Batara memarkirkan mobilnya persis di samping mobil Felix. Kikan dengan perut besarnya ikut turun karena ia benar-benar penasaran mau apa dua lelaki masuk gang sambil membawa parcel buah dan juga kotak kue. Ditambah ada mama dari Felix. "Setahu aku, Mas, Felix dan Galih itu ribut besar. Felix pernah dipukulin Galih. Terus kenapa mereka bisa sama-sama lagi?" komentar Kikan saat keduanya berjalan masuk ke dalam gang. "Mungkin sudah berdamai dengan takdir. Lagian kamu kenapa jadi kepo sih?" Kikan tertawa melihat takut wajah suami yang tidak senang. "Bukan aku yang kepo, Mas, tapi bayiku ha ha ha.... " Batara mencubit gemas pipi istrinya. Keduanya kembali fokus mencari tiga orang yang tadi masuk ke dalam gang. "Di mana ya?" Kikan menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ia temukan di mana Galih dan Felix. "Nak Galih, eh... Nak Felix, saya nikahkan engkau dengan putri saya yang bernama Lilis... Lilis.... " Lilis mendelik saat bapaknya malah lupa nama panjangnya padahal bapaknya send
"Kenapa lagi kamu, Gal? Pulang-pulang nganter Felix nikah, muka kamu asem?" tanya Bu Sisil pada putranya. Galih tiba di rumah sudah sangat sore, langit biru yang kini sudah berubah jingga. "Pengen nikah juga kayak dia?" "Iya, mana ada lelaki yang gak mau nikah, Ma. Cuma saya harus sembuh dulu. Babby sitter yang dinikahin Felix, sekilas wajahnya mirip Esti. Bukan hanya perempuan itu, tetapi bapaknya juga.""Di dunia ini katanya kita emang punya tujuh orang yang mukanya mirip. Kamu gak tahu?" Bu Sisil duduk di samping Galih yang kini sudah berbaring di sofa sambil menatap langit-langit. "Iya kalau cuma wajahnya, sih, mungkin iya, Ma, tapi ini suaranya juga. Bapaknya juga suara dan muka mirip. Cuma bapaknya Lilis ini agak melambay. Tadi aja pakai lipstik he he he.... ""Hah? Bapak-bapak pakai lipstik?" Bu Sisil tidak percaya. Galih mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan foto Lilis dan juga bapaknya karena tadi ia sempat memotret keduanya dalam pose yang berbeda. "Oh, iya, agak miri
"Saya mohon tolong segera cari wanita ini, Pak.""Baik, Bu, laporannya akan segera kami proses.""Wanita ini bawa cucu saya." Bu Resti menangis tersedu-sedu. Felix hanya diam saja. Sejak mamanya histeris karena Lilis dan Gama tidak ada di kamar, pria itu tidak bisa berkata-kata lagi. Foto Lilis yang ia tunjukkan pada polisi sudah sempat ia remuk karena kesal, tetapi bukankah seharusnya ia senang karena Gama pergi. Anak dari Esti itu sudah dibawa pergi, lalu untuk apa ia kebingungan? "Sudahlah, Ma, ayo, kita pulang saja!""Cucuku, Gama." "Ma, dia bukan cucu Mama. Berapa kali harus aku bil_"Plak! Sebuah tamparan tercetak di pipi pria itu. Bu Resti berjalan lebih dahulu masuk ke dalam mobil, bahkan ia duduk di kursi kemudi dengan gagahnya dan langsung pergi meninggalkan Felix yang terpaksa berteriak meminta mamanya untuk menghentikan mobilnya. "Argh, sial banget sih!" Felix pun akhirnya memesan taksi online untuk pulang ke rumah kontrakannya yang tadinya akan ia tinggali bersama Lil
Suara benda jatuh membuat bu Diah tak sabar untuk membuka pintu kamar, tetapi pintu terkunci dari dalam. "Kikan, buka pintunya! Batara, buka! Astaghfirullah kalian berdua ini kenapa?""Mama, cepat! Tolong, Ma! Kikan mau melahirkan! Eh, udah melahirkan, Mama! Mas Batara pingsan!""Apa?!" Dengan tangan gemetar wanita itu menghubungi darurat rumah sakit dan meminta mendatangkan dokter kandungan karena menantunya melahirkan sendirian di kamar. Lima belas menit kemudian, satpam perumahan dibantu oleh dua warga berhasil mendobrak kamar Kikan. Wanita itu langsung ditangani, sedangkan Batara dilarikan ke rumah sakit karena tidak kunjung sadar dari pingsannya. "Ibu dan bayinya hebat ya. Maunya lahiran di rumah, bukan di rumah sakit," puji dokter kandungan yang datang bersama dua perawat untuk mengurus Kikan. Seorang perawat lagi mengurus bayi Kikan yang sekarang baru menangis keras. "Alhamdulillah, gimana kondisi menantu saya, Dok? Mau dibawa ke rumah sakit aja biar dicek semua, Dok.""Ga
"Loh, kamu siapa? K-kenapa pakai baju istri saya?!" tanya Batara gak kalah panik. Bagaimana ia tidak terkejut saat menyadari pekikan dari suara istrinya yang ternyata bukan wanita yang sedang ia peluk. Refleks Batara menjauh dengan wajah bingung. "Mas, astaghfirullah, aku udah ngeri aja. Maaf, Mas, ini Arini, suster yang akan membantu aku mengurus bayi kita." Kikan menghampiri suaminya sambil mengusap punggung pria itu untuk menenangkan. "Memangnya suster Diana ke mana? Kenapa tidak ada yang mengabari saya? Dan satu lagi, kenapa harus pakai baju kamu?!" pria itu jelas sekali tidak suka. Ia pun enggan menatap suster yang tadi sudah peluk tanpa sengaja. "Mas, maaf.""Maaf, Pak, Bu, saya ijin keluar dulu ya." Suster itu pun segera keluar dari kamar Kikan, lalu menutup pintu. Batara masih syok. Napasnya saja naik turun dengan cepat, tanda ia sedang berusaha menguasai emosi dan rasa malu yang luar biasa. Kikan menarik pelan tangan suaminya, lalu membawa Batara duduk di pinggir ranjang.
