Pov Brian"Maafin aku ya, Aku tahu ini malam pernikahan kita. Tapi gimana, mama aku 'kan sakit?" "Ya masa kamu tega sama aku kayak gitu sih? Lagian, kalau kamu pulang sekarang, itu bahaya ini udah malam banget."Aku masih meminta untuk bisa kembali ke Jakarta malam ini. Tadi aku mendapatkan telepon, mendapat kabar kalau Mama tiba-tiba saja tak sadarkan diri dan sekarang dibawa ke rumah sakit. Tentu saja aku cemas dan ini benar-benar urusan penting jug mendesak. Aku harus bisa ke Jakarta malam ini. Namun, sejak tadi Felisa terus saja menghalangi. Ku genggam tangannya dan ku kecup perlahan. "Tolong dong Sayang, ini kan Mama aku .., masa kamu tega, bikin aku nggak bisa datang di saat Mama aku sakit kayak gini? Mama jarang banget kena serangan jantung gini, pasti ada masalah," ujarku lagi masih dengan memohon. Aku merayu sambil menatap wajahnya. Mata Felisa berkaca-kaca, seolah tak rela melepasku, tapi mau bagaimana lagi. Aku juga masih mau di sini, hanya saja situasi yang tidak memun
Felisa memutuskan ke Jakarta, kembali ke apartemen sendirian. Bosan juga berada di rumah sang nenek sendirian tanpa suami. Apalagi beberapa keluarganya terus aja bertanya di mana keberadaan Brian. Hal itu membuat Felisa memutuskan untuk kembali ke Jakarta saja. Lagi pula jika berada di sini akan lebih dekat, Brian juga punya kesempatan lebih banyak untuk datang mengunjunginya.Melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, Felisha kemudian mengambil ponsel miliknya dan menghubungi sang suami. Tak lama sampai panggilan diterima. "Iya halo?" Brian menyapa sedikit tegas. "Kamu masih di rumah sakit ya?""Iya saya masih di rumah sakit Pak. Tunggu sebentar saya keluar, suara bapak enggak kedengaran."Felisa tau saat ini sang suami sedang beralasan untuk keluar ruangan. Terdengar dari balik telepon, Brian beberapa kali mengucapkan permisi. "Halo, Kenapa kamu tiba-tiba hubungin aku?" "Aku ada di Jakarta." Felisha menjawab pertanyaan sang suami dengan muka kesal. "Di Jakarta? Kok kamu ke si
"Apa maksud kamu, Sayang? Dari mana kamu tahu kalau aku gak peraw4n? Apa kamu udah pernah nyoba yang peraw4n? Siapa? Alma?" pertanyaan serangan balik dari Felisa membuat Brian bungkam. "Jadi kamu udah melakukannya dengan Alma? Kamu bohong sama aku? Kamu bilang kamu gak akan sentuh dia! Aku benci kamu, Brian!" Felisa mendorong tubuh suaminya, tetapi Brian berhasil untuk tetap duduk di depan Felisa. "Aku hanya bertanya karena kata orang, malam pertama itu sakit bagi semua wanita, tapi tadi kamu kayaknya nggak. Apa gak semua ya?" Brian merasa tengsin sendiri. Ia tidak mau Felisa sampai tahu kalau ia sudah rujuk dengan Alma dan malah sudah berhasil mendapatkan keperaw4nan istri pertamanya itu. "Aku wanita, Ian, aku yang paling tahu. Aku gak merintih sakit karena aku kasihan kamu. Maafin aku udah bikin kamu kaget. Kamu bersih-bersih duluan, setelah itu baru kita tidur." Brian turun dari ranjang. "Aku balik ke rumah sakit. Malam ini aku harus jagain mama karena Alma lagi sakit." Brian
"Rupanya ada yang amnesia. Kamu talak aku karena apa? Karena kurang besar'kan? Apa sekarang yang kurang besar itu yang original dan lebih gurih? Jangan kebanyakan menghayal, aku mau pulang!" Alma membuang muka. Brian baru saja akan menyanggah ucapan sang Istri saat nama Alma dipanggil perawat farmasi. Brian menerima obat Alma sambil mengucapkan terima kasih."Langsung pulang apa mau mampir ke mana dulu?" "Pulang saja, kepalaku masih berat.""Lagian itu udah beberapa hari lalu, masa masih bikin kamu down? Apa perlu dipraktikkan ucapan dokter tadi?" Alma ternyata sudah berjalan lebih dahulu tanpa memedulikan ocehan suaminya. Kring! KringPonselnya berdering. Dering yang khas untuk kontak yang ia beri nama Ibra. Namun, Brian mengabaikan panggilan itu. Ia tidak mau nanti malah terjadi percekcokan jika Felisa tahu, bahwa ia sedang mengantar Alma ke dokter. "Kenapa gak diangkat? Apa dari Pelisa?""Feli, bukan peli. Kamu ini lidahnya susah banget, sih?""Terserah, mulut ini mulut aku, jad
