"Biar aku yang temui Dewi, Mas. Kamu di dalam saja ya." Mas Batara mengangguk patuh. "Maaf, Pak Arman, ini ada iklan sedikit, Pak. Silakan lanjut ngobrolnya di belakang sama suami saya ya," kataku pada Pak Arman. Aku pun bergegas menuju ruang tamu. Pintu rumah rupanya ditutup oleh bibik, sehingga wanita bernama Dewi itu hanya bisa duduk di teras rumahku. "Mau apa?" tanyaku ketus. Ia bangun dari duduknya dengan terkejut. Mungkin ia tidak menyangka aku yang menemuinya ."Saya mau bicara dengan suami saya?" "Suami Anda atau suami saya? Tolong diingat lagi statusnya ya, Mbak. Suami saya gak ada. Masih di luar. Ada perlu apa? Sampaikan saja langsung pada saya!" "Heh, dasar pelakor gak tahu diri! Saya tahu kamu yang menggoda suami saya. Kamu yang menghasut anak-anak agar benci pada saya. Kamu adalah ular sebenarnya!" Maduku ini begitu berapi-api memakiku, tetapi aku tidak akan terpancing, karena aku bukan wanita bodoh."Saya mau masuk!" Ia mencoba masuk, tetapi berhasil aku tahan. Bahka
PoV 3"Bunda, di perut Bunda kapan ada adek bayinya?" tanya Maura saat gadis kecil itu baru saja selesai berpakaian. Hari ini hari Sabtu dan Kikan menemani anak-anak sambungnya pergi berenang ke waterpark. Kikan yang tengah menyisir rambut Maura, langsung berhenti sejenak. "Doakan ya, Sayang," jawab Kikan pelan. Jauh di dalam hatinya pun ingin sekali segera memiliki anak dari Batara, tetapi sampai empat bulan setengah ia menikah dengan suaminya, belum ada tanda-tanda ia hamil. Hanya datang bulannya saja jadi tidak beraturan. "Maura selalu doain kok. Maura mau punya adek ya Allah. Maura doanya gitu." Kikan tersenyum, lalu mencium pipi gembul Maura. "Aamiin, semoga doanya Maura dan abang Baim terkabul ya.""Bunda, ini kembaliannya." Baim datang bersama pelayan cafe. Mereka sedang berada di foodcourt kolam renang untuk menyantap makanan. Anak-anaknya selalu saja kelaparan hebat bila selesai berenang. "Makasih, Baim. Ayo, dimakan nasi goreng dan juga diminum tehnya." Keduanya makan d
Esti memandang amplop coklat yang sudah ada di tangannya. Air matanya masih belum berhenti mengalir. Meski bayi yang ia kandung tidak ia harapkan, tetapi nalurinya sebagai seorang ibu membuatnya begitu berat melepas buah hati yang bahkan belum ia lihat wajahnya sama sekali. Untungnya bapaknya sempat memotret cucunya saat sedang dibersihkan bidan tadi dan saat Pak Ramdan pura-pura membeli minum, ia kembali memotret cucunya dalam keadaan yang sudah rapi dan dibedong. Cucunya lelaki dan ia pun sangat senang. Namun, takdir yang harus ia dan putrinya jalani saat ini sangat menyedihkan. Pria itu juga tidak bisa menyalahkan Esti sepenuhnya karena putrinya tidak punya pilihan lain mengambil jalan yang salah. Bukan cuma Esti yang dilanda sedih, bapaknya pun sama. Pak Ramdan memandangi ponselnya dengan sedih. Mobil yang mereka tumpangi saat ini sedang membawa mereka pulang ke rumah, tetapi hati ayah dan anak itu sedang dilanda kedukaan. Meski uang ada di tangan mereka, tetapi bayi lelaki itu
Galih masih berada di salah satu rumah sakit untuk bertemu dengan dokter yang saat ini sedang mengobati sakitnya. Walau berobat bukan dengan asuransi bonafit, tetapi paling tidak ia bisa berobat gratis tanpa membayar dokter dan juga resep obat. Meski sesekali ada vitamin yang harus ia tebus dan tidak di cover BPJS, tetapi masih jauh lebih ringan dibandingkan jika ia harus mengeluarkan biaya dari dompet sendiri. "Bagaimana, Dok?" tanya Galih cemas. "Masih susah tidur?" "Masih, Dok, sesekali saya masih tidur tapi cepat terbangun. Tidurnya gak lelap, gak nyenyak kayak biasanya. Udahannya lemes dan gak semangat. Padahal vitamin dan saran dokter udah saya kerjakan.""Olah raganya gimana?" "Olah raga paling jalan pagi aja, Dok." "Saya rujuk ke penyakit dalam ya, Mas. Diperiksa lagi lebih lanjut sekalian cek fungsi ginjal. Sepengatahuan saya, kejantanan Mas tidak kunjung kembali bukan karena kecelakaan waktu itu saja, tetapi bisa banyak faktor. Seperti makan yang tidak sehat, minuman ka
