Kami semua berkumpul di kamar hotel. Mama, Mas Baim, dan juga aku. Kami menunggu mas Brian sampai karena ternyata benar, suamiku itu berada di rumah perempuan bernama Felisa. Mama berkeliling ruangan, melihat-lihat sampai ke kamar mandi. Mama juga membuka tempat sampah dan keranjang yang ada di depan pintu kamar mandi. "Mama cari apa?" tanyaku bingung. Beliau nampak menghela napas. Mama berjalan ke arahku, berdiri persis di depan wajahku. "Baim, kamu tunggu di lobi ya. Mama perlu bicara dengan Alma. Kalau kamu bertemu Brian di bawah, suruh langsung naik ke sini!""Baik, Ma." Kakak ipar tertuaku itu pun segera keluar dari kamarku. Ia memang tidak banyak bicara, terutama sejak ia kehilangan istrinya dua tahun lalu. Aku juga baru bertemu dua kali. Ada juga kakak iparku yang lain, namanya Maura yang baru memiliki satu anak. Mama membuyarkan lamunanku ketika ia menarik tangan ini untuk duduk di pinggir ranjang. Matanya menoleh ke samping, lalu bergerak menjelajah kondisi ranjang pengant
Aku memperhatikan wanita bernama Felisa itu, mulai dari kepala sampai kaki. Rambutnya panjang, kulitnya putih, hidungnya tidak terlalu mancung, kulitnya pun terlihat mulus. Dad4nya besar, bokongnya juga. Mungkin ini yang dinamakan kuda Australia. Beda jauh denganku yang mungkin bisa dikatakan kuda poni. Postur Felisa semua besar. Termasuk matanya yang mirip wanita timur Tengah. Apa ini yang dimaksud mas Brian? Katanya aku kurang besar. "Kamu di sini saja, aku dan Felisa mau ngopi di bawah," kata mas Brian sambil menggandeng tangan Felisa. "Kalian bukannya udah cerai, kenapa minta ijin? Santai aja, Ian!" Sambung wanita bernama Felisa. Aku melirik sengit wanita itu. Malas menjawab keduanya. Biarlah aku tidur saja karena hari ini aku sangat lelah karena tersesat. Lihatlah apa yang akan aku lakukan, Mas! Assalamu'alaikum, Ma, mas Brian membawa wanita bernama Felisa ke kamar hotel tempat kami menginap. SendTidak lupa video singkat mas Brian dan Alma yang bercakap-cakap di dekat meja
PoV Kikan"Sayang, maafkan Brian ya," kata suamiku sambil memeluk pundak ini dari samping. Aku hanya bisa menghela napas tanpa bisa berkata-kata lagi. "Aneh gak sih, Pa? Baim, Maura, Adam yang udah kita ganti nama jadi Brian, Huda, Hana, semua memiliki masalah dalam hidup mereka, tapi Brian ini adalah masalah paling berat menurut Mama. Baim, duda anak satu yang ditinggal meninggal istrinya. Lalu, Maura, uang tabungan pernikahan dibawa kabur calon suaminya. Hana dan Huda, lebih senang main dari pada mencari pekerjaan, dan sekarang Brian, malah ---""Sayang, inilah ujian rumah tangga. Setiap anak punya takdir masing-masing. Kita sebagai orang tua masih dapat PR dari Tuhan untuk terus menemani anak-anak kita. Mama yang sabar ya. Makasih udah setua ini masih setia dengan Papa dan gak main api dengan berondong!""Gak lucu, Pa! Mana ada yang mau sama nenek-nenek begini!" Balasku sewot. Mas Batara masih saja tertawa, bahkan kali ini sambil menciumi pipiku yang sudah keriput. Tidak sepenuhny
"Alma, aku minta maaf ya.""Ulangi! Kamu minta maaf sama istri, apa sama temen? Bedakan Felisa dan Alma. Jangan bilang Mama ikut campur, kalau kamu sendiri yang mulai semuanya. Selagi kamu semena-mena sama istri, maka tidak ada pembagian warisan atas nama kamu! Gak percaya, tanya papa sana!" "Ya ampun, Mama, Brian udah ngaku salah. Masih aja kesel. Alma aja udah gak kesel'kan?""Masih." Bagus, menantuku harus punya kesabaran seluas samudera, serta ketahanan batin seperti baja. Tidak mudah terlena dalam bujuk rayu lelaki tidak berprinsip seperti Brian. Jawaban tegas Alma menandakan gadis ini memang cocok jadi menantuku. "Tuh, kamu dengar sendiri! Alma masih kesal sama kamu. Ulangi cara minta maaf yang benar pada istri, yang bagaimana?" aku melihat Brian cemberut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya cepat. "Alma, istriku, aku minta maaf ya, sudah bikin kamu repot dan tersesat di jalan. Aku janji gak akan merepotkan kamu lagi.""Oke, aku maafkan, Mas. Asalkan kamu mau g
