"Aku mau ketemu Gama!" "Gak bisa! Kalau kamu ambil Gama, terus kamu nikah, Gama kamu buang ke panti! Jadi, lebih baik aku yang urus!" Balas Lilis dengan tatapan bermusuhan. "Aku gak minta dinafkahi karena ternyata aku bisa. Selagi ada anak, maka akan ada rejeki anak!" Kata Lilis lagi bersikeras. Dua orang mengintip dari balik jendela ruang tamu. Yang satu fokus menguping, yang satunya lagi menguping sambil menggendong cucu. "Tapi kamu itu jatuhnya menculik.""Kata siapa? Aku ini istri kamu kan? Gama anak sambung aku. Dari mana aku menculik? Lagian Gama aku urus. Kamu bukannya gak suka Gama, kenapa malah repot nyari anakku?!" "Gak sopan kamu sekarang ya? Sama majikan panggilnya kamu, kamu terus!""Kamu juga gak ada bagus-bagusnya jadi suami!""Lilis! Aku gak mau ribut di sini! Bawa Gama, kita perlu bicara. Mama aku sakit. Ada di hotel dekat sini. Aku bilang, aku akan jemput kamu." Lilis terdiam. Jika sudah menyangkut bu Resti pasti ia tidak tega. Majikan perempuannya yang sudah jad
"Permisi, numpang tanya, Pak. Pemilik rumah blok M12 yang namanya pak Batara sudah pindah ya? Apa Bapak tahu pindahnya ke mana?" tanya Arini apda satpam komplek yang sore ini kembali berkunjung ke rumah Batara; ingin menemui lelaki itu untuk kesekian kalinya, tetapi belum juga berhasil. "Oh, pak Batara emang sudah pindah, Bu, tapi kami gak diberi tahu pindahnya ke mana," jawab lelaki yang memakai seragam satmpan warna hitam. "Oh, gitu ya. Trus rumahnya dijual?""Iya, betul, Bu. Katanya, sih, mau dijual, tapi gak tahu juga. Ibu makelar jual beli rumah ya?" wajah Arini berubah kesal. "Terima kasih informasinya, Pak." Wanita itu pun segera menyalakan kembali mesin motornya. Sekali lagi ia mengendarai motor melewati rumah Batara yang sudah kosong. Ada banner dijual, tetapi tidak ada kontaknya, sehingga ia tidak tahu harus menghubungi pria itu bagaimana. Arini pun memilih pulang ke kosan. Besok ia masuk pagi, sehingga ada banyak waktu untuknya beristirahat sejak sore, tetapi pikiran ak
"Pengantinku cantik sekali.""Terima kasih, Mas."Wanita mana yang tidak akan terbang ke angkasa saat dipuji oleh lelaki yang baru saja SAH menjadi suami. Mas Brian terang-terangan menatapku di setiap kesempatan di sela-sela tamu yang datang bersalaman untuk memberikan doa, selamat, dan juga restu. "Kamu lelah ya?" bisik mas Brian saat akhirnya semua tamu undangan pulang. Tersisa keluarga inti saja yang masih menemani kami. "Sedikit, Mas," jawabku malu-malu. Lelaki tiga puluh dua tahun itu kembali tersenyum begitu manis. Peci berwarna putihnya sudah ia turunkan dari kepala dan ia taruh di kursi kosong di sampingnya, sedangkan aku memilih duduk di seberang suamiku untuk menikmati makan malam yang sudah tidak terasa enak di lidah. Bukan karena tidak enak rasanya, tetapi hatiku yang mendadak cemas menjelang kami akan masuk ke kamar hotel. "Brian, kalian kalau udah lelah, langsung masuk kamar aja ya. Kunci udah diberikan Andre'kan?""Udah, Ma. Setelah ini memang mau masuk kamar." Mama
Aku melihat jam dinding yang sudah berada di angka dua belas malam. Aku tidak tahu suamiku pergi ke mana setelah ia menalakku. Pesan dariku hanya ceklis satu. Jadi, aku benar-benar tidak tahu harus mencarinya ke mana? Maka, malam pertama ini aku lalui dengan tidur. Tidur begitu nyenyak di kasur yang empuk. Beda dengan kasur di rumahku yang dibeli bapak dari mobil bak keliling seharga lima ratus ribu. Aku bagaikan tidur di atas barang pohon. Mungkin ini yang menyebabkan mas Brian tidak suka. Dagingku kurang besar. Aku mungkin kurang gemuk, tidak gemoy seperti wanita lain. Keesokan paginya, aku terbangun dan tidak mendapati mas Brian di sampingku. Tidak juga terlihat tanda-tanda ia pulang. Karena lapar, aku pun memutuskan bangun. Mandi biar segar, berharap suamiku nanti pulang dan menarik kembali ucapannya. Mungkin semalam karena gelap, jadi menurutnya, aku kurang besar. Kring! Kring! Aku langsung menyambar ponselku yang berdering. "Halo, Mas, kamu di mana? Kamu gak pulang semalam
