"Alma, aku minta maaf ya.""Ulangi! Kamu minta maaf sama istri, apa sama temen? Bedakan Felisa dan Alma. Jangan bilang Mama ikut campur, kalau kamu sendiri yang mulai semuanya. Selagi kamu semena-mena sama istri, maka tidak ada pembagian warisan atas nama kamu! Gak percaya, tanya papa sana!" "Ya ampun, Mama, Brian udah ngaku salah. Masih aja kesel. Alma aja udah gak kesel'kan?""Masih." Bagus, menantuku harus punya kesabaran seluas samudera, serta ketahanan batin seperti baja. Tidak mudah terlena dalam bujuk rayu lelaki tidak berprinsip seperti Brian. Jawaban tegas Alma menandakan gadis ini memang cocok jadi menantuku. "Tuh, kamu dengar sendiri! Alma masih kesal sama kamu. Ulangi cara minta maaf yang benar pada istri, yang bagaimana?" aku melihat Brian cemberut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya cepat. "Alma, istriku, aku minta maaf ya, sudah bikin kamu repot dan tersesat di jalan. Aku janji gak akan merepotkan kamu lagi.""Oke, aku maafkan, Mas. Asalkan kamu mau g
PoV Brian"Kamu bilang sama mama kalau kamu sudah aku talak?" tanyaku pada Alma. Wanita yang sedang tidur memunggungiku itu hanya menjawab dengan gelengan kepala. "Bagus." Ia mengangguk. "Kamu ini kenapa? Ditanya cuma geleng sama ngangguk doang!" Ia lagi-lagi menggelengkan kepala. "Aneh! Kamu dan Felisa itu sangat berbeda. Harusnya kamu belajar pada sahabatku itu, bagaimana agar aku menerima kamu?" Lagi-lagi ia tidak menjawab, hanya menggaruk kepalanya saja. Aku semakin kesal saja dibuatnya. Untuk itu aku langsung pindah ke sofa. Karena aku sudah mengucapkan talak padanya, meskipun talak satu, tetap aku tidak mau satu ranjang dengan Alma. Jika saja semua bisa aku ulang dan membatalkan perjodohan ini, sudah pasti aku menolaknya mentah-mentah. Aku pun akhirnya ikut tidur juga. Ponselku berkelap-kelip. Aku tahu bahwa Felisa meneleponku, tetapi karena aku sangat mengantuk, maka aku abaikan saja. Biarlah besok aku bicara padanya. Keesokan harinya, aku terbangun karena ponselku berget
Mama benar-benar tidak membukakan pintu. Sepanjang malam aku terjaga sampai jam tujuh pagi, tetap saja pintu tidak kunjung dibuka. Bisa saja aku mendobrak pintu kamarku, tetapi nanti lain lagi urusannya. Mama dan papa pasti curiga. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menemani Felisa bercakap-cakap, walau di seberang sana ia menangis sesegukan. Uang WO dibawa kabur calon suaminya. Sungguh mengenaskan. "Halo, Mama, apa kamarnya bisa dibuka, saya lapar, Ma." Aku menoleh saat mendengar suara Alma. Syukurlah akhirnya wanita kampungan ini merasakan lapar juga. "Oh, begitu, oke, Ma, makasih ya.""Gimana?" aku langsung menghampirinya. Alma terkejut sampai-sampai ia menjatuhkan ponselnya. "Apanya?" tanya wanita itu balik. "Lapar, katanya kamu lapar. Mama kapan mau buka pintu kamar?""Kata mama nanti diantar makannya. Kita disuruh capek dulu!""Aku udah capek di kamar aja berdua kamu!" Jawabku sarkas. Namun, Alma malah terbahak. Aku bingung hatinya sudah terbuat dari apa, kenapa tidak ad
Bagaimana bisa aku malah jatuh di atas wanita itu. Wanita yang sama sekali tidak menarik bagiku. Jika ada penilaian dari satu sampai seratus, maka dia hanya enam saja. Wajahnya memang manis, tapi semua rata. "Kamu habis makan bangkai apa, sih? Kenapa mulut kamu bau sekali?" protesku tidak terima. Berkali-kali aku mengusap kasar bibir ini agar sisa bibirnya benar-benar hilang. "Kamu ini, Mas, masakan yang dimasak orang tua, masa dibilang bangkai? Mama, mas Brian bilang masakan Mama ----""Cerewet kamu!" Aku melemparkan bantal sofa ke arahnya. Wanita itu sigap mengelak sambil meledekku. Wanita ini benar-benar Kampungan dan gak berpendidikan, dari cara dia bercakap-cakap saja, jelas sekali dari kasta rendah. "Harusnya aku yang marah, Mas. Udahlah aku ditalak, aku masih kamu cium pula!""Cuih! Aku juga gak mau cium kamu kalau gak karena kesandung. Jangan GR kamu. Mana HP kamu? Sini, minta!" ia memberikan ponselnya. Ponsel lama yang sudah terkelupas anti goresnya di sisi atas dan juga b
Percuma aku diskusi sampai tandukku keluar, Alma tetap dengan syaratnya. Aku tentu tidak mau. Meskipun aku bajingan karena sudah menalak wanita itu di malam pertama, tapi aku mana tega merusaknya. Dia punya masa depan lebih baik selain denganku. Aku berjalan ke arah pintu. Aku sudah tidak tahan lagi. Ini sudah jam empat sore dan aku belum sama sekali dikasih makan. Tok! Tok!"Ma, bukain, Ma, Ian lapar nih!" Aku merengek dengan suara amat menyedihkan. Perutku mulai sakit dan obat kuat ada di dapur. Tidak ada satu pun yang menyahut. Maura, Mas Baim, Bibik, Vito, Bari, semua orang di rumah ini seperti sedang pindah planet. Ponsel mereka pun tidak ada yang bisa dihubungi. "Ma, bukain, Ma! Perut Ian sakit, nih! Maag-nya kambuh, Ma. Mama, bukain, Ma!" Aku memegang perut. Rasa sakit itu semakin kuat hingga aku harus menggertakkan gigi agar dapat menahan rasa perih di ulu hati. Aku duduk di sofa sambil memeluk kedua lututku. Sekilas aku melirik Alma, wanita itu tidur dengan sangat pulas.
