Mama benar-benar tidak membukakan pintu. Sepanjang malam aku terjaga sampai jam tujuh pagi, tetap saja pintu tidak kunjung dibuka. Bisa saja aku mendobrak pintu kamarku, tetapi nanti lain lagi urusannya. Mama dan papa pasti curiga. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menemani Felisa bercakap-cakap, walau di seberang sana ia menangis sesegukan. Uang WO dibawa kabur calon suaminya. Sungguh mengenaskan. "Halo, Mama, apa kamarnya bisa dibuka, saya lapar, Ma." Aku menoleh saat mendengar suara Alma. Syukurlah akhirnya wanita kampungan ini merasakan lapar juga. "Oh, begitu, oke, Ma, makasih ya.""Gimana?" aku langsung menghampirinya. Alma terkejut sampai-sampai ia menjatuhkan ponselnya. "Apanya?" tanya wanita itu balik. "Lapar, katanya kamu lapar. Mama kapan mau buka pintu kamar?""Kata mama nanti diantar makannya. Kita disuruh capek dulu!""Aku udah capek di kamar aja berdua kamu!" Jawabku sarkas. Namun, Alma malah terbahak. Aku bingung hatinya sudah terbuat dari apa, kenapa tidak ad
Bagaimana bisa aku malah jatuh di atas wanita itu. Wanita yang sama sekali tidak menarik bagiku. Jika ada penilaian dari satu sampai seratus, maka dia hanya enam saja. Wajahnya memang manis, tapi semua rata. "Kamu habis makan bangkai apa, sih? Kenapa mulut kamu bau sekali?" protesku tidak terima. Berkali-kali aku mengusap kasar bibir ini agar sisa bibirnya benar-benar hilang. "Kamu ini, Mas, masakan yang dimasak orang tua, masa dibilang bangkai? Mama, mas Brian bilang masakan Mama ----""Cerewet kamu!" Aku melemparkan bantal sofa ke arahnya. Wanita itu sigap mengelak sambil meledekku. Wanita ini benar-benar Kampungan dan gak berpendidikan, dari cara dia bercakap-cakap saja, jelas sekali dari kasta rendah. "Harusnya aku yang marah, Mas. Udahlah aku ditalak, aku masih kamu cium pula!""Cuih! Aku juga gak mau cium kamu kalau gak karena kesandung. Jangan GR kamu. Mana HP kamu? Sini, minta!" ia memberikan ponselnya. Ponsel lama yang sudah terkelupas anti goresnya di sisi atas dan juga b
Percuma aku diskusi sampai tandukku keluar, Alma tetap dengan syaratnya. Aku tentu tidak mau. Meskipun aku bajingan karena sudah menalak wanita itu di malam pertama, tapi aku mana tega merusaknya. Dia punya masa depan lebih baik selain denganku. Aku berjalan ke arah pintu. Aku sudah tidak tahan lagi. Ini sudah jam empat sore dan aku belum sama sekali dikasih makan. Tok! Tok!"Ma, bukain, Ma, Ian lapar nih!" Aku merengek dengan suara amat menyedihkan. Perutku mulai sakit dan obat kuat ada di dapur. Tidak ada satu pun yang menyahut. Maura, Mas Baim, Bibik, Vito, Bari, semua orang di rumah ini seperti sedang pindah planet. Ponsel mereka pun tidak ada yang bisa dihubungi. "Ma, bukain, Ma! Perut Ian sakit, nih! Maag-nya kambuh, Ma. Mama, bukain, Ma!" Aku memegang perut. Rasa sakit itu semakin kuat hingga aku harus menggertakkan gigi agar dapat menahan rasa perih di ulu hati. Aku duduk di sofa sambil memeluk kedua lututku. Sekilas aku melirik Alma, wanita itu tidur dengan sangat pulas.