Enak saja mau cerai! Katanya sekolah sampai S2, tapi ternyata gak cerdas! Udah dipegang-pegang, bibirku juga jadi gak pera-wan lagi, malah bilang mau cerai! Gak bisa! Kring! Kring! Aku terlonjak kaget saat ponselku berdering. Mas Brian berpesan agar aku tidak mengaktifkan HP selama mereka honeymun. Namun, aku malah sengaja menyalakan ponsel. Dia saja tidak peduli denganku, lalu untuk apa aku menurut? "Halo, assalamu'alaikum." Terlalu bersemangat, aku sampai tidak melihat kontak yang meneleponku. "Wa'alaykumussalam, Alma. Gimana kabar kamu dan Brian?""Sehat, Ma, alhamdulillah.""Semua baik-baik aja kan?""Iya, Ma, baik kok. Lagi keenakan he he he.... ""Oh, syukur deh, kalau semua berjalan enak." Aku terbahak tanpa polis! tidur lagi. Rasanya senang punya mertua sangat ramah, baik, dan ceria seperti mama Kikan. Duka setelah ditalak kemarin mendadak hilang tidak berbekas. "Ada apa, Ma?""Gak papa. Mama cuma gak lihat status kamu dan Brian, makanya Mama cek. Ya sudah kalau begitu,
Kami semua berkumpul di kamar hotel. Mama, Mas Baim, dan juga aku. Kami menunggu mas Brian sampai karena ternyata benar, suamiku itu berada di rumah perempuan bernama Felisa. Mama berkeliling ruangan, melihat-lihat sampai ke kamar mandi. Mama juga membuka tempat sampah dan keranjang yang ada di depan pintu kamar mandi. "Mama cari apa?" tanyaku bingung. Beliau nampak menghela napas. Mama berjalan ke arahku, berdiri persis di depan wajahku. "Baim, kamu tunggu di lobi ya. Mama perlu bicara dengan Alma. Kalau kamu bertemu Brian di bawah, suruh langsung naik ke sini!""Baik, Ma." Kakak ipar tertuaku itu pun segera keluar dari kamarku. Ia memang tidak banyak bicara, terutama sejak ia kehilangan istrinya dua tahun lalu. Aku juga baru bertemu dua kali. Ada juga kakak iparku yang lain, namanya Maura yang baru memiliki satu anak. Mama membuyarkan lamunanku ketika ia menarik tangan ini untuk duduk di pinggir ranjang. Matanya menoleh ke samping, lalu bergerak menjelajah kondisi ranjang pengant
Aku memperhatikan wanita bernama Felisa itu, mulai dari kepala sampai kaki. Rambutnya panjang, kulitnya putih, hidungnya tidak terlalu mancung, kulitnya pun terlihat mulus. Dad4nya besar, bokongnya juga. Mungkin ini yang dinamakan kuda Australia. Beda jauh denganku yang mungkin bisa dikatakan kuda poni. Postur Felisa semua besar. Termasuk matanya yang mirip wanita timur Tengah. Apa ini yang dimaksud mas Brian? Katanya aku kurang besar. "Kamu di sini saja, aku dan Felisa mau ngopi di bawah," kata mas Brian sambil menggandeng tangan Felisa. "Kalian bukannya udah cerai, kenapa minta ijin? Santai aja, Ian!" Sambung wanita bernama Felisa. Aku melirik sengit wanita itu. Malas menjawab keduanya. Biarlah aku tidur saja karena hari ini aku sangat lelah karena tersesat. Lihatlah apa yang akan aku lakukan, Mas! Assalamu'alaikum, Ma, mas Brian membawa wanita bernama Felisa ke kamar hotel tempat kami menginap. SendTidak lupa video singkat mas Brian dan Alma yang bercakap-cakap di dekat meja
PoV Kikan"Sayang, maafkan Brian ya," kata suamiku sambil memeluk pundak ini dari samping. Aku hanya bisa menghela napas tanpa bisa berkata-kata lagi. "Aneh gak sih, Pa? Baim, Maura, Adam yang udah kita ganti nama jadi Brian, Huda, Hana, semua memiliki masalah dalam hidup mereka, tapi Brian ini adalah masalah paling berat menurut Mama. Baim, duda anak satu yang ditinggal meninggal istrinya. Lalu, Maura, uang tabungan pernikahan dibawa kabur calon suaminya. Hana dan Huda, lebih senang main dari pada mencari pekerjaan, dan sekarang Brian, malah ---""Sayang, inilah ujian rumah tangga. Setiap anak punya takdir masing-masing. Kita sebagai orang tua masih dapat PR dari Tuhan untuk terus menemani anak-anak kita. Mama yang sabar ya. Makasih udah setua ini masih setia dengan Papa dan gak main api dengan berondong!""Gak lucu, Pa! Mana ada yang mau sama nenek-nenek begini!" Balasku sewot. Mas Batara masih saja tertawa, bahkan kali ini sambil menciumi pipiku yang sudah keriput. Tidak sepenuhny
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i