"Ke mana, Baim? Mama suruh ambilkan baju ganti Mama, malah belum datang juga." Mama bolak-balik menatap ke arah pintu menunggu mas Baim yang tak kunjung datang. "Makanya Mama harusnya gak usah nginep, jadi biar gak ribet. Mama jadi nyaman di rumah. Papa biar ada temennya, Ma. Papa kalau dibiarin sendiri, nanti diambil janda, loh!" aku menggigit bibir agar tidak terbahak. Mama kini sedang menatapku sinis, seolah-olah ingin segera menerkamku."Ambil aja, orang udah tinggal sisaan." Ha ha ha Aku dan Alma terbahak, sedangkan pelawak di ruangan ini sama sekali tanpa ekspresi. Itulah kenapa aku sangat sayang sama mama, meskipun aku tahu, mama bukanlah wanita yang melahirkanku. Mama adalah malaikat berwujud ibu sambung yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku menyayangi mama lebih dari apapun, bahkan dari Felisa. "Ntar Ian bilangin papa, nih!" "Bilangin aja, paling juga kamu yang kena omel.""Lagian Mama kenapa malah salah masukin baju, sih? Kenapa malah bawa baju papa he he he... celana dalam
Hari ini teman-teman kantor menjengukku di rumah sakit. Rasa bosan ini sedikit terobati, meskipun tetap saja aku belum bisa segera bekerja lagi. Dokter mengatakan, setelah keluar dari rumah sakit, aku harus beristirahat untuk memulihkan kembali kondisi tubuh ini selama minimal dua hari. Untunglah bosku menginjinkan. Hitung-hitung cuti nikah dua minggu katanya. "Felisa gak ke sini?" tanya Edo; teman yang mejanya di sampingku."Udah tadi malam, tapi disuruh pulang lagi sama mama," jawab Alma yang sedang duduk dengan dua teman kantorku yang perempuan; Adel dan Fitri. Tiga lelaki temanku saling pandang, lalu mereka menunduk untuk menahan tawa. Aku sangat hapal apa yang ingin mereka tertawakan. "Kenapa disuruh pulang, Mbak? Udah gak jam besuk? Bukannya VIP mah, bebas?" tanya Adel. "A---""Sahabat gak tahu diri, masa mau pindah rawat ke rumah sakit ini dan dirawat di kamar yang sama. Jadi dua bed gitu," sela Alma sambil menatapku sinis. Sontak kejujuran Alma mengundang tawa yang menggem
"Mau ke mana, Mas?" tanya Alma saat melihatku sudah berganti baju. Mama dan papa pergi ke rumah saudara karena lusa sepupuku akan lamaran. Rumah sepi, hanya aku, Alma, dan mbak Santi saja. Sebuah keberuntungan yang jarang terjadi dan tentu saja hal ini harus aku manfaatkan dengan baik. "Ini sudah sore, kamu baru sembuh," katanya lagi. Ponsel yang sejak tadi ia pegang, kini ia taruh di atas meja. "Alma, makasih atas perhatian kamu, tapi aku punya urusan yang harus segera aku selesaikan. Kalau nanti mama tanya, bilang aku keluar sebentar." "Mau ketemu Felisa ya?" aku menoleh ke arahnya lagi sambil tertawa pelan. "Iya, urgent." Aku segera keluar dari kamar dan Alma pun tidak melarangku pergi. Tidak ada hak juga wanita itu menahanku. Kami berstatus suami istri hanya saat di depan keluargaku saja, selain itu, kami orang asing atau mungkin sebatas kenalan biasa. Aku pun tidak berniat pada wanita kerempeng bin tepos seperti Alma. Hidup harus berjalan, Alma pun harus bahagia bertemu lelak