PoV Galih"Kikan katanya lagi hamil, Ma," kataku yang tidak semangat menyendokkan nasi ke dalam mulut. Gimana mau semangat? Kerjaan kantor banyak. Denger mantan di sana lagi hamil, dapat suami duda kaya pula. Aku di sini, baru aja diceraikan istri. "Kamu tahu dari mana? Ngintip instagram Kikan ya?""Tahu lah, pokoknya.""Kikan ada suaminya. Ya, kalau dia hamil malah bagus. Kamu kenapa masih gosting Kikan, sih? Masih ngarep dia balik sama kamu? Ya gak bakalan. Kamu udah nyakitin hati Kikan banget." Aku menghela napas. Kadang aku berpikir, jika saja waktu bisa aku ulang, tak akan aku mau minum obat stamina itu. Mungkin rumah tanggaku dengan Kikan masih langgeng sampai saat ini. "Cuma lihat di instagramnya kemarin. Masih berteman di instagram, tapi gak pernah tegur sapa." Mana berani aku chat Kikan, yang ada pasti langsung di block. "Kayaknya udah bahagia," kataku lagi. Mama tertawa pelan. Lebih tepatnya menertawakan diriku yang masih dapat azab dari Ilahi Robbi. "Kikan bahagia, Esti
PoV3"Apa, F-felix mau melamar kamu?""Iya, Pak. Aduh, gimana nih, Pak. Esti takut. Bisa-bisa Ketahuan dong nanti.""Kalau Bapak operasi plastik juga kayak kamu, keburu gak?""Ha ha ha... keburu dipanggil Malaikat Maut iya. Ish, Bapak, Esti lagi urgen nih. Beneran, Pak. Bapak malah bercanda. Kenapa Bapak yang mau ikutan operasi?""Iya, terus Bapak harus gimana? Kamu gak dikenali mereka karena udah operasi kan? Bapak juga kalau gitu, biar mereka gak kenal juga sama Bapak. Kalau mereka kenal Bapak, bisa-bisa mereka tahu kalau kamu itu Esti, bukan Lilis.Bapak minta hidung Bapak mancung sama keriput Bapak ini dihilangkan. Bibir Bapak yang hitam ini dimerahin bisa gak?""Pak, kagak keburu. Udah dua hari lagi. Besok sabtu. Segala bibir pengen dimerahin.""Kamu kenapa mau sama Felix? Dia udah bikin kamu cerai dari Galih loh!""Ya, karena ada Gama, Pak. Ya udah, nasib Esti harus ketemu dia lagi. Bapak gak usah operasi plastik. Bapak pakai wig aja. Rambut palsu. Nanti Esti order online dikiri
"Happy?" Batara tersenyum pada wanita yang kini sedang mengandung buah cinta mereka. Pria itu mengungkung Kikan dari belakang dengan kedua tangan berpegangan pada pagar penyangga balkon. Kikan berbalik, bergantian kini dirinya yang mengalungkan tangan di leher suaminya. "Kenapa baru kali ini ajak saya ke sini?" wajahnya dibuat cemberut. "Pertama karena kamu sibuk dan yang kedua, villa ini baru lunas." Batara tersenyum lebar di saat kening Kikan mengerut dalam. Pria itu mengambil map bening dari atas meja kecil yang ada di balkon. "Hadiah untuk wanita yang sudah berjuang begitu hebat tetap di sampingku, meskipun ujian tidak kunjung berhenti datang. Terima kasih Sayang. Ini villa aku beli sebagai hadiah untuk ibu dari anak-anakku." Kikan tidak kuasa menahan tangisnya. Dengan kedua tangan yang menutup mulut karena tidak percaya, air matanya merembes di pipi. "Mas, apa lagi ini?""Hadiah untuk kamu. Ini sudah atas nama kamu. Ada teman yang jual butuh dan boleh aku bayar enam kali ha h
Batara memarkirkan mobilnya persis di samping mobil Felix. Kikan dengan perut besarnya ikut turun karena ia benar-benar penasaran mau apa dua lelaki masuk gang sambil membawa parcel buah dan juga kotak kue. Ditambah ada mama dari Felix. "Setahu aku, Mas, Felix dan Galih itu ribut besar. Felix pernah dipukulin Galih. Terus kenapa mereka bisa sama-sama lagi?" komentar Kikan saat keduanya berjalan masuk ke dalam gang. "Mungkin sudah berdamai dengan takdir. Lagian kamu kenapa jadi kepo sih?" Kikan tertawa melihat takut wajah suami yang tidak senang. "Bukan aku yang kepo, Mas, tapi bayiku ha ha ha.... " Batara mencubit gemas pipi istrinya. Keduanya kembali fokus mencari tiga orang yang tadi masuk ke dalam gang. "Di mana ya?" Kikan menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ia temukan di mana Galih dan Felix. "Nak Galih, eh... Nak Felix, saya nikahkan engkau dengan putri saya yang bernama Lilis... Lilis.... " Lilis mendelik saat bapaknya malah lupa nama panjangnya padahal bapaknya send