"Ke mana, Baim? Mama suruh ambilkan baju ganti Mama, malah belum datang juga." Mama bolak-balik menatap ke arah pintu menunggu mas Baim yang tak kunjung datang. "Makanya Mama harusnya gak usah nginep, jadi biar gak ribet. Mama jadi nyaman di rumah. Papa biar ada temennya, Ma. Papa kalau dibiarin sendiri, nanti diambil janda, loh!" aku menggigit bibir agar tidak terbahak. Mama kini sedang menatapku sinis, seolah-olah ingin segera menerkamku."Ambil aja, orang udah tinggal sisaan." Ha ha ha Aku dan Alma terbahak, sedangkan pelawak di ruangan ini sama sekali tanpa ekspresi. Itulah kenapa aku sangat sayang sama mama, meskipun aku tahu, mama bukanlah wanita yang melahirkanku. Mama adalah malaikat berwujud ibu sambung yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku menyayangi mama lebih dari apapun, bahkan dari Felisa. "Ntar Ian bilangin papa, nih!" "Bilangin aja, paling juga kamu yang kena omel.""Lagian Mama kenapa malah salah masukin baju, sih? Kenapa malah bawa baju papa he he he... celana dalam
Hari ini teman-teman kantor menjengukku di rumah sakit. Rasa bosan ini sedikit terobati, meskipun tetap saja aku belum bisa segera bekerja lagi. Dokter mengatakan, setelah keluar dari rumah sakit, aku harus beristirahat untuk memulihkan kembali kondisi tubuh ini selama minimal dua hari. Untunglah bosku menginjinkan. Hitung-hitung cuti nikah dua minggu katanya. "Felisa gak ke sini?" tanya Edo; teman yang mejanya di sampingku."Udah tadi malam, tapi disuruh pulang lagi sama mama," jawab Alma yang sedang duduk dengan dua teman kantorku yang perempuan; Adel dan Fitri. Tiga lelaki temanku saling pandang, lalu mereka menunduk untuk menahan tawa. Aku sangat hapal apa yang ingin mereka tertawakan. "Kenapa disuruh pulang, Mbak? Udah gak jam besuk? Bukannya VIP mah, bebas?" tanya Adel. "A---""Sahabat gak tahu diri, masa mau pindah rawat ke rumah sakit ini dan dirawat di kamar yang sama. Jadi dua bed gitu," sela Alma sambil menatapku sinis. Sontak kejujuran Alma mengundang tawa yang menggem
"Mau ke mana, Mas?" tanya Alma saat melihatku sudah berganti baju. Mama dan papa pergi ke rumah saudara karena lusa sepupuku akan lamaran. Rumah sepi, hanya aku, Alma, dan mbak Santi saja. Sebuah keberuntungan yang jarang terjadi dan tentu saja hal ini harus aku manfaatkan dengan baik. "Ini sudah sore, kamu baru sembuh," katanya lagi. Ponsel yang sejak tadi ia pegang, kini ia taruh di atas meja. "Alma, makasih atas perhatian kamu, tapi aku punya urusan yang harus segera aku selesaikan. Kalau nanti mama tanya, bilang aku keluar sebentar." "Mau ketemu Felisa ya?" aku menoleh ke arahnya lagi sambil tertawa pelan. "Iya, urgent." Aku segera keluar dari kamar dan Alma pun tidak melarangku pergi. Tidak ada hak juga wanita itu menahanku. Kami berstatus suami istri hanya saat di depan keluargaku saja, selain itu, kami orang asing atau mungkin sebatas kenalan biasa. Aku pun tidak berniat pada wanita kerempeng bin tepos seperti Alma. Hidup harus berjalan, Alma pun harus bahagia bertemu lelak
Aku pulang ke rumah dengan perasaan lega. Aku sudah memutuskan hal yang begitu nekat, tapi aku rasa ini ada dari sebuah masa depan yang cerah dan penuh cinta bersama Felisa. "Dari mana, Ian?" aku terkejut saat melihat mas Baim sedang duduk di ruang televisi. "Ada urusan sedikit, Mas," jawabku singkat. "Mas cuma saran, menikah itu bukan perkara main-main. Jadi kamu harus hati-hati ya." Aku mengangguk sambil tersenyum. Entah apa maksud ucapan mas Baim? Apakah kakakku tahu kalau aku sudah menalak Alma. Aku bergegas naik ke lantai dua. Lampu kamar sudah padam dan Alma sudah tidur. Aku segera masuk kamar mandi untuk bersih-bersih. Semua aku lakukan pelan-pelan agar tidak membuat Alma terbangun. Wanita itu pasti bertanya ini itu jika tahu aku sudah pulang. Tak sabar rasanya menunggu hari sabtu. Hari pernikahanku dengan Felisa. Aku sudah membuat keputusan bahwa mama ataupun semua orang di dalam rumahku tidak boleh ada yang tahu dulu jika aku menikah. Esok paginya, aku bangun dengan tubu
Aku tidak perlu menjelaskan tanda ini pada Alma karena hubungan kami sudah selesai. Aku hanya perlu menggunakan penutup luka untuk menyamarkan tanda ini. Untunglah mama dan papa tidak memperhatikannya tadi. Aku saja tidak tahu, tetapi Alma tahu. Apakah ia punya indera keenam? Alma keluar kamar mandi hanya memakai handuk saja. Ia cuek padaku, seolah-olah ia di kamar ini sendiri saja. Apa maksudnya ingin menggodaku? Sayang sekali, aku tidak berselera dengannya. Aku langsung memalingkan wajah dan bergegas keluar kamar. Hari ini aku ke kantor naik motor karena aku sudah terlambat karena tanda merah ini. Plester luka aku cari-cari di kamar tidak ada, sehingga aku harus minta tolong bibik tadi pergi ke warung."Lo, kenapa, Ian? Leher lu kenapa?" tanya Kemal sambil tersenyum nakal. Aku tahu pikiran mereka ke mana, tentu saja kepada Alma. Yah, namanya juga mereka tidak tahu kalau aku sudah bercerai dari Alma. Jadi wajar saja dan hal itu sedikit menguntungkanku. "Biasalah, bini gue terlalu