"Mau ke mana, Mas?" tanya Alma saat melihatku sudah berganti baju. Mama dan papa pergi ke rumah saudara karena lusa sepupuku akan lamaran. Rumah sepi, hanya aku, Alma, dan mbak Santi saja. Sebuah keberuntungan yang jarang terjadi dan tentu saja hal ini harus aku manfaatkan dengan baik. "Ini sudah sore, kamu baru sembuh," katanya lagi. Ponsel yang sejak tadi ia pegang, kini ia taruh di atas meja. "Alma, makasih atas perhatian kamu, tapi aku punya urusan yang harus segera aku selesaikan. Kalau nanti mama tanya, bilang aku keluar sebentar." "Mau ketemu Felisa ya?" aku menoleh ke arahnya lagi sambil tertawa pelan. "Iya, urgent." Aku segera keluar dari kamar dan Alma pun tidak melarangku pergi. Tidak ada hak juga wanita itu menahanku. Kami berstatus suami istri hanya saat di depan keluargaku saja, selain itu, kami orang asing atau mungkin sebatas kenalan biasa. Aku pun tidak berniat pada wanita kerempeng bin tepos seperti Alma. Hidup harus berjalan, Alma pun harus bahagia bertemu lelak
Aku pulang ke rumah dengan perasaan lega. Aku sudah memutuskan hal yang begitu nekat, tapi aku rasa ini ada dari sebuah masa depan yang cerah dan penuh cinta bersama Felisa. "Dari mana, Ian?" aku terkejut saat melihat mas Baim sedang duduk di ruang televisi. "Ada urusan sedikit, Mas," jawabku singkat. "Mas cuma saran, menikah itu bukan perkara main-main. Jadi kamu harus hati-hati ya." Aku mengangguk sambil tersenyum. Entah apa maksud ucapan mas Baim? Apakah kakakku tahu kalau aku sudah menalak Alma. Aku bergegas naik ke lantai dua. Lampu kamar sudah padam dan Alma sudah tidur. Aku segera masuk kamar mandi untuk bersih-bersih. Semua aku lakukan pelan-pelan agar tidak membuat Alma terbangun. Wanita itu pasti bertanya ini itu jika tahu aku sudah pulang. Tak sabar rasanya menunggu hari sabtu. Hari pernikahanku dengan Felisa. Aku sudah membuat keputusan bahwa mama ataupun semua orang di dalam rumahku tidak boleh ada yang tahu dulu jika aku menikah. Esok paginya, aku bangun dengan tubu
Aku tidak perlu menjelaskan tanda ini pada Alma karena hubungan kami sudah selesai. Aku hanya perlu menggunakan penutup luka untuk menyamarkan tanda ini. Untunglah mama dan papa tidak memperhatikannya tadi. Aku saja tidak tahu, tetapi Alma tahu. Apakah ia punya indera keenam? Alma keluar kamar mandi hanya memakai handuk saja. Ia cuek padaku, seolah-olah ia di kamar ini sendiri saja. Apa maksudnya ingin menggodaku? Sayang sekali, aku tidak berselera dengannya. Aku langsung memalingkan wajah dan bergegas keluar kamar. Hari ini aku ke kantor naik motor karena aku sudah terlambat karena tanda merah ini. Plester luka aku cari-cari di kamar tidak ada, sehingga aku harus minta tolong bibik tadi pergi ke warung."Lo, kenapa, Ian? Leher lu kenapa?" tanya Kemal sambil tersenyum nakal. Aku tahu pikiran mereka ke mana, tentu saja kepada Alma. Yah, namanya juga mereka tidak tahu kalau aku sudah bercerai dari Alma. Jadi wajar saja dan hal itu sedikit menguntungkanku. "Biasalah, bini gue terlalu
Pagi ini terbangun dengan tubuh yang lebih segar, aliran darah lebih lancar, karena apa yang aku lakukan semalam. Membuka mata melihat langit-langit kamar, kemudian menoleh melihat Alma yang masih terlelap. Sialnya tadi malam ku habiskan malam bukan bersama Felisa, tetapi dengan Alma. Jujur saja semalam itu menyenangkan, meskipun mendapat sedikit perlawanan. Tapi semua bisa aku selesaikan dengan baik. Masih teringat jelas bagaimana rasanya, bahkan sampai saat ini ketika aku sedang membersihkan diri. Selesai mandi, segera keluar melihat Alma yang sudah terbangun. Dia tak bicara, aku juga memilih untuk tak mengatakan apapun. Buat apa juga, malas juga minta maaf. Segera ku tinggalkan kamar dan berjalan menuju ruang makan. "Hari ini kamu kerja Ian?" Mama bertanya, aku bisa melihatnya sedikit bermain mata dengan papa. Entah apa maksudnya."Iya hari ini kerja, Mama kan tahu ini bukan hari libur," jawabku kemudian duduk di kursi makan untuk sarapan.Mama mengangguk, lalu duduk di kursi
