"Jadi, apa yang akan kamu lakukan pada mbak Dewi, Mas?" tanya Kikan setelah mereka berdua berbaring di ranjang, bersiap tidur. "Bintang apa akan kamu berikan lagi pda mbak Dewi?" Batara menoleh pada Kikan. "Ya, bagaimanapun Bintang masih sangat kecil dan butuh ibunya.""Memangnya saya bukan ibu dari Bintang? Mas lupa kalau Bintang sudah minum asi saya?""Kikan, tapi kamu sendiri sudah repot sama anak-anak-" Kikan menahan bibir suaminya dengan jari telunjuknya. "Bintang akan tumbuh jadi anak lelaki yang distimulus seperti ibunya. Apa Mas mau? Bintang akan tumbuh jadi orang yang posesif dan menghalalkan segala cara, termasuk membuat kerusakan. Biar saja, Bintang kita urus sama-sama. Untuk mbak Dewi, biarkan dia hidup dengan semua kebohongannya. Kita tidak perlu ikut campur dan fokus pda keluarga besar kita, he he he... saya doanya minta sama Allah, dikasih banyak anak. Maksudnya yang lahir dari rahim saya, malah lahirnya dari rahim mana saja." Batara menarik Kikan dalam pelukannya. M
"Ngakunya istri bos, ternyata halu. Malah bisa-bisanya mau dinikahi sama kakek-kakek!" Lilis terus menggerutu kesal sambil mengelap debu yang menempel di jejeran toples dagangannya. Ekor matanya melirik sengit wanita yang hanya memanfaatkan bapaknya saja. Alias numpang tinggal. Dewi sedang duduk di teras sambil makan jeruk, sedangkan bapaknya sedang menyapu halaman. Lilis kesal bukan main, tetapi bapaknya sedang bucin pada wanita yang salah, sehingga ia pun belum bisa berbuat apa-apa selain bersabar. "Mas, aku mau beli bedak. Bedakku habis," rengek Dewi pada suaminya. "Bukannya di dompet besar itu bedak kamu semua," jawab pak Ramdan. "Itu aku gak cocok makenya. Aku baru lihat di tiktok bedak yang lagi hits dipake artis-artis nasional dan mancanegara.""Harganya berapa?""Murah kok, Pak. Satu juta dua ratus." Lilis mendelik hingga ia merasa jantungnya sempat berhenti berdetak untuk beberapa detik mendengar harga bedak satu juta dua ratus. "Selagi mandi masih pake gayung. Tidur di
"Aku mau ketemu Gama!" "Gak bisa! Kalau kamu ambil Gama, terus kamu nikah, Gama kamu buang ke panti! Jadi, lebih baik aku yang urus!" Balas Lilis dengan tatapan bermusuhan. "Aku gak minta dinafkahi karena ternyata aku bisa. Selagi ada anak, maka akan ada rejeki anak!" Kata Lilis lagi bersikeras. Dua orang mengintip dari balik jendela ruang tamu. Yang satu fokus menguping, yang satunya lagi menguping sambil menggendong cucu. "Tapi kamu itu jatuhnya menculik.""Kata siapa? Aku ini istri kamu kan? Gama anak sambung aku. Dari mana aku menculik? Lagian Gama aku urus. Kamu bukannya gak suka Gama, kenapa malah repot nyari anakku?!" "Gak sopan kamu sekarang ya? Sama majikan panggilnya kamu, kamu terus!""Kamu juga gak ada bagus-bagusnya jadi suami!""Lilis! Aku gak mau ribut di sini! Bawa Gama, kita perlu bicara. Mama aku sakit. Ada di hotel dekat sini. Aku bilang, aku akan jemput kamu." Lilis terdiam. Jika sudah menyangkut bu Resti pasti ia tidak tega. Majikan perempuannya yang sudah jad
"Permisi, numpang tanya, Pak. Pemilik rumah blok M12 yang namanya pak Batara sudah pindah ya? Apa Bapak tahu pindahnya ke mana?" tanya Arini apda satpam komplek yang sore ini kembali berkunjung ke rumah Batara; ingin menemui lelaki itu untuk kesekian kalinya, tetapi belum juga berhasil. "Oh, pak Batara emang sudah pindah, Bu, tapi kami gak diberi tahu pindahnya ke mana," jawab lelaki yang memakai seragam satmpan warna hitam. "Oh, gitu ya. Trus rumahnya dijual?""Iya, betul, Bu. Katanya, sih, mau dijual, tapi gak tahu juga. Ibu makelar jual beli rumah ya?" wajah Arini berubah kesal. "Terima kasih informasinya, Pak." Wanita itu pun segera menyalakan kembali mesin motornya. Sekali lagi ia mengendarai motor melewati rumah Batara yang sudah kosong. Ada banner dijual, tetapi tidak ada kontaknya, sehingga ia tidak tahu harus menghubungi pria itu bagaimana. Arini pun memilih pulang ke kosan. Besok ia masuk pagi, sehingga ada banyak waktu untuknya beristirahat sejak sore, tetapi pikiran ak
