"Halo, kenapa, Wi?""Ya, ampun, Mama ke mana aja? Ada satu minggu lost contact sama Dewi. Mama sakit?""HP Mama sakit. Sama dompet. Jadi HP dibawa ke tukang service dan bermalam juga hari di sana. Mama emang sengaja gak mau telepon kamu karena pasti kamu ujung-ujungnya minta duit!""Ish, Mama, sebentar lagi juga bakalan jadi mertua banyak duit lagi. Mama hanya kudu sabar sedikit lagi. Gimana, Ma? Wanita bernama Kikan itu pasti stres berat karena mengurus anakku. Dia sedang punya bayi dan harus mengurus bayiku pula." Dewi tertawa puas dari seberang telepon. "Dia pasti minta cerai dari mas Batara kan? Duh, Dewi seharusnya tetap di Jakarta biar bisa lihat wanita itu teriak-teriak karena stres.""Kata siapa stres. Bintang diurus oleh baby sitter. Di rumah Batara ada tiga orang. Yang satu pembantu, yang dua orang baby sitter. Siapa yang stres? Kikan? Gak bakalan. Justru dari yang Mama lihat, Batara baru saja membeli rumah atas nama Kikan. Rumah besar yang banyak kamarnya.""Hah! Gak mungk
Kemunculan Arini Zahra atau yang ia biasa panggil Zahra, membuat Batara tidak fokus dan juga tidka nyaman. Pria itu sengaja menghindar dari suster yang merawat bayinya. Ia tidak mau bicara jujur pada Kikan karena ia mengira Zahra atau Suster Arini itu hanya sebentar saja di rumahnya, menggantikan suster Dian. "Sayang, kalau ada apa-apa, segera hubungi saya ya. Kamu bisa kan?""Bisa, Mas, di rumah sudah banyak banget orang. Pindahannya biar setelah empat puluh hari aja." Batara tersenyum lebar. "Kamu mah istri paling pengertian. Tahu aja timing nya saat nifas selesai ya." Kikan malah tertawa. "Bukan itu maksudnya, biar rumah di sana rapi dulu. Lagian ini kayaknya nifas lebih dari empat puluh hari, tapi setahun.""Oh, tidak, Sayang. Otakku bisa meleleh nanti." Batara mencium cepat bibir istrinya sebelum ia keluar dari kamar. "Hati-hati ya." Batara mengangguk. "Jangan lupa telepon suster Dian. Tanyakan kapan bisa balik ke sini. Harusnya secepetnya karena aku tetap lebih nyaman denga
"Tidak, kamu jangan membual! Saya gak kenal kamu dan gak ingat siapa Zahra. Sudah sana, masuk!""Bu, tunggu!" Suster Arini menahan pelan lengan bu Diah. "Lepaskan tangan kamu dari saya!" Reflek Arini melepasnya. "Bu, saya Zahra Arini, mantan kak Batara. Ibu gak setuju karena saya bukan perawat'kan? Sekarang saya sudah jadi perawat, makanya saya kembali ke sini. Saya gak tahu kalau kak Batara sudah menikah, bahkan dengan tiga wanita. Tapi saya gak papa, saya akan menerima kak Batara karena sampai seka-""Sudah cukup! Jika kamu malam ini masih ingin tidur di sini, silakan tutup mulut! Jangan katakan apapun tentang masa lalu kamu dengan putra saya! Besok kamu baru kembali dengan tugas kamu!""Bu, kasih saya satu kesempatan, Bu. Saya benar-benar mencintai Kak Batara dan saya gak masalah mau jadi istri kedua. Saya ikhlas berbagi dengan bu Kikan." Bu Diah tertawa pelan. "Kamu belum tahu menantu saya yang ini berbeda dari yang lainnya. Jika kamu mau hidup kamu selamat, maka sebaiknya sege
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan pada mbak Dewi, Mas?" tanya Kikan setelah mereka berdua berbaring di ranjang, bersiap tidur. "Bintang apa akan kamu berikan lagi pda mbak Dewi?" Batara menoleh pada Kikan. "Ya, bagaimanapun Bintang masih sangat kecil dan butuh ibunya.""Memangnya saya bukan ibu dari Bintang? Mas lupa kalau Bintang sudah minum asi saya?""Kikan, tapi kamu sendiri sudah repot sama anak-anak-" Kikan menahan bibir suaminya dengan jari telunjuknya. "Bintang akan tumbuh jadi anak lelaki yang distimulus seperti ibunya. Apa Mas mau? Bintang akan tumbuh jadi orang yang posesif dan menghalalkan segala cara, termasuk membuat kerusakan. Biar saja, Bintang kita urus sama-sama. Untuk mbak Dewi, biarkan dia hidup dengan semua kebohongannya. Kita tidak perlu ikut campur dan fokus pda keluarga besar kita, he he he... saya doanya minta sama Allah, dikasih banyak anak. Maksudnya yang lahir dari rahim saya, malah lahirnya dari rahim mana saja." Batara menarik Kikan dalam pelukannya. M
