"Permisi, saya mau tanya, Pak, pemilik rumah ini ke mana ya?" tanya Galih pada salah satu tetangga pak Ramdan alias Boby. "Oh, Pak Ramdan. Eh, Pak Bobby." Galih mengerutkan keningnya. Ia tidak asing dengan nama tersebut dan sekarang ia benar-benar mengingatnya. "Iya, yang punya rumah ini. Yang tiga bulan lalu anaknya nikah di sini.""Oh, itu, udah gak tahu ke mana. Pergi subuh-subuh.""Anaknya?""Gak tahu deh, perginya sendiri bawa tas. Kunci rumah kontrakan diserahkan pada RT, tapi RT juga bilang gua tahu ke mana. Kenapa orang-orang pada nyari pak Bobby sih? Padahal pak Bobby itu orang baik. Sering kumpul sama warga sini. Menantunya juga waktu itu ke sini sampai lima kali, tapi gak ketemu.""Kerjanya apa ya, Pak? Terus nama anaknya Esti apa Lilis?""Lilis." Galih menghela napas. Apakah mungkin hanya mirip saja? "Baiklah, Pak. Terima kasih banyak ya." Galih kembali naik ke atas motornya dan meneruskan perjalanan pulang ke rumah. Tiga bulan sudah berlalu sejak Lilis membawa pergi pu
"Halo, kenapa, Wi?""Ya, ampun, Mama ke mana aja? Ada satu minggu lost contact sama Dewi. Mama sakit?""HP Mama sakit. Sama dompet. Jadi HP dibawa ke tukang service dan bermalam juga hari di sana. Mama emang sengaja gak mau telepon kamu karena pasti kamu ujung-ujungnya minta duit!""Ish, Mama, sebentar lagi juga bakalan jadi mertua banyak duit lagi. Mama hanya kudu sabar sedikit lagi. Gimana, Ma? Wanita bernama Kikan itu pasti stres berat karena mengurus anakku. Dia sedang punya bayi dan harus mengurus bayiku pula." Dewi tertawa puas dari seberang telepon. "Dia pasti minta cerai dari mas Batara kan? Duh, Dewi seharusnya tetap di Jakarta biar bisa lihat wanita itu teriak-teriak karena stres.""Kata siapa stres. Bintang diurus oleh baby sitter. Di rumah Batara ada tiga orang. Yang satu pembantu, yang dua orang baby sitter. Siapa yang stres? Kikan? Gak bakalan. Justru dari yang Mama lihat, Batara baru saja membeli rumah atas nama Kikan. Rumah besar yang banyak kamarnya.""Hah! Gak mungk
Kemunculan Arini Zahra atau yang ia biasa panggil Zahra, membuat Batara tidak fokus dan juga tidka nyaman. Pria itu sengaja menghindar dari suster yang merawat bayinya. Ia tidak mau bicara jujur pada Kikan karena ia mengira Zahra atau Suster Arini itu hanya sebentar saja di rumahnya, menggantikan suster Dian. "Sayang, kalau ada apa-apa, segera hubungi saya ya. Kamu bisa kan?""Bisa, Mas, di rumah sudah banyak banget orang. Pindahannya biar setelah empat puluh hari aja." Batara tersenyum lebar. "Kamu mah istri paling pengertian. Tahu aja timing nya saat nifas selesai ya." Kikan malah tertawa. "Bukan itu maksudnya, biar rumah di sana rapi dulu. Lagian ini kayaknya nifas lebih dari empat puluh hari, tapi setahun.""Oh, tidak, Sayang. Otakku bisa meleleh nanti." Batara mencium cepat bibir istrinya sebelum ia keluar dari kamar. "Hati-hati ya." Batara mengangguk. "Jangan lupa telepon suster Dian. Tanyakan kapan bisa balik ke sini. Harusnya secepetnya karena aku tetap lebih nyaman denga
"Tidak, kamu jangan membual! Saya gak kenal kamu dan gak ingat siapa Zahra. Sudah sana, masuk!""Bu, tunggu!" Suster Arini menahan pelan lengan bu Diah. "Lepaskan tangan kamu dari saya!" Reflek Arini melepasnya. "Bu, saya Zahra Arini, mantan kak Batara. Ibu gak setuju karena saya bukan perawat'kan? Sekarang saya sudah jadi perawat, makanya saya kembali ke sini. Saya gak tahu kalau kak Batara sudah menikah, bahkan dengan tiga wanita. Tapi saya gak papa, saya akan menerima kak Batara karena sampai seka-""Sudah cukup! Jika kamu malam ini masih ingin tidur di sini, silakan tutup mulut! Jangan katakan apapun tentang masa lalu kamu dengan putra saya! Besok kamu baru kembali dengan tugas kamu!""Bu, kasih saya satu kesempatan, Bu. Saya benar-benar mencintai Kak Batara dan saya gak masalah mau jadi istri kedua. Saya ikhlas berbagi dengan bu Kikan." Bu Diah tertawa pelan. "Kamu belum tahu menantu saya yang ini berbeda dari yang lainnya. Jika kamu mau hidup kamu selamat, maka sebaiknya sege
