Galih masih berada di salah satu rumah sakit untuk bertemu dengan dokter yang saat ini sedang mengobati sakitnya. Walau berobat bukan dengan asuransi bonafit, tetapi paling tidak ia bisa berobat gratis tanpa membayar dokter dan juga resep obat. Meski sesekali ada vitamin yang harus ia tebus dan tidak di cover BPJS, tetapi masih jauh lebih ringan dibandingkan jika ia harus mengeluarkan biaya dari dompet sendiri. "Bagaimana, Dok?" tanya Galih cemas. "Masih susah tidur?" "Masih, Dok, sesekali saya masih tidur tapi cepat terbangun. Tidurnya gak lelap, gak nyenyak kayak biasanya. Udahannya lemes dan gak semangat. Padahal vitamin dan saran dokter udah saya kerjakan.""Olah raganya gimana?" "Olah raga paling jalan pagi aja, Dok." "Saya rujuk ke penyakit dalam ya, Mas. Diperiksa lagi lebih lanjut sekalian cek fungsi ginjal. Sepengatahuan saya, kejantanan Mas tidak kunjung kembali bukan karena kecelakaan waktu itu saja, tetapi bisa banyak faktor. Seperti makan yang tidak sehat, minuman ka
"Sayang, kenapa? Muka kamu pucat banget. Kamu sakit?" tanya Batara saat melihat istrinya kembali meringkuk di balik selimut setelah solat subuh. Pria itu menaruh punggung tangannya di kening Kikan dan merasakan suhu tubuh istrinya hangat. "Lemes, Mas, masuk angin kayaknya. Udah lama badannya gak diajak lembur. Ini sekalinya lembur, malah langsung masuk angin.""Aku kerokin ya. Tunggu, aku ambil minyak gosok di belakang." Batara menaruh pecinya di gantungan, lalu ia bergegas keluar kamar. Pria itu kembali lagi dengan minyak gosok dan juga air putih hangat di tangannya."Sini, bangun dulu!" Batara membantu Kikan untuk duduk. "Kerokan loh, Mas, jangan malah nanti yang lain. Istrinya beneran gak enak badan ini ya." Batara tertawa mendengar curahan hati istrinya."Iya, Cantik, Sayangku, aku cuma kerokin aja, kecuali kalau nanti di pertengahan jalan ia berubah pikiran." Kikan berdecak sebal, tetapi sang Suami terlanjur mengangkat baju di bagian punggung, lalu mulai mengoleskan minyak goso
"Cepet sehat lagi ya, Bu Kikan." Tim dari wanita itu menjenguknya di rumah sakit. "Makasih ya. Kalian jadi repot mampir ke rumah sakit. Mana jauh pula dari kantor," jawab Kikan diiringi senyuman tipis. "Gak papa, Bu. Semoga lekas pulih dan sehat lagi. Pak Adit tadi udah bilang ke kita, mungkin Bu Kikan akan cuti," ujar Rubi yang sekarang menjadi asisten dua Kikan di kantor. "Iya, gimana mau kerja, cium aroma lelaki bikin saya enneg!" penjenguk yang ada di dalam ruangan Kikan ikut tertawa cekikikan karena empat orang staf lelaki yang ikut menjenguknya, tidak boleh ada yang masuk ke dalam. Begitu juga dengan Batara yang hanya bisa berdiri di depan pintu. Jika Batara memaksa masuk, maka Kikan harus memakai masker."Pak Batara kasihan sekali, masa istrinya langsung muntah begitu pak Batara dekat-dekat," celetuk Selfi dan yang lain pun serentak tertawa. "Sudah jadi nasibnya, siapa suruh banyak banget istri," komentar Kikan sambil berdecih."Oh, iya, Bu, ngomong-ngomong soal banyak istr
"Baby sitter yang akan urus anak kamu." "Dia bukan anakku, Ma. Dia anak pembantu itu!" Felix merasa enggan dan pria itu tidak akan pernah menganggap Bintang adalah anaknya. Esti alias Lilis mendengar penolakan Felix dengan hati yang sangat kecewa. Dahulu, jelas Felix memujinya.FlashbackEsti sedang berdiri di depan cermin yang ada di dalam kamar mandi apartemen Felix. Ia memperhatikan wajah yang tidak semangat sama sekali. Perasaan bersalah datang padanya untuk kesekian kalinya. Ini adalah kali ketiga Felix memanggilnya ke apartemen dan meminta ia memberikan service ranjang. Mau tidak mau, ia harus mau karena ancaman lelaki itu dan demi mengisi lambung sehari-hari. Bekerja sebagai tukang setrika di sebuah laundry jelas tidak cukup untuk menyambung hidupnya. Ditambah ada orang tua yang harus ia urus, begitu juga suaminya. Tok! Tok!Esti terlonjak kaget saat suara ketukan terdengar tak sabar."Esti, kamu udah selesai? Lama banget! Ayo, cepat!" Esti menyugar rambutnya yang mulai panj
