"Oh, iya, maaf saya gak ngenalin Tante.""Gak papa, Kikan. Kamu hamil juga? Masih punya bayi udah hamil lagi? Wah, udah gede juga. Udah berapa bulan? Cepet ya. Waktu sama Galih kayaknya lama, yang subur malah pembantu kamu ha ha ha... udah berapa bulan hamilnya?""Lima mau enam kayaknya Tante." Wajah Bu Kikan terlihat sangat tidak nyaman. "Oh, iya, ini bayinya Felix dari mantan pembantu kamu itu. Tahu kan?""Tante, saya ijin ke kamar mandi dulu ya. " Bu Kikan segera beranjak dari duduknya. Dengan gerakan tangan meminta suaminya mengikutinya. Sampai akhirnya nomor Bu Kikan dipanggil, wanita itu tidak duduk di dekat kami lagi. Apa maksud ucapan mamanya Felix? Bu Kikan tahu apa? Selesai dari rumah sakit, kami langsung pulang. Gama tertidur sepanjang jalan. Ia hanya bangun saat mobil berhenti saat macet di jalan tadi. "Gama kamu taruh di box-nya, setelah itu kamu ke dapur bantu bibik siapkan makanan untuk tamu Felix malam ini.""Baik, Nyonya. Mau mantu lagi ya, Nyonya." Bu Resti menga
PoV Galih"Kikan katanya lagi hamil, Ma," kataku yang tidak semangat menyendokkan nasi ke dalam mulut. Gimana mau semangat? Kerjaan kantor banyak. Denger mantan di sana lagi hamil, dapat suami duda kaya pula. Aku di sini, baru aja diceraikan istri. "Kamu tahu dari mana? Ngintip instagram Kikan ya?""Tahu lah, pokoknya.""Kikan ada suaminya. Ya, kalau dia hamil malah bagus. Kamu kenapa masih gosting Kikan, sih? Masih ngarep dia balik sama kamu? Ya gak bakalan. Kamu udah nyakitin hati Kikan banget." Aku menghela napas. Kadang aku berpikir, jika saja waktu bisa aku ulang, tak akan aku mau minum obat stamina itu. Mungkin rumah tanggaku dengan Kikan masih langgeng sampai saat ini. "Cuma lihat di instagramnya kemarin. Masih berteman di instagram, tapi gak pernah tegur sapa." Mana berani aku chat Kikan, yang ada pasti langsung di block. "Kayaknya udah bahagia," kataku lagi. Mama tertawa pelan. Lebih tepatnya menertawakan diriku yang masih dapat azab dari Ilahi Robbi. "Kikan bahagia, Esti
PoV3"Apa, F-felix mau melamar kamu?""Iya, Pak. Aduh, gimana nih, Pak. Esti takut. Bisa-bisa Ketahuan dong nanti.""Kalau Bapak operasi plastik juga kayak kamu, keburu gak?""Ha ha ha... keburu dipanggil Malaikat Maut iya. Ish, Bapak, Esti lagi urgen nih. Beneran, Pak. Bapak malah bercanda. Kenapa Bapak yang mau ikutan operasi?""Iya, terus Bapak harus gimana? Kamu gak dikenali mereka karena udah operasi kan? Bapak juga kalau gitu, biar mereka gak kenal juga sama Bapak. Kalau mereka kenal Bapak, bisa-bisa mereka tahu kalau kamu itu Esti, bukan Lilis.Bapak minta hidung Bapak mancung sama keriput Bapak ini dihilangkan. Bibir Bapak yang hitam ini dimerahin bisa gak?""Pak, kagak keburu. Udah dua hari lagi. Besok sabtu. Segala bibir pengen dimerahin.""Kamu kenapa mau sama Felix? Dia udah bikin kamu cerai dari Galih loh!""Ya, karena ada Gama, Pak. Ya udah, nasib Esti harus ketemu dia lagi. Bapak gak usah operasi plastik. Bapak pakai wig aja. Rambut palsu. Nanti Esti order online dikiri
"Happy?" Batara tersenyum pada wanita yang kini sedang mengandung buah cinta mereka. Pria itu mengungkung Kikan dari belakang dengan kedua tangan berpegangan pada pagar penyangga balkon. Kikan berbalik, bergantian kini dirinya yang mengalungkan tangan di leher suaminya. "Kenapa baru kali ini ajak saya ke sini?" wajahnya dibuat cemberut. "Pertama karena kamu sibuk dan yang kedua, villa ini baru lunas." Batara tersenyum lebar di saat kening Kikan mengerut dalam. Pria itu mengambil map bening dari atas meja kecil yang ada di balkon. "Hadiah untuk wanita yang sudah berjuang begitu hebat tetap di sampingku, meskipun ujian tidak kunjung berhenti datang. Terima kasih Sayang. Ini villa aku beli sebagai hadiah untuk ibu dari anak-anakku." Kikan tidak kuasa menahan tangisnya. Dengan kedua tangan yang menutup mulut karena tidak percaya, air matanya merembes di pipi. "Mas, apa lagi ini?""Hadiah untuk kamu. Ini sudah atas nama kamu. Ada teman yang jual butuh dan boleh aku bayar enam kali ha h