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan pada mbak Dewi, Mas?" tanya Kikan setelah mereka berdua berbaring di ranjang, bersiap tidur. "Bintang apa akan kamu berikan lagi pda mbak Dewi?" Batara menoleh pada Kikan. "Ya, bagaimanapun Bintang masih sangat kecil dan butuh ibunya.""Memangnya saya bukan ibu dari Bintang? Mas lupa kalau Bintang sudah minum asi saya?""Kikan, tapi kamu sendiri sudah repot sama anak-anak-" Kikan menahan bibir suaminya dengan jari telunjuknya. "Bintang akan tumbuh jadi anak lelaki yang distimulus seperti ibunya. Apa Mas mau? Bintang akan tumbuh jadi orang yang posesif dan menghalalkan segala cara, termasuk membuat kerusakan. Biar saja, Bintang kita urus sama-sama. Untuk mbak Dewi, biarkan dia hidup dengan semua kebohongannya. Kita tidak perlu ikut campur dan fokus pda keluarga besar kita, he he he... saya doanya minta sama Allah, dikasih banyak anak. Maksudnya yang lahir dari rahim saya, malah lahirnya dari rahim mana saja." Batara menarik Kikan dalam pelukannya. M
"Ngakunya istri bos, ternyata halu. Malah bisa-bisanya mau dinikahi sama kakek-kakek!" Lilis terus menggerutu kesal sambil mengelap debu yang menempel di jejeran toples dagangannya. Ekor matanya melirik sengit wanita yang hanya memanfaatkan bapaknya saja. Alias numpang tinggal. Dewi sedang duduk di teras sambil makan jeruk, sedangkan bapaknya sedang menyapu halaman. Lilis kesal bukan main, tetapi bapaknya sedang bucin pada wanita yang salah, sehingga ia pun belum bisa berbuat apa-apa selain bersabar. "Mas, aku mau beli bedak. Bedakku habis," rengek Dewi pada suaminya. "Bukannya di dompet besar itu bedak kamu semua," jawab pak Ramdan. "Itu aku gak cocok makenya. Aku baru lihat di tiktok bedak yang lagi hits dipake artis-artis nasional dan mancanegara.""Harganya berapa?""Murah kok, Pak. Satu juta dua ratus." Lilis mendelik hingga ia merasa jantungnya sempat berhenti berdetak untuk beberapa detik mendengar harga bedak satu juta dua ratus. "Selagi mandi masih pake gayung. Tidur di
"Aku mau ketemu Gama!" "Gak bisa! Kalau kamu ambil Gama, terus kamu nikah, Gama kamu buang ke panti! Jadi, lebih baik aku yang urus!" Balas Lilis dengan tatapan bermusuhan. "Aku gak minta dinafkahi karena ternyata aku bisa. Selagi ada anak, maka akan ada rejeki anak!" Kata Lilis lagi bersikeras. Dua orang mengintip dari balik jendela ruang tamu. Yang satu fokus menguping, yang satunya lagi menguping sambil menggendong cucu. "Tapi kamu itu jatuhnya menculik.""Kata siapa? Aku ini istri kamu kan? Gama anak sambung aku. Dari mana aku menculik? Lagian Gama aku urus. Kamu bukannya gak suka Gama, kenapa malah repot nyari anakku?!" "Gak sopan kamu sekarang ya? Sama majikan panggilnya kamu, kamu terus!""Kamu juga gak ada bagus-bagusnya jadi suami!""Lilis! Aku gak mau ribut di sini! Bawa Gama, kita perlu bicara. Mama aku sakit. Ada di hotel dekat sini. Aku bilang, aku akan jemput kamu." Lilis terdiam. Jika sudah menyangkut bu Resti pasti ia tidak tega. Majikan perempuannya yang sudah jad
"Permisi, numpang tanya, Pak. Pemilik rumah blok M12 yang namanya pak Batara sudah pindah ya? Apa Bapak tahu pindahnya ke mana?" tanya Arini apda satpam komplek yang sore ini kembali berkunjung ke rumah Batara; ingin menemui lelaki itu untuk kesekian kalinya, tetapi belum juga berhasil. "Oh, pak Batara emang sudah pindah, Bu, tapi kami gak diberi tahu pindahnya ke mana," jawab lelaki yang memakai seragam satmpan warna hitam. "Oh, gitu ya. Trus rumahnya dijual?""Iya, betul, Bu. Katanya, sih, mau dijual, tapi gak tahu juga. Ibu makelar jual beli rumah ya?" wajah Arini berubah kesal. "Terima kasih informasinya, Pak." Wanita itu pun segera menyalakan kembali mesin motornya. Sekali lagi ia mengendarai motor melewati rumah Batara yang sudah kosong. Ada banner dijual, tetapi tidak ada kontaknya, sehingga ia tidak tahu harus menghubungi pria itu bagaimana. Arini pun memilih pulang ke kosan. Besok ia masuk pagi, sehingga ada banyak waktu untuknya beristirahat sejak sore, tetapi pikiran ak
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i