"Pengantinku cantik sekali.""Terima kasih, Mas."Wanita mana yang tidak akan terbang ke angkasa saat dipuji oleh lelaki yang baru saja SAH menjadi suami. Mas Brian terang-terangan menatapku di setiap kesempatan di sela-sela tamu yang datang bersalaman untuk memberikan doa, selamat, dan juga restu. "Kamu lelah ya?" bisik mas Brian saat akhirnya semua tamu undangan pulang. Tersisa keluarga inti saja yang masih menemani kami. "Sedikit, Mas," jawabku malu-malu. Lelaki tiga puluh dua tahun itu kembali tersenyum begitu manis. Peci berwarna putihnya sudah ia turunkan dari kepala dan ia taruh di kursi kosong di sampingnya, sedangkan aku memilih duduk di seberang suamiku untuk menikmati makan malam yang sudah tidak terasa enak di lidah. Bukan karena tidak enak rasanya, tetapi hatiku yang mendadak cemas menjelang kami akan masuk ke kamar hotel. "Brian, kalian kalau udah lelah, langsung masuk kamar aja ya. Kunci udah diberikan Andre'kan?""Udah, Ma. Setelah ini memang mau masuk kamar." Mama
Aku melihat jam dinding yang sudah berada di angka dua belas malam. Aku tidak tahu suamiku pergi ke mana setelah ia menalakku. Pesan dariku hanya ceklis satu. Jadi, aku benar-benar tidak tahu harus mencarinya ke mana? Maka, malam pertama ini aku lalui dengan tidur. Tidur begitu nyenyak di kasur yang empuk. Beda dengan kasur di rumahku yang dibeli bapak dari mobil bak keliling seharga lima ratus ribu. Aku bagaikan tidur di atas barang pohon. Mungkin ini yang menyebabkan mas Brian tidak suka. Dagingku kurang besar. Aku mungkin kurang gemuk, tidak gemoy seperti wanita lain. Keesokan paginya, aku terbangun dan tidak mendapati mas Brian di sampingku. Tidak juga terlihat tanda-tanda ia pulang. Karena lapar, aku pun memutuskan bangun. Mandi biar segar, berharap suamiku nanti pulang dan menarik kembali ucapannya. Mungkin semalam karena gelap, jadi menurutnya, aku kurang besar. Kring! Kring! Aku langsung menyambar ponselku yang berdering. "Halo, Mas, kamu di mana? Kamu gak pulang semalam
Enak saja mau cerai! Katanya sekolah sampai S2, tapi ternyata gak cerdas! Udah dipegang-pegang, bibirku juga jadi gak pera-wan lagi, malah bilang mau cerai! Gak bisa! Kring! Kring! Aku terlonjak kaget saat ponselku berdering. Mas Brian berpesan agar aku tidak mengaktifkan HP selama mereka honeymun. Namun, aku malah sengaja menyalakan ponsel. Dia saja tidak peduli denganku, lalu untuk apa aku menurut? "Halo, assalamu'alaikum." Terlalu bersemangat, aku sampai tidak melihat kontak yang meneleponku. "Wa'alaykumussalam, Alma. Gimana kabar kamu dan Brian?""Sehat, Ma, alhamdulillah.""Semua baik-baik aja kan?""Iya, Ma, baik kok. Lagi keenakan he he he.... ""Oh, syukur deh, kalau semua berjalan enak." Aku terbahak tanpa polis! tidur lagi. Rasanya senang punya mertua sangat ramah, baik, dan ceria seperti mama Kikan. Duka setelah ditalak kemarin mendadak hilang tidak berbekas. "Ada apa, Ma?""Gak papa. Mama cuma gak lihat status kamu dan Brian, makanya Mama cek. Ya sudah kalau begitu,
Kami semua berkumpul di kamar hotel. Mama, Mas Baim, dan juga aku. Kami menunggu mas Brian sampai karena ternyata benar, suamiku itu berada di rumah perempuan bernama Felisa. Mama berkeliling ruangan, melihat-lihat sampai ke kamar mandi. Mama juga membuka tempat sampah dan keranjang yang ada di depan pintu kamar mandi. "Mama cari apa?" tanyaku bingung. Beliau nampak menghela napas. Mama berjalan ke arahku, berdiri persis di depan wajahku. "Baim, kamu tunggu di lobi ya. Mama perlu bicara dengan Alma. Kalau kamu bertemu Brian di bawah, suruh langsung naik ke sini!""Baik, Ma." Kakak ipar tertuaku itu pun segera keluar dari kamarku. Ia memang tidak banyak bicara, terutama sejak ia kehilangan istrinya dua tahun lalu. Aku juga baru bertemu dua kali. Ada juga kakak iparku yang lain, namanya Maura yang baru memiliki satu anak. Mama membuyarkan lamunanku ketika ia menarik tangan ini untuk duduk di pinggir ranjang. Matanya menoleh ke samping, lalu bergerak menjelajah kondisi ranjang pengant