Suara benda jatuh membuat bu Diah tak sabar untuk membuka pintu kamar, tetapi pintu terkunci dari dalam. "Kikan, buka pintunya! Batara, buka! Astaghfirullah kalian berdua ini kenapa?""Mama, cepat! Tolong, Ma! Kikan mau melahirkan! Eh, udah melahirkan, Mama! Mas Batara pingsan!""Apa?!" Dengan tangan gemetar wanita itu menghubungi darurat rumah sakit dan meminta mendatangkan dokter kandungan karena menantunya melahirkan sendirian di kamar. Lima belas menit kemudian, satpam perumahan dibantu oleh dua warga berhasil mendobrak kamar Kikan. Wanita itu langsung ditangani, sedangkan Batara dilarikan ke rumah sakit karena tidak kunjung sadar dari pingsannya. "Ibu dan bayinya hebat ya. Maunya lahiran di rumah, bukan di rumah sakit," puji dokter kandungan yang datang bersama dua perawat untuk mengurus Kikan. Seorang perawat lagi mengurus bayi Kikan yang sekarang baru menangis keras. "Alhamdulillah, gimana kondisi menantu saya, Dok? Mau dibawa ke rumah sakit aja biar dicek semua, Dok.""Ga
"Loh, kamu siapa? K-kenapa pakai baju istri saya?!" tanya Batara gak kalah panik. Bagaimana ia tidak terkejut saat menyadari pekikan dari suara istrinya yang ternyata bukan wanita yang sedang ia peluk. Refleks Batara menjauh dengan wajah bingung. "Mas, astaghfirullah, aku udah ngeri aja. Maaf, Mas, ini Arini, suster yang akan membantu aku mengurus bayi kita." Kikan menghampiri suaminya sambil mengusap punggung pria itu untuk menenangkan. "Memangnya suster Diana ke mana? Kenapa tidak ada yang mengabari saya? Dan satu lagi, kenapa harus pakai baju kamu?!" pria itu jelas sekali tidak suka. Ia pun enggan menatap suster yang tadi sudah peluk tanpa sengaja. "Mas, maaf.""Maaf, Pak, Bu, saya ijin keluar dulu ya." Suster itu pun segera keluar dari kamar Kikan, lalu menutup pintu. Batara masih syok. Napasnya saja naik turun dengan cepat, tanda ia sedang berusaha menguasai emosi dan rasa malu yang luar biasa. Kikan menarik pelan tangan suaminya, lalu membawa Batara duduk di pinggir ranjang.
"Permisi, saya mau tanya, Pak, pemilik rumah ini ke mana ya?" tanya Galih pada salah satu tetangga pak Ramdan alias Boby. "Oh, Pak Ramdan. Eh, Pak Bobby." Galih mengerutkan keningnya. Ia tidak asing dengan nama tersebut dan sekarang ia benar-benar mengingatnya. "Iya, yang punya rumah ini. Yang tiga bulan lalu anaknya nikah di sini.""Oh, itu, udah gak tahu ke mana. Pergi subuh-subuh.""Anaknya?""Gak tahu deh, perginya sendiri bawa tas. Kunci rumah kontrakan diserahkan pada RT, tapi RT juga bilang gua tahu ke mana. Kenapa orang-orang pada nyari pak Bobby sih? Padahal pak Bobby itu orang baik. Sering kumpul sama warga sini. Menantunya juga waktu itu ke sini sampai lima kali, tapi gak ketemu.""Kerjanya apa ya, Pak? Terus nama anaknya Esti apa Lilis?""Lilis." Galih menghela napas. Apakah mungkin hanya mirip saja? "Baiklah, Pak. Terima kasih banyak ya." Galih kembali naik ke atas motornya dan meneruskan perjalanan pulang ke rumah. Tiga bulan sudah berlalu sejak Lilis membawa pergi pu
"Halo, kenapa, Wi?""Ya, ampun, Mama ke mana aja? Ada satu minggu lost contact sama Dewi. Mama sakit?""HP Mama sakit. Sama dompet. Jadi HP dibawa ke tukang service dan bermalam juga hari di sana. Mama emang sengaja gak mau telepon kamu karena pasti kamu ujung-ujungnya minta duit!""Ish, Mama, sebentar lagi juga bakalan jadi mertua banyak duit lagi. Mama hanya kudu sabar sedikit lagi. Gimana, Ma? Wanita bernama Kikan itu pasti stres berat karena mengurus anakku. Dia sedang punya bayi dan harus mengurus bayiku pula." Dewi tertawa puas dari seberang telepon. "Dia pasti minta cerai dari mas Batara kan? Duh, Dewi seharusnya tetap di Jakarta biar bisa lihat wanita itu teriak-teriak karena stres.""Kata siapa stres. Bintang diurus oleh baby sitter. Di rumah Batara ada tiga orang. Yang satu pembantu, yang dua orang baby sitter. Siapa yang stres? Kikan? Gak bakalan. Justru dari yang Mama lihat, Batara baru saja membeli rumah atas nama Kikan. Rumah besar yang banyak kamarnya.""Hah! Gak mungk
