir, kami ke sini belanja. Itu belanjaanya masih di masukkan ke mobil,” jawabku sambil menunjuk mobil juragan ikan.Wira mengerutkan keningnya pasti dia heran dan tidak menyangka. “Mbak disuruh siapa belanja sebanyak itu?” tanyanya lagi.“Tidak ada yang menyuruh, itu belanjaan kami. Alhamdulillah kami mau buka toko di pasar induk kecamatan tempat tinggal Mbak.” Wira kaget lalu melihat Mas Danu tidak percaya.Sebenarnya aku takut Mas Danu mau berbalik mengejek, tapi dia tidak melakukan itu. Mas Danu memang benar-benar orang baik.“Sayang, kok kamu berdiri di situ lama banget. Siapa dia?” tanya seorang gadis yang tadi ngobro
Assalamualaikum selamat pagi semuanya. Teman-teman apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan bahagia selalu. Oh, ya, follow akunku, ya? Terima kasih 🥰🌸🌸🌸“Bu, beli beras yang lima kilogram 1 karung, telur 1 kg ....”“Ini Mbak. Semuanya 68 ribu rupiah." Bu warung seperti biasa selalu tersenyum manis padaku meski aku biasanya belanja hanya seliter atau setengah kilogram beras dan terlur 1 butir.“Ini uangnya.” Kuberikan uang 100 ribu rupiah pada Bu warung.“Ita, sekarang kalau belanja duitnya merah-merah semua, sudah berbagi belum tu, sama mertuanya?” Komentar Bu Jum, aku tadi pas belanja enggak ada dia, ini kenapa dia tiba-tiba ada di sini.“Alhamdulillah, kalau Ibu ikut senang, berarti Ita sekarang sudah ada banyak kemajuan hidupnya. Roda kehidupan itu berputar Bu, jadi jangan suka menghina orang,” jawab Bu warung.“Ck, kamu itu mentang-mentang Ita belanja di sini kamu belain. Eh, tapi ... Ita masih punya hutang sama Ibu mertuanya 200 ribu rupiah. Masa duit banyak enggak b
“Danu suamiku, Mbak. Sekarang aku sudah menjadi istrinya jadi kalau Mbak Ning dan yang lainnya tidak bisa menghormati suamiku maka aku juga tidak akan bisa menghormati kalian.”“Kami ini keluargamu. Kalau ada apa-apa kami yang maju lebih dulu, Ta. Sedang Danu hanya orang lain?” bentak Mbak Susi.“Memang benar, Mbak. Mas Danu orang lain yang sudah ditakdirkan jadi jodohku maka aku wajib menjaga maruahnya. Sekarang kalau pertanyaannya dibalik. Apa Mbak Susi juga akan mengabaikan suami demi saudara. Suami Mbak Susi juga orang lain, loh?” tanyaku telak bisa-bisanya Mbak ngomong begitu tanpa memikirkan tersinggung atau tidaknya diriku.“Kamu sekarang sudah berani ya Ta, melawan kami, awas saja kamu kalau ada apa-apa jangan minta sama kami!”“Mbak Susi yang buat aku begini dan dari aku menikah pun tidak pernah meminta apa pun pada kalian. Meski hidupku susah!” Kututup telepon dengan hati panas. Mereka bukannya introspeksi diri malah menyalahkan Mas Danu.Ting!Satu pesan mendarat dari nomor
Tangisan Kia membangunkan tidur siangku. MasyaAllah aku tertidur saat mendengarkan celotehan Mbak Asih yang seperti orang kesurupan tadi.Segera kususui Kia, dan kulirik jam ternyata sudah pukul 13.13 WIB.Setelah Kia tenang dan kenyang aku ajak turun dan kutaruh di bawah, kuberi biskuit Milna dan segera aku ambil makan siang lalu siap-siap ke sawah Bulek Minah.Tepat jam 2 siang aku berangkat. Kukayuh sepedaku sekuat tenaga aku tidak ingin kepergok Mbak Asih. Dia benar-benar kehilangan akal. Demi duit 300 ribu rupiah saja rela mengganggu ketenangan orang lain. Mungkin kalau orang lain akan melawan bahkan melaporkan pada yang berwajib. Masih untung iparnya aku.Walaupun aku sekolah hanya lulusan SMA masalah begitu aku tahu, hanya saja aku memilih diam.Hamparan sawah yang mulai menguning menyejukkan pemandangan, ditambah segarnya angin yang bertiup membawa aroma alam membuat siapa pun betah di sawah dan juga takjub akan ciptaan-NYA.“Assalamu’ailikum ... Bulek!” teriakku.Bulek Minah
