Aku pulang ke rumah dengan perasaan lega. Aku sudah memutuskan hal yang begitu nekat, tapi aku rasa ini ada dari sebuah masa depan yang cerah dan penuh cinta bersama Felisa. "Dari mana, Ian?" aku terkejut saat melihat mas Baim sedang duduk di ruang televisi. "Ada urusan sedikit, Mas," jawabku singkat. "Mas cuma saran, menikah itu bukan perkara main-main. Jadi kamu harus hati-hati ya." Aku mengangguk sambil tersenyum. Entah apa maksud ucapan mas Baim? Apakah kakakku tahu kalau aku sudah menalak Alma. Aku bergegas naik ke lantai dua. Lampu kamar sudah padam dan Alma sudah tidur. Aku segera masuk kamar mandi untuk bersih-bersih. Semua aku lakukan pelan-pelan agar tidak membuat Alma terbangun. Wanita itu pasti bertanya ini itu jika tahu aku sudah pulang. Tak sabar rasanya menunggu hari sabtu. Hari pernikahanku dengan Felisa. Aku sudah membuat keputusan bahwa mama ataupun semua orang di dalam rumahku tidak boleh ada yang tahu dulu jika aku menikah. Esok paginya, aku bangun dengan tubu
Aku tidak perlu menjelaskan tanda ini pada Alma karena hubungan kami sudah selesai. Aku hanya perlu menggunakan penutup luka untuk menyamarkan tanda ini. Untunglah mama dan papa tidak memperhatikannya tadi. Aku saja tidak tahu, tetapi Alma tahu. Apakah ia punya indera keenam? Alma keluar kamar mandi hanya memakai handuk saja. Ia cuek padaku, seolah-olah ia di kamar ini sendiri saja. Apa maksudnya ingin menggodaku? Sayang sekali, aku tidak berselera dengannya. Aku langsung memalingkan wajah dan bergegas keluar kamar. Hari ini aku ke kantor naik motor karena aku sudah terlambat karena tanda merah ini. Plester luka aku cari-cari di kamar tidak ada, sehingga aku harus minta tolong bibik tadi pergi ke warung."Lo, kenapa, Ian? Leher lu kenapa?" tanya Kemal sambil tersenyum nakal. Aku tahu pikiran mereka ke mana, tentu saja kepada Alma. Yah, namanya juga mereka tidak tahu kalau aku sudah bercerai dari Alma. Jadi wajar saja dan hal itu sedikit menguntungkanku. "Biasalah, bini gue terlalu
Pagi ini terbangun dengan tubuh yang lebih segar, aliran darah lebih lancar, karena apa yang aku lakukan semalam. Membuka mata melihat langit-langit kamar, kemudian menoleh melihat Alma yang masih terlelap. Sialnya tadi malam ku habiskan malam bukan bersama Felisa, tetapi dengan Alma. Jujur saja semalam itu menyenangkan, meskipun mendapat sedikit perlawanan. Tapi semua bisa aku selesaikan dengan baik. Masih teringat jelas bagaimana rasanya, bahkan sampai saat ini ketika aku sedang membersihkan diri. Selesai mandi, segera keluar melihat Alma yang sudah terbangun. Dia tak bicara, aku juga memilih untuk tak mengatakan apapun. Buat apa juga, malas juga minta maaf. Segera ku tinggalkan kamar dan berjalan menuju ruang makan. "Hari ini kamu kerja Ian?" Mama bertanya, aku bisa melihatnya sedikit bermain mata dengan papa. Entah apa maksudnya."Iya hari ini kerja, Mama kan tahu ini bukan hari libur," jawabku kemudian duduk di kursi makan untuk sarapan.Mama mengangguk, lalu duduk di kursi
Untunglah mama tidak bertanya panjang lebar lagi karena ponselnya berdering. Aku berangkat kerja seperti biasa sampai jam lima sore. Setelah jam kantor selsai, barulah aku pergi ke Bandung. Pernikahan impian bersama wanita yang tipe-ku banget. Pernikahan kami di bandung dilakukan dengan sederhana, tapi khidmat. Acara dilakukan di rumah Oma Felisa. Aku senang semua berjalan dengan lancar, para tamu berdatangan silih berganti sampai sore tadi. Dan semua adalah dari kalangan keluarga dekat, karena letak rumah yang cukup jauh, jadi mereka tiba sore hari. "Akhirnya ya, Papa senang melihat kamu berdua udah sah," kata Om Seno yang kini sudah menjadi papa mertuaku. Kami tengah makan malam bersama setelah acaranya selesai. Berkumpul dengan para keluarga Felisha. Meskipun sebagian bertanya mengapa keluargaku tak datang? Tentu saja aku hanya bisa beralasan. Tentu tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. "Aku juga senang banget Pa, bisa jadi suami dari perempuan secantik dan sebaik Felisa