Batara memarkirkan mobilnya persis di samping mobil Felix. Kikan dengan perut besarnya ikut turun karena ia benar-benar penasaran mau apa dua lelaki masuk gang sambil membawa parcel buah dan juga kotak kue. Ditambah ada mama dari Felix. "Setahu aku, Mas, Felix dan Galih itu ribut besar. Felix pernah dipukulin Galih. Terus kenapa mereka bisa sama-sama lagi?" komentar Kikan saat keduanya berjalan masuk ke dalam gang. "Mungkin sudah berdamai dengan takdir. Lagian kamu kenapa jadi kepo sih?" Kikan tertawa melihat takut wajah suami yang tidak senang. "Bukan aku yang kepo, Mas, tapi bayiku ha ha ha.... " Batara mencubit gemas pipi istrinya. Keduanya kembali fokus mencari tiga orang yang tadi masuk ke dalam gang. "Di mana ya?" Kikan menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ia temukan di mana Galih dan Felix. "Nak Galih, eh... Nak Felix, saya nikahkan engkau dengan putri saya yang bernama Lilis... Lilis.... " Lilis mendelik saat bapaknya malah lupa nama panjangnya padahal bapaknya send
"Kenapa lagi kamu, Gal? Pulang-pulang nganter Felix nikah, muka kamu asem?" tanya Bu Sisil pada putranya. Galih tiba di rumah sudah sangat sore, langit biru yang kini sudah berubah jingga. "Pengen nikah juga kayak dia?" "Iya, mana ada lelaki yang gak mau nikah, Ma. Cuma saya harus sembuh dulu. Babby sitter yang dinikahin Felix, sekilas wajahnya mirip Esti. Bukan hanya perempuan itu, tetapi bapaknya juga.""Di dunia ini katanya kita emang punya tujuh orang yang mukanya mirip. Kamu gak tahu?" Bu Sisil duduk di samping Galih yang kini sudah berbaring di sofa sambil menatap langit-langit. "Iya kalau cuma wajahnya, sih, mungkin iya, Ma, tapi ini suaranya juga. Bapaknya juga suara dan muka mirip. Cuma bapaknya Lilis ini agak melambay. Tadi aja pakai lipstik he he he.... ""Hah? Bapak-bapak pakai lipstik?" Bu Sisil tidak percaya. Galih mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan foto Lilis dan juga bapaknya karena tadi ia sempat memotret keduanya dalam pose yang berbeda. "Oh, iya, agak miri
"Saya mohon tolong segera cari wanita ini, Pak.""Baik, Bu, laporannya akan segera kami proses.""Wanita ini bawa cucu saya." Bu Resti menangis tersedu-sedu. Felix hanya diam saja. Sejak mamanya histeris karena Lilis dan Gama tidak ada di kamar, pria itu tidak bisa berkata-kata lagi. Foto Lilis yang ia tunjukkan pada polisi sudah sempat ia remuk karena kesal, tetapi bukankah seharusnya ia senang karena Gama pergi. Anak dari Esti itu sudah dibawa pergi, lalu untuk apa ia kebingungan? "Sudahlah, Ma, ayo, kita pulang saja!""Cucuku, Gama." "Ma, dia bukan cucu Mama. Berapa kali harus aku bil_"Plak! Sebuah tamparan tercetak di pipi pria itu. Bu Resti berjalan lebih dahulu masuk ke dalam mobil, bahkan ia duduk di kursi kemudi dengan gagahnya dan langsung pergi meninggalkan Felix yang terpaksa berteriak meminta mamanya untuk menghentikan mobilnya. "Argh, sial banget sih!" Felix pun akhirnya memesan taksi online untuk pulang ke rumah kontrakannya yang tadinya akan ia tinggali bersama Lil
Suara benda jatuh membuat bu Diah tak sabar untuk membuka pintu kamar, tetapi pintu terkunci dari dalam. "Kikan, buka pintunya! Batara, buka! Astaghfirullah kalian berdua ini kenapa?""Mama, cepat! Tolong, Ma! Kikan mau melahirkan! Eh, udah melahirkan, Mama! Mas Batara pingsan!""Apa?!" Dengan tangan gemetar wanita itu menghubungi darurat rumah sakit dan meminta mendatangkan dokter kandungan karena menantunya melahirkan sendirian di kamar. Lima belas menit kemudian, satpam perumahan dibantu oleh dua warga berhasil mendobrak kamar Kikan. Wanita itu langsung ditangani, sedangkan Batara dilarikan ke rumah sakit karena tidak kunjung sadar dari pingsannya. "Ibu dan bayinya hebat ya. Maunya lahiran di rumah, bukan di rumah sakit," puji dokter kandungan yang datang bersama dua perawat untuk mengurus Kikan. Seorang perawat lagi mengurus bayi Kikan yang sekarang baru menangis keras. "Alhamdulillah, gimana kondisi menantu saya, Dok? Mau dibawa ke rumah sakit aja biar dicek semua, Dok.""Ga
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i