"Kenapa lagi kamu, Gal? Pulang-pulang nganter Felix nikah, muka kamu asem?" tanya Bu Sisil pada putranya. Galih tiba di rumah sudah sangat sore, langit biru yang kini sudah berubah jingga. "Pengen nikah juga kayak dia?" "Iya, mana ada lelaki yang gak mau nikah, Ma. Cuma saya harus sembuh dulu. Babby sitter yang dinikahin Felix, sekilas wajahnya mirip Esti. Bukan hanya perempuan itu, tetapi bapaknya juga.""Di dunia ini katanya kita emang punya tujuh orang yang mukanya mirip. Kamu gak tahu?" Bu Sisil duduk di samping Galih yang kini sudah berbaring di sofa sambil menatap langit-langit. "Iya kalau cuma wajahnya, sih, mungkin iya, Ma, tapi ini suaranya juga. Bapaknya juga suara dan muka mirip. Cuma bapaknya Lilis ini agak melambay. Tadi aja pakai lipstik he he he.... ""Hah? Bapak-bapak pakai lipstik?" Bu Sisil tidak percaya. Galih mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan foto Lilis dan juga bapaknya karena tadi ia sempat memotret keduanya dalam pose yang berbeda. "Oh, iya, agak miri
"Saya mohon tolong segera cari wanita ini, Pak.""Baik, Bu, laporannya akan segera kami proses.""Wanita ini bawa cucu saya." Bu Resti menangis tersedu-sedu. Felix hanya diam saja. Sejak mamanya histeris karena Lilis dan Gama tidak ada di kamar, pria itu tidak bisa berkata-kata lagi. Foto Lilis yang ia tunjukkan pada polisi sudah sempat ia remuk karena kesal, tetapi bukankah seharusnya ia senang karena Gama pergi. Anak dari Esti itu sudah dibawa pergi, lalu untuk apa ia kebingungan? "Sudahlah, Ma, ayo, kita pulang saja!""Cucuku, Gama." "Ma, dia bukan cucu Mama. Berapa kali harus aku bil_"Plak! Sebuah tamparan tercetak di pipi pria itu. Bu Resti berjalan lebih dahulu masuk ke dalam mobil, bahkan ia duduk di kursi kemudi dengan gagahnya dan langsung pergi meninggalkan Felix yang terpaksa berteriak meminta mamanya untuk menghentikan mobilnya. "Argh, sial banget sih!" Felix pun akhirnya memesan taksi online untuk pulang ke rumah kontrakannya yang tadinya akan ia tinggali bersama Lil
Suara benda jatuh membuat bu Diah tak sabar untuk membuka pintu kamar, tetapi pintu terkunci dari dalam. "Kikan, buka pintunya! Batara, buka! Astaghfirullah kalian berdua ini kenapa?""Mama, cepat! Tolong, Ma! Kikan mau melahirkan! Eh, udah melahirkan, Mama! Mas Batara pingsan!""Apa?!" Dengan tangan gemetar wanita itu menghubungi darurat rumah sakit dan meminta mendatangkan dokter kandungan karena menantunya melahirkan sendirian di kamar. Lima belas menit kemudian, satpam perumahan dibantu oleh dua warga berhasil mendobrak kamar Kikan. Wanita itu langsung ditangani, sedangkan Batara dilarikan ke rumah sakit karena tidak kunjung sadar dari pingsannya. "Ibu dan bayinya hebat ya. Maunya lahiran di rumah, bukan di rumah sakit," puji dokter kandungan yang datang bersama dua perawat untuk mengurus Kikan. Seorang perawat lagi mengurus bayi Kikan yang sekarang baru menangis keras. "Alhamdulillah, gimana kondisi menantu saya, Dok? Mau dibawa ke rumah sakit aja biar dicek semua, Dok.""Ga
"Loh, kamu siapa? K-kenapa pakai baju istri saya?!" tanya Batara gak kalah panik. Bagaimana ia tidak terkejut saat menyadari pekikan dari suara istrinya yang ternyata bukan wanita yang sedang ia peluk. Refleks Batara menjauh dengan wajah bingung. "Mas, astaghfirullah, aku udah ngeri aja. Maaf, Mas, ini Arini, suster yang akan membantu aku mengurus bayi kita." Kikan menghampiri suaminya sambil mengusap punggung pria itu untuk menenangkan. "Memangnya suster Diana ke mana? Kenapa tidak ada yang mengabari saya? Dan satu lagi, kenapa harus pakai baju kamu?!" pria itu jelas sekali tidak suka. Ia pun enggan menatap suster yang tadi sudah peluk tanpa sengaja. "Mas, maaf.""Maaf, Pak, Bu, saya ijin keluar dulu ya." Suster itu pun segera keluar dari kamar Kikan, lalu menutup pintu. Batara masih syok. Napasnya saja naik turun dengan cepat, tanda ia sedang berusaha menguasai emosi dan rasa malu yang luar biasa. Kikan menarik pelan tangan suaminya, lalu membawa Batara duduk di pinggir ranjang.