Untunglah mama tidak bertanya panjang lebar lagi karena ponselnya berdering. Aku berangkat kerja seperti biasa sampai jam lima sore. Setelah jam kantor selsai, barulah aku pergi ke Bandung. Pernikahan impian bersama wanita yang tipe-ku banget. Pernikahan kami di bandung dilakukan dengan sederhana, tapi khidmat. Acara dilakukan di rumah Oma Felisa. Aku senang semua berjalan dengan lancar, para tamu berdatangan silih berganti sampai sore tadi. Dan semua adalah dari kalangan keluarga dekat, karena letak rumah yang cukup jauh, jadi mereka tiba sore hari. "Akhirnya ya, Papa senang melihat kamu berdua udah sah," kata Om Seno yang kini sudah menjadi papa mertuaku. Kami tengah makan malam bersama setelah acaranya selesai. Berkumpul dengan para keluarga Felisha. Meskipun sebagian bertanya mengapa keluargaku tak datang? Tentu saja aku hanya bisa beralasan. Tentu tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. "Aku juga senang banget Pa, bisa jadi suami dari perempuan secantik dan sebaik Felisa
Pov AlmaFlashbackMenjadi guru tari di sini sangat menyenangkan. Murid-muridku juga sangat baik, mampu bekerja sama. Setiap hari mengajar membuat lupa semua masalah yang sedang ku alami.Masih tinggal di rumah, meskipun sudah ditalak oleh Brian kadang buat merasa tak nyaman. Bersyukurnya kedua mertuaku adalah orang yang baik, mereka juga sangat mendukung pekerjaanku. Setiap pagi Mama juga tak lupa selalu memberikanku sarapan, agar aku lebih bertenaga katanya. Kedua orang tua yang baik, sayangnya mereka memiliki seorang anak yang konyol seperti Brian. Bagaimana bisa ia mengukur kadar cinta seseorang berdasarkan dadanya? Memang sih, banyak yang bilang kalau pria itu adalah makhluk visual. Tapi apa harus sampai seperti itu? Tapi ya, sudahlah, akan kujalani semua dengan baik. Aku akan lebih fokus dengan pekerjaan dan hari-hari yang aku lalui di sini."Ayo kita ulangi lagi latihannya, untuk Dana dan juga Ayu kayaknya gerakan kalian kurang pas deh. Coba lebih diperhatikan lagi temponya y
PoV AlmaAku terbangun pagi ini dan mendapati Brian yang tak berada di sampingku. Sepertinya dia sedang membersihkan diri, karena aku mendengar suara air dari kamar mandi. Tadi malam benar-benar menyebalkan, bagaimana bisa dia mengira aku adalah Felisa?Bukan hanya harga diriku yang hancur. Gilanya dia dengan tega memanggil wanita lain saat mencumbu. Jelas sekali aku sakit hati, bagaimana bisa Brian setega ini? Apakah dia benar-benar manusia yang berakal? Bagaimana bisa dia melakukan hal itu kepadaku?Setelah ia selesai mandi, kami bahkan tak berbicara. Sialnya dia bahkan tak mengucapkan maaf sekalipun padaku. Seolah tidak ada rasa bersalah dalam dirinya. Jujur saja setelah kejadian semalam bagian intimku terasa sakit sekali menyebabkan aku sulit berjalan."Aduh sakit banget," keluhku sambil berjalan ke kamar mandi. Aku berjalan tertatih, rasanya cukup menyakitkan dan buat aku berjalan seperti kepiting. Itu mungkin karena Brian terburu-buru saat aku belum siap. Apalagi dia lakukan b
Pov Brian"Maafin aku ya, Aku tahu ini malam pernikahan kita. Tapi gimana, mama aku 'kan sakit?" "Ya masa kamu tega sama aku kayak gitu sih? Lagian, kalau kamu pulang sekarang, itu bahaya ini udah malam banget."Aku masih meminta untuk bisa kembali ke Jakarta malam ini. Tadi aku mendapatkan telepon, mendapat kabar kalau Mama tiba-tiba saja tak sadarkan diri dan sekarang dibawa ke rumah sakit. Tentu saja aku cemas dan ini benar-benar urusan penting jug mendesak. Aku harus bisa ke Jakarta malam ini. Namun, sejak tadi Felisa terus saja menghalangi. Ku genggam tangannya dan ku kecup perlahan. "Tolong dong Sayang, ini kan Mama aku .., masa kamu tega, bikin aku nggak bisa datang di saat Mama aku sakit kayak gini? Mama jarang banget kena serangan jantung gini, pasti ada masalah," ujarku lagi masih dengan memohon. Aku merayu sambil menatap wajahnya. Mata Felisa berkaca-kaca, seolah tak rela melepasku, tapi mau bagaimana lagi. Aku juga masih mau di sini, hanya saja situasi yang tidak memun