"Apa maksud kamu, Sayang? Dari mana kamu tahu kalau aku gak peraw4n? Apa kamu udah pernah nyoba yang peraw4n? Siapa? Alma?" pertanyaan serangan balik dari Felisa membuat Brian bungkam. "Jadi kamu udah melakukannya dengan Alma? Kamu bohong sama aku? Kamu bilang kamu gak akan sentuh dia! Aku benci kamu, Brian!" Felisa mendorong tubuh suaminya, tetapi Brian berhasil untuk tetap duduk di depan Felisa. "Aku hanya bertanya karena kata orang, malam pertama itu sakit bagi semua wanita, tapi tadi kamu kayaknya nggak. Apa gak semua ya?" Brian merasa tengsin sendiri. Ia tidak mau Felisa sampai tahu kalau ia sudah rujuk dengan Alma dan malah sudah berhasil mendapatkan keperaw4nan istri pertamanya itu. "Aku wanita, Ian, aku yang paling tahu. Aku gak merintih sakit karena aku kasihan kamu. Maafin aku udah bikin kamu kaget. Kamu bersih-bersih duluan, setelah itu baru kita tidur." Brian turun dari ranjang. "Aku balik ke rumah sakit. Malam ini aku harus jagain mama karena Alma lagi sakit." Brian
"Rupanya ada yang amnesia. Kamu talak aku karena apa? Karena kurang besar'kan? Apa sekarang yang kurang besar itu yang original dan lebih gurih? Jangan kebanyakan menghayal, aku mau pulang!" Alma membuang muka. Brian baru saja akan menyanggah ucapan sang Istri saat nama Alma dipanggil perawat farmasi. Brian menerima obat Alma sambil mengucapkan terima kasih."Langsung pulang apa mau mampir ke mana dulu?" "Pulang saja, kepalaku masih berat.""Lagian itu udah beberapa hari lalu, masa masih bikin kamu down? Apa perlu dipraktikkan ucapan dokter tadi?" Alma ternyata sudah berjalan lebih dahulu tanpa memedulikan ocehan suaminya. Kring! KringPonselnya berdering. Dering yang khas untuk kontak yang ia beri nama Ibra. Namun, Brian mengabaikan panggilan itu. Ia tidak mau nanti malah terjadi percekcokan jika Felisa tahu, bahwa ia sedang mengantar Alma ke dokter. "Kenapa gak diangkat? Apa dari Pelisa?""Feli, bukan peli. Kamu ini lidahnya susah banget, sih?""Terserah, mulut ini mulut aku, jad
PoV Brian"Kamu mau ke mana lagi? Piring belum kamu cuci, Mas!" Aku mencium kening Felisa dengan tergesa. "Nanti saja. Aku dipanggil mama. Kamu ke kantor sendirian ya sayang. Aku duluan." Aku pun langsung keluar dari apartemen istriku. Tujuanku kali ini adalah rumah sakit karena mama masih dirawat di sana. Sesaat sebelum menutup apartemen, samar-samar aku mendengar suara Felisa memanggilku, tetapi aku harus bergegas karena yang utama saat ini adalah bertemu mama. "Apa, ibu Kikan sudah keluar rumah sakit?" tanyaku tidak percaya pada suster yang berjaga di ruangan. "Iya, Mas, keluar semalam karena memaksa. Kata Bu Kikan, beliau gak bisa tidur kalau di rumah sakit. Dokter mengizinkan asal bu Kikan jangan terlalu stres.""Baik, Sus, terimakasih atas informasinya." Aku pun bergegas melanjutkan perjalanan dan tidak bisa langsung pulang karena aku ada pelatihan dari kantor. Setibanya aku di kantor, aku mencoba menelepon Alma, tetapi tidak diangkat akhirnya aku menelepon nomor bibik. "Hal
"Hebat sekali kamu, Mas. Dalam waktu kurang dari dua minggu, kamu menikahi dua wanita. Seorang pemuka agama saja harus berpikir ribuan kali saat ia memutuskan poligami. Oh, iya, mungkin itu pemuka agama, kalau kamu, malu-maluin agama! Ceraikan aku, Mas. Kali ini talak dengan benar dan gugat ke pengadilan agama." "Alma, tunggu! J-jadi mama dan yang lainnya sudah tahu? B-bapak kamu juga?" tanyaku panik. Alma tidak aku biarkan turun dari ranjang sebelum ia menceritakan semuanya. "Iya, tapi yang lainnya belum. Kamu harus tahu kenapa mama kena serangan jantung. Itu karena kamu menikahi Pelisa itu. Ck, ck, cintanya sama siapa, dipake tetap dua-dua. Aku benar-benar gak ada harganya, Mas. Aku mau pulang ke Bandung besok.""Alma, tunggu!""Aku mau pulang dan kamu gak bisa melarang!" Alma berhasil melepas cekalan tanganku. Wanita itu masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih, sedangkan aku tertutup karena tidak tahu harus bagaimana. Pantas saja tatapan mama padaku begitu tak bersahabat. Aku pa
Pov BrianMengetahui istriku itu pulang ke Bandung membuat aku kesal. Akhirnya aku putuskan untuk ke kamar dan merapikan pakaian. Aku niatkan untuk menyusul Alma ke sana, membujuknya untuk pulang. Semua demi kesehatan mamaku. Aku benar-benar gak enak setelah mengetahui mama mengetahui aku sudah menikahi Felisa. Aku berangkat cukup pagi untuk menghindari jalanan yang ramai. Dalam kondisi seperti ini, sampai di Bandung pun juga sepertinya tak akan memakan waktu yang lama. Aku tak ingin Alma pergi. Ada sedikit rasa seperti itu, jauh di dalam sudut hatiku. Namun, aku juga harus mementingkan Felisa. Sampai di Bandung, aku berjalan dengan berhati-hati. Karena letak rumah nenek Felisa tak terlalu jauh dari rumah ayah mertuaku. Mereka berdua berdekatan sebagai tetangga. Aku berjalan sedikit cemas, karena takut tiba-tiba saja ada orang dari keluarga Felisa yang aku kenal muncul dihadapan. "Loh nak Brian?!" Seru seseorang buat aku menoleh. Aku terkejut setengah mati, padahal tadi saat dari
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?