"Ngakunya istri bos, ternyata halu. Malah bisa-bisanya mau dinikahi sama kakek-kakek!" Lilis terus menggerutu kesal sambil mengelap debu yang menempel di jejeran toples dagangannya. Ekor matanya melirik sengit wanita yang hanya memanfaatkan bapaknya saja. Alias numpang tinggal. Dewi sedang duduk di teras sambil makan jeruk, sedangkan bapaknya sedang menyapu halaman. Lilis kesal bukan main, tetapi bapaknya sedang bucin pada wanita yang salah, sehingga ia pun belum bisa berbuat apa-apa selain bersabar. "Mas, aku mau beli bedak. Bedakku habis," rengek Dewi pada suaminya. "Bukannya di dompet besar itu bedak kamu semua," jawab pak Ramdan. "Itu aku gak cocok makenya. Aku baru lihat di tiktok bedak yang lagi hits dipake artis-artis nasional dan mancanegara.""Harganya berapa?""Murah kok, Pak. Satu juta dua ratus." Lilis mendelik hingga ia merasa jantungnya sempat berhenti berdetak untuk beberapa detik mendengar harga bedak satu juta dua ratus. "Selagi mandi masih pake gayung. Tidur di
"Aku mau ketemu Gama!" "Gak bisa! Kalau kamu ambil Gama, terus kamu nikah, Gama kamu buang ke panti! Jadi, lebih baik aku yang urus!" Balas Lilis dengan tatapan bermusuhan. "Aku gak minta dinafkahi karena ternyata aku bisa. Selagi ada anak, maka akan ada rejeki anak!" Kata Lilis lagi bersikeras. Dua orang mengintip dari balik jendela ruang tamu. Yang satu fokus menguping, yang satunya lagi menguping sambil menggendong cucu. "Tapi kamu itu jatuhnya menculik.""Kata siapa? Aku ini istri kamu kan? Gama anak sambung aku. Dari mana aku menculik? Lagian Gama aku urus. Kamu bukannya gak suka Gama, kenapa malah repot nyari anakku?!" "Gak sopan kamu sekarang ya? Sama majikan panggilnya kamu, kamu terus!""Kamu juga gak ada bagus-bagusnya jadi suami!""Lilis! Aku gak mau ribut di sini! Bawa Gama, kita perlu bicara. Mama aku sakit. Ada di hotel dekat sini. Aku bilang, aku akan jemput kamu." Lilis terdiam. Jika sudah menyangkut bu Resti pasti ia tidak tega. Majikan perempuannya yang sudah jad
"Permisi, numpang tanya, Pak. Pemilik rumah blok M12 yang namanya pak Batara sudah pindah ya? Apa Bapak tahu pindahnya ke mana?" tanya Arini apda satpam komplek yang sore ini kembali berkunjung ke rumah Batara; ingin menemui lelaki itu untuk kesekian kalinya, tetapi belum juga berhasil. "Oh, pak Batara emang sudah pindah, Bu, tapi kami gak diberi tahu pindahnya ke mana," jawab lelaki yang memakai seragam satmpan warna hitam. "Oh, gitu ya. Trus rumahnya dijual?""Iya, betul, Bu. Katanya, sih, mau dijual, tapi gak tahu juga. Ibu makelar jual beli rumah ya?" wajah Arini berubah kesal. "Terima kasih informasinya, Pak." Wanita itu pun segera menyalakan kembali mesin motornya. Sekali lagi ia mengendarai motor melewati rumah Batara yang sudah kosong. Ada banner dijual, tetapi tidak ada kontaknya, sehingga ia tidak tahu harus menghubungi pria itu bagaimana. Arini pun memilih pulang ke kosan. Besok ia masuk pagi, sehingga ada banyak waktu untuknya beristirahat sejak sore, tetapi pikiran ak
"Pengantinku cantik sekali.""Terima kasih, Mas."Wanita mana yang tidak akan terbang ke angkasa saat dipuji oleh lelaki yang baru saja SAH menjadi suami. Mas Brian terang-terangan menatapku di setiap kesempatan di sela-sela tamu yang datang bersalaman untuk memberikan doa, selamat, dan juga restu. "Kamu lelah ya?" bisik mas Brian saat akhirnya semua tamu undangan pulang. Tersisa keluarga inti saja yang masih menemani kami. "Sedikit, Mas," jawabku malu-malu. Lelaki tiga puluh dua tahun itu kembali tersenyum begitu manis. Peci berwarna putihnya sudah ia turunkan dari kepala dan ia taruh di kursi kosong di sampingnya, sedangkan aku memilih duduk di seberang suamiku untuk menikmati makan malam yang sudah tidak terasa enak di lidah. Bukan karena tidak enak rasanya, tetapi hatiku yang mendadak cemas menjelang kami akan masuk ke kamar hotel. "Brian, kalian kalau udah lelah, langsung masuk kamar aja ya. Kunci udah diberikan Andre'kan?""Udah, Ma. Setelah ini memang mau masuk kamar." Mama