"Sayang, kenapa? Muka kamu pucat banget. Kamu sakit?" tanya Batara saat melihat istrinya kembali meringkuk di balik selimut setelah solat subuh. Pria itu menaruh punggung tangannya di kening Kikan dan merasakan suhu tubuh istrinya hangat. "Lemes, Mas, masuk angin kayaknya. Udah lama badannya gak diajak lembur. Ini sekalinya lembur, malah langsung masuk angin.""Aku kerokin ya. Tunggu, aku ambil minyak gosok di belakang." Batara menaruh pecinya di gantungan, lalu ia bergegas keluar kamar. Pria itu kembali lagi dengan minyak gosok dan juga air putih hangat di tangannya."Sini, bangun dulu!" Batara membantu Kikan untuk duduk. "Kerokan loh, Mas, jangan malah nanti yang lain. Istrinya beneran gak enak badan ini ya." Batara tertawa mendengar curahan hati istrinya."Iya, Cantik, Sayangku, aku cuma kerokin aja, kecuali kalau nanti di pertengahan jalan ia berubah pikiran." Kikan berdecak sebal, tetapi sang Suami terlanjur mengangkat baju di bagian punggung, lalu mulai mengoleskan minyak goso
"Cepet sehat lagi ya, Bu Kikan." Tim dari wanita itu menjenguknya di rumah sakit. "Makasih ya. Kalian jadi repot mampir ke rumah sakit. Mana jauh pula dari kantor," jawab Kikan diiringi senyuman tipis. "Gak papa, Bu. Semoga lekas pulih dan sehat lagi. Pak Adit tadi udah bilang ke kita, mungkin Bu Kikan akan cuti," ujar Rubi yang sekarang menjadi asisten dua Kikan di kantor. "Iya, gimana mau kerja, cium aroma lelaki bikin saya enneg!" penjenguk yang ada di dalam ruangan Kikan ikut tertawa cekikikan karena empat orang staf lelaki yang ikut menjenguknya, tidak boleh ada yang masuk ke dalam. Begitu juga dengan Batara yang hanya bisa berdiri di depan pintu. Jika Batara memaksa masuk, maka Kikan harus memakai masker."Pak Batara kasihan sekali, masa istrinya langsung muntah begitu pak Batara dekat-dekat," celetuk Selfi dan yang lain pun serentak tertawa. "Sudah jadi nasibnya, siapa suruh banyak banget istri," komentar Kikan sambil berdecih."Oh, iya, Bu, ngomong-ngomong soal banyak istr
"Baby sitter yang akan urus anak kamu." "Dia bukan anakku, Ma. Dia anak pembantu itu!" Felix merasa enggan dan pria itu tidak akan pernah menganggap Bintang adalah anaknya. Esti alias Lilis mendengar penolakan Felix dengan hati yang sangat kecewa. Dahulu, jelas Felix memujinya.FlashbackEsti sedang berdiri di depan cermin yang ada di dalam kamar mandi apartemen Felix. Ia memperhatikan wajah yang tidak semangat sama sekali. Perasaan bersalah datang padanya untuk kesekian kalinya. Ini adalah kali ketiga Felix memanggilnya ke apartemen dan meminta ia memberikan service ranjang. Mau tidak mau, ia harus mau karena ancaman lelaki itu dan demi mengisi lambung sehari-hari. Bekerja sebagai tukang setrika di sebuah laundry jelas tidak cukup untuk menyambung hidupnya. Ditambah ada orang tua yang harus ia urus, begitu juga suaminya. Tok! Tok!Esti terlonjak kaget saat suara ketukan terdengar tak sabar."Esti, kamu udah selesai? Lama banget! Ayo, cepat!" Esti menyugar rambutnya yang mulai panj
PoV KikanAku dan suamiku terkejut bukan main. Belum lama Dewi dan suamiku bicara di telepon, tetapi sudah mendapatkan kabar bahwa wanita itu kecelakaan dan... Aku sampai susah bernapas. Duduk di dekat mas Batara yang tadinya mual dan muntah, sekarang tidak lagi. Wajah tegang suamiku begitu jelas terlihat. Aku tidak tahu mau menenangkannya bagaimana karena aku pun sama paniknya. Untunglah anak-anak masih di rumah mama. Jika tidak, Anak-anak pun pasti ikut panik dan sedih. "Mas, bawa mobilnya jangan ngebut. Tenang, Mas. " Aku mengusap pundak suamiku. "Makasih Kikan. Aku benar-benar panik. " Ia ikut mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Wajah itu berkeringat pdahal AC di mobil dingin. Kami tiba di rumah orang tua Dewi satu jam kemudian karena memang rumahnya jauh dari tempat tinggalku. Rumah itu sudah penuh orang yang takziah. Mayit Dewi pun sudah berada di dalam peti. Aku dan suamiku tidak diijinkan untuk melihat wanita itu untuk yang terakhir kalinya. Suara tangis bayi lelaki