PoV Brian"Kamu bilang sama mama kalau kamu sudah aku talak?" tanyaku pada Alma. Wanita yang sedang tidur memunggungiku itu hanya menjawab dengan gelengan kepala. "Bagus." Ia mengangguk. "Kamu ini kenapa? Ditanya cuma geleng sama ngangguk doang!" Ia lagi-lagi menggelengkan kepala. "Aneh! Kamu dan Felisa itu sangat berbeda. Harusnya kamu belajar pada sahabatku itu, bagaimana agar aku menerima kamu?" Lagi-lagi ia tidak menjawab, hanya menggaruk kepalanya saja. Aku semakin kesal saja dibuatnya. Untuk itu aku langsung pindah ke sofa. Karena aku sudah mengucapkan talak padanya, meskipun talak satu, tetap aku tidak mau satu ranjang dengan Alma. Jika saja semua bisa aku ulang dan membatalkan perjodohan ini, sudah pasti aku menolaknya mentah-mentah. Aku pun akhirnya ikut tidur juga. Ponselku berkelap-kelip. Aku tahu bahwa Felisa meneleponku, tetapi karena aku sangat mengantuk, maka aku abaikan saja. Biarlah besok aku bicara padanya. Keesokan harinya, aku terbangun karena ponselku berget
Mama benar-benar tidak membukakan pintu. Sepanjang malam aku terjaga sampai jam tujuh pagi, tetap saja pintu tidak kunjung dibuka. Bisa saja aku mendobrak pintu kamarku, tetapi nanti lain lagi urusannya. Mama dan papa pasti curiga. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menemani Felisa bercakap-cakap, walau di seberang sana ia menangis sesegukan. Uang WO dibawa kabur calon suaminya. Sungguh mengenaskan. "Halo, Mama, apa kamarnya bisa dibuka, saya lapar, Ma." Aku menoleh saat mendengar suara Alma. Syukurlah akhirnya wanita kampungan ini merasakan lapar juga. "Oh, begitu, oke, Ma, makasih ya.""Gimana?" aku langsung menghampirinya. Alma terkejut sampai-sampai ia menjatuhkan ponselnya. "Apanya?" tanya wanita itu balik. "Lapar, katanya kamu lapar. Mama kapan mau buka pintu kamar?""Kata mama nanti diantar makannya. Kita disuruh capek dulu!""Aku udah capek di kamar aja berdua kamu!" Jawabku sarkas. Namun, Alma malah terbahak. Aku bingung hatinya sudah terbuat dari apa, kenapa tidak ad
Bagaimana bisa aku malah jatuh di atas wanita itu. Wanita yang sama sekali tidak menarik bagiku. Jika ada penilaian dari satu sampai seratus, maka dia hanya enam saja. Wajahnya memang manis, tapi semua rata. "Kamu habis makan bangkai apa, sih? Kenapa mulut kamu bau sekali?" protesku tidak terima. Berkali-kali aku mengusap kasar bibir ini agar sisa bibirnya benar-benar hilang. "Kamu ini, Mas, masakan yang dimasak orang tua, masa dibilang bangkai? Mama, mas Brian bilang masakan Mama ----""Cerewet kamu!" Aku melemparkan bantal sofa ke arahnya. Wanita itu sigap mengelak sambil meledekku. Wanita ini benar-benar Kampungan dan gak berpendidikan, dari cara dia bercakap-cakap saja, jelas sekali dari kasta rendah. "Harusnya aku yang marah, Mas. Udahlah aku ditalak, aku masih kamu cium pula!""Cuih! Aku juga gak mau cium kamu kalau gak karena kesandung. Jangan GR kamu. Mana HP kamu? Sini, minta!" ia memberikan ponselnya. Ponsel lama yang sudah terkelupas anti goresnya di sisi atas dan juga b
Percuma aku diskusi sampai tandukku keluar, Alma tetap dengan syaratnya. Aku tentu tidak mau. Meskipun aku bajingan karena sudah menalak wanita itu di malam pertama, tapi aku mana tega merusaknya. Dia punya masa depan lebih baik selain denganku. Aku berjalan ke arah pintu. Aku sudah tidak tahan lagi. Ini sudah jam empat sore dan aku belum sama sekali dikasih makan. Tok! Tok!"Ma, bukain, Ma, Ian lapar nih!" Aku merengek dengan suara amat menyedihkan. Perutku mulai sakit dan obat kuat ada di dapur. Tidak ada satu pun yang menyahut. Maura, Mas Baim, Bibik, Vito, Bari, semua orang di rumah ini seperti sedang pindah planet. Ponsel mereka pun tidak ada yang bisa dihubungi. "Ma, bukain, Ma! Perut Ian sakit, nih! Maag-nya kambuh, Ma. Mama, bukain, Ma!" Aku memegang perut. Rasa sakit itu semakin kuat hingga aku harus menggertakkan gigi agar dapat menahan rasa perih di ulu hati. Aku duduk di sofa sambil memeluk kedua lututku. Sekilas aku melirik Alma, wanita itu tidur dengan sangat pulas.