Pov AlmaFlashbackMenjadi guru tari di sini sangat menyenangkan. Murid-muridku juga sangat baik, mampu bekerja sama. Setiap hari mengajar membuat lupa semua masalah yang sedang ku alami.Masih tinggal di rumah, meskipun sudah ditalak oleh Brian kadang buat merasa tak nyaman. Bersyukurnya kedua mertuaku adalah orang yang baik, mereka juga sangat mendukung pekerjaanku. Setiap pagi Mama juga tak lupa selalu memberikanku sarapan, agar aku lebih bertenaga katanya. Kedua orang tua yang baik, sayangnya mereka memiliki seorang anak yang konyol seperti Brian. Bagaimana bisa ia mengukur kadar cinta seseorang berdasarkan dadanya? Memang sih, banyak yang bilang kalau pria itu adalah makhluk visual. Tapi apa harus sampai seperti itu? Tapi ya, sudahlah, akan kujalani semua dengan baik. Aku akan lebih fokus dengan pekerjaan dan hari-hari yang aku lalui di sini."Ayo kita ulangi lagi latihannya, untuk Dana dan juga Ayu kayaknya gerakan kalian kurang pas deh. Coba lebih diperhatikan lagi temponya y
PoV AlmaAku terbangun pagi ini dan mendapati Brian yang tak berada di sampingku. Sepertinya dia sedang membersihkan diri, karena aku mendengar suara air dari kamar mandi. Tadi malam benar-benar menyebalkan, bagaimana bisa dia mengira aku adalah Felisa?Bukan hanya harga diriku yang hancur. Gilanya dia dengan tega memanggil wanita lain saat mencumbu. Jelas sekali aku sakit hati, bagaimana bisa Brian setega ini? Apakah dia benar-benar manusia yang berakal? Bagaimana bisa dia melakukan hal itu kepadaku?Setelah ia selesai mandi, kami bahkan tak berbicara. Sialnya dia bahkan tak mengucapkan maaf sekalipun padaku. Seolah tidak ada rasa bersalah dalam dirinya. Jujur saja setelah kejadian semalam bagian intimku terasa sakit sekali menyebabkan aku sulit berjalan."Aduh sakit banget," keluhku sambil berjalan ke kamar mandi. Aku berjalan tertatih, rasanya cukup menyakitkan dan buat aku berjalan seperti kepiting. Itu mungkin karena Brian terburu-buru saat aku belum siap. Apalagi dia lakukan b
Pov Brian"Maafin aku ya, Aku tahu ini malam pernikahan kita. Tapi gimana, mama aku 'kan sakit?" "Ya masa kamu tega sama aku kayak gitu sih? Lagian, kalau kamu pulang sekarang, itu bahaya ini udah malam banget."Aku masih meminta untuk bisa kembali ke Jakarta malam ini. Tadi aku mendapatkan telepon, mendapat kabar kalau Mama tiba-tiba saja tak sadarkan diri dan sekarang dibawa ke rumah sakit. Tentu saja aku cemas dan ini benar-benar urusan penting jug mendesak. Aku harus bisa ke Jakarta malam ini. Namun, sejak tadi Felisa terus saja menghalangi. Ku genggam tangannya dan ku kecup perlahan. "Tolong dong Sayang, ini kan Mama aku .., masa kamu tega, bikin aku nggak bisa datang di saat Mama aku sakit kayak gini? Mama jarang banget kena serangan jantung gini, pasti ada masalah," ujarku lagi masih dengan memohon. Aku merayu sambil menatap wajahnya. Mata Felisa berkaca-kaca, seolah tak rela melepasku, tapi mau bagaimana lagi. Aku juga masih mau di sini, hanya saja situasi yang tidak memun
Felisa memutuskan ke Jakarta, kembali ke apartemen sendirian. Bosan juga berada di rumah sang nenek sendirian tanpa suami. Apalagi beberapa keluarganya terus aja bertanya di mana keberadaan Brian. Hal itu membuat Felisa memutuskan untuk kembali ke Jakarta saja. Lagi pula jika berada di sini akan lebih dekat, Brian juga punya kesempatan lebih banyak untuk datang mengunjunginya.Melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, Felisha kemudian mengambil ponsel miliknya dan menghubungi sang suami. Tak lama sampai panggilan diterima. "Iya halo?" Brian menyapa sedikit tegas. "Kamu masih di rumah sakit ya?""Iya saya masih di rumah sakit Pak. Tunggu sebentar saya keluar, suara bapak enggak kedengaran."Felisa tau saat ini sang suami sedang beralasan untuk keluar ruangan. Terdengar dari balik telepon, Brian beberapa kali mengucapkan permisi. "Halo, Kenapa kamu tiba-tiba hubungin aku?" "Aku ada di Jakarta." Felisha menjawab pertanyaan sang suami dengan muka kesal. "Di Jakarta? Kok kamu ke si
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i