"Permisi, saya mau tanya, Pak, pemilik rumah ini ke mana ya?" tanya Galih pada salah satu tetangga pak Ramdan alias Boby. "Oh, Pak Ramdan. Eh, Pak Bobby." Galih mengerutkan keningnya. Ia tidak asing dengan nama tersebut dan sekarang ia benar-benar mengingatnya. "Iya, yang punya rumah ini. Yang tiga bulan lalu anaknya nikah di sini.""Oh, itu, udah gak tahu ke mana. Pergi subuh-subuh.""Anaknya?""Gak tahu deh, perginya sendiri bawa tas. Kunci rumah kontrakan diserahkan pada RT, tapi RT juga bilang gua tahu ke mana. Kenapa orang-orang pada nyari pak Bobby sih? Padahal pak Bobby itu orang baik. Sering kumpul sama warga sini. Menantunya juga waktu itu ke sini sampai lima kali, tapi gak ketemu.""Kerjanya apa ya, Pak? Terus nama anaknya Esti apa Lilis?""Lilis." Galih menghela napas. Apakah mungkin hanya mirip saja? "Baiklah, Pak. Terima kasih banyak ya." Galih kembali naik ke atas motornya dan meneruskan perjalanan pulang ke rumah. Tiga bulan sudah berlalu sejak Lilis membawa pergi pu
"Halo, kenapa, Wi?""Ya, ampun, Mama ke mana aja? Ada satu minggu lost contact sama Dewi. Mama sakit?""HP Mama sakit. Sama dompet. Jadi HP dibawa ke tukang service dan bermalam juga hari di sana. Mama emang sengaja gak mau telepon kamu karena pasti kamu ujung-ujungnya minta duit!""Ish, Mama, sebentar lagi juga bakalan jadi mertua banyak duit lagi. Mama hanya kudu sabar sedikit lagi. Gimana, Ma? Wanita bernama Kikan itu pasti stres berat karena mengurus anakku. Dia sedang punya bayi dan harus mengurus bayiku pula." Dewi tertawa puas dari seberang telepon. "Dia pasti minta cerai dari mas Batara kan? Duh, Dewi seharusnya tetap di Jakarta biar bisa lihat wanita itu teriak-teriak karena stres.""Kata siapa stres. Bintang diurus oleh baby sitter. Di rumah Batara ada tiga orang. Yang satu pembantu, yang dua orang baby sitter. Siapa yang stres? Kikan? Gak bakalan. Justru dari yang Mama lihat, Batara baru saja membeli rumah atas nama Kikan. Rumah besar yang banyak kamarnya.""Hah! Gak mungk
Kemunculan Arini Zahra atau yang ia biasa panggil Zahra, membuat Batara tidak fokus dan juga tidka nyaman. Pria itu sengaja menghindar dari suster yang merawat bayinya. Ia tidak mau bicara jujur pada Kikan karena ia mengira Zahra atau Suster Arini itu hanya sebentar saja di rumahnya, menggantikan suster Dian. "Sayang, kalau ada apa-apa, segera hubungi saya ya. Kamu bisa kan?""Bisa, Mas, di rumah sudah banyak banget orang. Pindahannya biar setelah empat puluh hari aja." Batara tersenyum lebar. "Kamu mah istri paling pengertian. Tahu aja timing nya saat nifas selesai ya." Kikan malah tertawa. "Bukan itu maksudnya, biar rumah di sana rapi dulu. Lagian ini kayaknya nifas lebih dari empat puluh hari, tapi setahun.""Oh, tidak, Sayang. Otakku bisa meleleh nanti." Batara mencium cepat bibir istrinya sebelum ia keluar dari kamar. "Hati-hati ya." Batara mengangguk. "Jangan lupa telepon suster Dian. Tanyakan kapan bisa balik ke sini. Harusnya secepetnya karena aku tetap lebih nyaman denga