PoV KikanAku dan suamiku terkejut bukan main. Belum lama Dewi dan suamiku bicara di telepon, tetapi sudah mendapatkan kabar bahwa wanita itu kecelakaan dan... Aku sampai susah bernapas. Duduk di dekat mas Batara yang tadinya mual dan muntah, sekarang tidak lagi. Wajah tegang suamiku begitu jelas terlihat. Aku tidak tahu mau menenangkannya bagaimana karena aku pun sama paniknya. Untunglah anak-anak masih di rumah mama. Jika tidak, Anak-anak pun pasti ikut panik dan sedih. "Mas, bawa mobilnya jangan ngebut. Tenang, Mas. " Aku mengusap pundak suamiku. "Makasih Kikan. Aku benar-benar panik. " Ia ikut mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Wajah itu berkeringat pdahal AC di mobil dingin. Kami tiba di rumah orang tua Dewi satu jam kemudian karena memang rumahnya jauh dari tempat tinggalku. Rumah itu sudah penuh orang yang takziah. Mayit Dewi pun sudah berada di dalam peti. Aku dan suamiku tidak diijinkan untuk melihat wanita itu untuk yang terakhir kalinya. Suara tangis bayi lelaki
Belum habis rasa terkejut atas kepergian Dewi, kini aku dibikin lebih terkejut dengan amanat yang diminta oleh ibu almarhumah. Aku harus mengurus bayi Dewi dengan suamiku dalam keadaan aku juga tengah hamil dan sedang mengurus dua anak mas Batara dari pernikahan pertama. "Sayang, kalau kamu pegal, biar aku yang gendong bayinya," ujar suamiku saat mobil berhenti di lampu merah. "Gak papa, Mas, aku bisa kok. Bayinya masih ringan. Lagian sebentar lagi sampai. " Kupandang wajah lelap bayi lelaki yang wajahnya sedikit mirip dengan Baim di bagian hidungnya. "Maafkan semuanya jadi rumit." Suamiku jelas sekali terpukul. Beban di pundaknya amat berat. Jika bayiku lahir dengan selamat nanti maka akan ada empat anaknya dari istri yang berbeda-beda. "Sudah takdir, Mas. Tidak ada yang mau seperti ini. Kita bicara nanti lagi ya. Sekarang kita pulang.""Kamu gak ingin makan sesuatu? " aku menggelengkan kepala. "Tidak, Mas. Makan di rumah saja. Bibik bilang hari ini masak sayur daun katuk dan j
PoV Esti. "Lilis, ini bawa ke dalam, dia cekugan terus. Panaskan dulu saja susunya." "Baik, Nyonya." Aku pun mengambil buah hatiku dari gendongan Bu Resti, lalu aku bawa ke kamar. Tidak ada yang tahu, bahwa di dalam kamar itu aku menyusui bayiku secara langsung. Tidak perlu asi yang dihangatkan lagi karena sudah langsung dari pabriknya. Memang asi-ku tidak terlalu banyak, tetapi ia bisa keluar di saat yang tepat. Gama, nama anak lelakiku yang tampan. Nama yang diberikan oleh omanya. Aku tidak masalah, asalkan aku bisa bersama dengan putraku terus dari dekat. Gama menyusu dengan kuat bila aku langsung memberikan dari tempatnya. Bisa dua jam kanan kiri, sampai akhirnya bayiku itu tertidur. Setelah Gama pulas, aku pun merapikan box bayi dan langsung keluar dari kamar. Ada banyak pekerjaan yang bisa aku kerjakan di rumah orang tua Felix. Gak papa, aku juga gak perhitungan. Bagiku, ibu dan anak itu tidak curiga saja aku sudah sangat bersyukur. "Aku mau membawa teman dekatku ke rumah
Pria itu setengah sadar karena efek minuman keras. Tentu saja aku langsung sigap mendorongnya hingga pria itu jatuh. Lekas aku membetulkan posisi kancing baju, lalu aku membantu Felix bangun, tetapi pria itu malah tetap berbaring telungkup di atas karpet. Benar-benar sudah tidak waras otaknya."Tuan, bangun, nanti Gama ikut kebangun. Saya ngantuk dan capek!" Aku membantu Felix berdiri dengan susah payah. "Kamu itu mirip perempuan itu, Lilis. Kalian kayak sama. Tapi kamu lebih cantik sih, Esti buluk, item, jelek, bau bawang, tapi aku suka badannya!""Aarrrgggh!" Biarin, rasakan! Jelek, item, buluk, bau bawang katanya, tapi keenakan. Dasar lelaki gila! Aku terus mencubit pinggangnya tanpa ia sadari. Ia hanya memekik seperti orang yang sedang digigit semut. "Aduh, semut nakal nih!" Katanya lagi sambil mengibaskan pinggangnya. Aku berhasil membawa Felix keluar dari kamar Gama. Tentu saja aku tidak berani memapah langsung sampai di kamarnya. Bisa-bisa dia hilang akal lagi. Aku menghem