PoV Brian"Kamu mau ke mana lagi? Piring belum kamu cuci, Mas!" Aku mencium kening Felisa dengan tergesa. "Nanti saja. Aku dipanggil mama. Kamu ke kantor sendirian ya sayang. Aku duluan." Aku pun langsung keluar dari apartemen istriku. Tujuanku kali ini adalah rumah sakit karena mama masih dirawat di sana. Sesaat sebelum menutup apartemen, samar-samar aku mendengar suara Felisa memanggilku, tetapi aku harus bergegas karena yang utama saat ini adalah bertemu mama. "Apa, ibu Kikan sudah keluar rumah sakit?" tanyaku tidak percaya pada suster yang berjaga di ruangan. "Iya, Mas, keluar semalam karena memaksa. Kata Bu Kikan, beliau gak bisa tidur kalau di rumah sakit. Dokter mengizinkan asal bu Kikan jangan terlalu stres.""Baik, Sus, terimakasih atas informasinya." Aku pun bergegas melanjutkan perjalanan dan tidak bisa langsung pulang karena aku ada pelatihan dari kantor. Setibanya aku di kantor, aku mencoba menelepon Alma, tetapi tidak diangkat akhirnya aku menelepon nomor bibik. "Hal
"Hebat sekali kamu, Mas. Dalam waktu kurang dari dua minggu, kamu menikahi dua wanita. Seorang pemuka agama saja harus berpikir ribuan kali saat ia memutuskan poligami. Oh, iya, mungkin itu pemuka agama, kalau kamu, malu-maluin agama! Ceraikan aku, Mas. Kali ini talak dengan benar dan gugat ke pengadilan agama." "Alma, tunggu! J-jadi mama dan yang lainnya sudah tahu? B-bapak kamu juga?" tanyaku panik. Alma tidak aku biarkan turun dari ranjang sebelum ia menceritakan semuanya. "Iya, tapi yang lainnya belum. Kamu harus tahu kenapa mama kena serangan jantung. Itu karena kamu menikahi Pelisa itu. Ck, ck, cintanya sama siapa, dipake tetap dua-dua. Aku benar-benar gak ada harganya, Mas. Aku mau pulang ke Bandung besok.""Alma, tunggu!""Aku mau pulang dan kamu gak bisa melarang!" Alma berhasil melepas cekalan tanganku. Wanita itu masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih, sedangkan aku tertutup karena tidak tahu harus bagaimana. Pantas saja tatapan mama padaku begitu tak bersahabat. Aku pa
Pov BrianMengetahui istriku itu pulang ke Bandung membuat aku kesal. Akhirnya aku putuskan untuk ke kamar dan merapikan pakaian. Aku niatkan untuk menyusul Alma ke sana, membujuknya untuk pulang. Semua demi kesehatan mamaku. Aku benar-benar gak enak setelah mengetahui mama mengetahui aku sudah menikahi Felisa. Aku berangkat cukup pagi untuk menghindari jalanan yang ramai. Dalam kondisi seperti ini, sampai di Bandung pun juga sepertinya tak akan memakan waktu yang lama. Aku tak ingin Alma pergi. Ada sedikit rasa seperti itu, jauh di dalam sudut hatiku. Namun, aku juga harus mementingkan Felisa. Sampai di Bandung, aku berjalan dengan berhati-hati. Karena letak rumah nenek Felisa tak terlalu jauh dari rumah ayah mertuaku. Mereka berdua berdekatan sebagai tetangga. Aku berjalan sedikit cemas, karena takut tiba-tiba saja ada orang dari keluarga Felisa yang aku kenal muncul dihadapan. "Loh nak Brian?!" Seru seseorang buat aku menoleh. Aku terkejut setengah mati, padahal tadi saat dari
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i