Kemunculan Arini Zahra atau yang ia biasa panggil Zahra, membuat Batara tidak fokus dan juga tidka nyaman. Pria itu sengaja menghindar dari suster yang merawat bayinya. Ia tidak mau bicara jujur pada Kikan karena ia mengira Zahra atau Suster Arini itu hanya sebentar saja di rumahnya, menggantikan suster Dian. "Sayang, kalau ada apa-apa, segera hubungi saya ya. Kamu bisa kan?""Bisa, Mas, di rumah sudah banyak banget orang. Pindahannya biar setelah empat puluh hari aja." Batara tersenyum lebar. "Kamu mah istri paling pengertian. Tahu aja timing nya saat nifas selesai ya." Kikan malah tertawa. "Bukan itu maksudnya, biar rumah di sana rapi dulu. Lagian ini kayaknya nifas lebih dari empat puluh hari, tapi setahun.""Oh, tidak, Sayang. Otakku bisa meleleh nanti." Batara mencium cepat bibir istrinya sebelum ia keluar dari kamar. "Hati-hati ya." Batara mengangguk. "Jangan lupa telepon suster Dian. Tanyakan kapan bisa balik ke sini. Harusnya secepetnya karena aku tetap lebih nyaman denga
"Tidak, kamu jangan membual! Saya gak kenal kamu dan gak ingat siapa Zahra. Sudah sana, masuk!""Bu, tunggu!" Suster Arini menahan pelan lengan bu Diah. "Lepaskan tangan kamu dari saya!" Reflek Arini melepasnya. "Bu, saya Zahra Arini, mantan kak Batara. Ibu gak setuju karena saya bukan perawat'kan? Sekarang saya sudah jadi perawat, makanya saya kembali ke sini. Saya gak tahu kalau kak Batara sudah menikah, bahkan dengan tiga wanita. Tapi saya gak papa, saya akan menerima kak Batara karena sampai seka-""Sudah cukup! Jika kamu malam ini masih ingin tidur di sini, silakan tutup mulut! Jangan katakan apapun tentang masa lalu kamu dengan putra saya! Besok kamu baru kembali dengan tugas kamu!""Bu, kasih saya satu kesempatan, Bu. Saya benar-benar mencintai Kak Batara dan saya gak masalah mau jadi istri kedua. Saya ikhlas berbagi dengan bu Kikan." Bu Diah tertawa pelan. "Kamu belum tahu menantu saya yang ini berbeda dari yang lainnya. Jika kamu mau hidup kamu selamat, maka sebaiknya sege
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan pada mbak Dewi, Mas?" tanya Kikan setelah mereka berdua berbaring di ranjang, bersiap tidur. "Bintang apa akan kamu berikan lagi pda mbak Dewi?" Batara menoleh pada Kikan. "Ya, bagaimanapun Bintang masih sangat kecil dan butuh ibunya.""Memangnya saya bukan ibu dari Bintang? Mas lupa kalau Bintang sudah minum asi saya?""Kikan, tapi kamu sendiri sudah repot sama anak-anak-" Kikan menahan bibir suaminya dengan jari telunjuknya. "Bintang akan tumbuh jadi anak lelaki yang distimulus seperti ibunya. Apa Mas mau? Bintang akan tumbuh jadi orang yang posesif dan menghalalkan segala cara, termasuk membuat kerusakan. Biar saja, Bintang kita urus sama-sama. Untuk mbak Dewi, biarkan dia hidup dengan semua kebohongannya. Kita tidak perlu ikut campur dan fokus pda keluarga besar kita, he he he... saya doanya minta sama Allah, dikasih banyak anak. Maksudnya yang lahir dari rahim saya, malah lahirnya dari rahim mana saja." Batara menarik Kikan dalam pelukannya. M
"Ngakunya istri bos, ternyata halu. Malah bisa-bisanya mau dinikahi sama kakek-kakek!" Lilis terus menggerutu kesal sambil mengelap debu yang menempel di jejeran toples dagangannya. Ekor matanya melirik sengit wanita yang hanya memanfaatkan bapaknya saja. Alias numpang tinggal. Dewi sedang duduk di teras sambil makan jeruk, sedangkan bapaknya sedang menyapu halaman. Lilis kesal bukan main, tetapi bapaknya sedang bucin pada wanita yang salah, sehingga ia pun belum bisa berbuat apa-apa selain bersabar. "Mas, aku mau beli bedak. Bedakku habis," rengek Dewi pada suaminya. "Bukannya di dompet besar itu bedak kamu semua," jawab pak Ramdan. "Itu aku gak cocok makenya. Aku baru lihat di tiktok bedak yang lagi hits dipake artis-artis nasional dan mancanegara.""Harganya berapa?""Murah kok, Pak. Satu juta dua ratus." Lilis mendelik hingga ia merasa jantungnya sempat berhenti berdetak untuk beberapa detik mendengar harga bedak satu juta dua ratus. "Selagi mandi masih pake gayung. Tidur di