“Iya, Mas, jadi. Alhamdulillah. Maaf ya, menunggu lama.”“Tidak apa-apa, kalau datang tadi juga banyak debu karena mindah-mindahin barang. Kasihan Kia.”“Ya sudah, Mas salat Maghrib dulu," titahku.Aku masuk ruko sudah lumayan rapi, pasti ini kerjaan Joko. Lalu aku naik ke lantai dua. Ada kasur lantai baru dan juga bantal tersusun rapi di pojok ruangan. Lainnya untuk tempat barang-barang.Alhamdulillah. Aku berkali-kali berucap syukur. Allah maha segalanya siapa yang tahu aku yang setiap hari dicaci maki karena miskin sekarang mulai menapaki kehidupan yang lebih baik.Kuambil ponsel dari tasku. Ini adalah tas satu-satunya yang aku punya. Karena semua barang-barangku ikut terbakar kemarin.Benar saja Mbak Asih yang telepon ada juga Wak Tono. Ada apa lagi beliau menelepon. Seketika aku jadi ingat unggahan setatus kawan di FB. Katanya jangan cari saudara cari saja uang yang banyak nanti juga semua orang ngaku saudara.“Dik, besok kita buat acara pengajian di rumah untuk pembukaan toko k
“Apa ada lagi, Wak?” Aku heran kenapa Mas Danu malah bertanya seperti itu.“Ada ... ini Dan ....” Wak Tono memperlihatkan sebuah catatan dari buku besar yang diambilnya dari tas.“Nah, ini kamu kan, nunggak bulan sebelum kamu izin keluar itu 500 ribu rupiah, bulan yang kamu izin keluar 500 ribu rupiah, bulan setelahnya juga 500 ribu rupiah, ditambah bulan ini 500 ribu rupiah.” Wak Tono sangat bersemangat menjelaskan pada kami.“Ada lagi, Dan. Dipotong untuk uang kas 300 ribu rupiah, uang untuk ketua 200 ribu rupiah, untuk bendahara 200 ribu rupiah.”“Katanya ini udah dipotong biaya admin, Wak?” tanyaku.“Memang, biaya admin itu diluar ini semua. Nah, ada satu lagi Dan. Besok kan, kita mau ada acara kumpulan keluarga acara tahunan kita setiap KK wajib bayar 700 ribu rupiah ini untuk konsumsi, dan ongkos kita mau adain jalan-jalan ke pantai menginap satu malam. Kamu kan dua KK sama ibumu jadi kami kurang 700 ribu lagi.”Aku dan Mas Danu manggut-manggut. Kalau aku sendiri maksud arah p
Tanpa menjawab makian ibu, Mas Danu menutup pintu kuat sekali.“Aku sumpahin miskin terus kamu, Dan! Lihat saja omonganku ini bakalan jadi kenyataan!” teriak Wak Tono dari luar.Tak lama terdengar keributan ada suara Mbak Asih juga Mas Roni. Pasti mereka baru pulang dagang.“Ayo, Dik, tidur!” ajak Mas Danu.“Astahgfirullah. Sampai Mas, begini tidak bisa mengendalikan emosi.”“Mas, duduk dulu, aku ambilkan minum.” Gegas kuambil minum, aku tidak menyangka Mas Danu akan marah begitu. Dia selama ini hanya diam saat dihina.“Ini Mas, diminum dulu. Sabar, Mas. Kalau Mas main kasar begitu aku takut Wak Tono akan semakin brutal balas dendam. Kakimu kan, belum sepenuhnya sembuh, Mas,” kataku mencoba menenangkan hatinya.“Laki-laki punya cara sendiri untuk mempertahankan harga dirinya, Dik. Kalau mereka mau main keroyok itu urusan nanti yang penting sekarang Wak Tono sudah tahu bahwa aku pun bisa marah dan kasar bila terus dipojokan.” Kalau sudah begini aku lebih memilih diam.Aku mengiyakan sa