"Baby sitter yang akan urus anak kamu." "Dia bukan anakku, Ma. Dia anak pembantu itu!" Felix merasa enggan dan pria itu tidak akan pernah menganggap Bintang adalah anaknya. Esti alias Lilis mendengar penolakan Felix dengan hati yang sangat kecewa. Dahulu, jelas Felix memujinya.FlashbackEsti sedang berdiri di depan cermin yang ada di dalam kamar mandi apartemen Felix. Ia memperhatikan wajah yang tidak semangat sama sekali. Perasaan bersalah datang padanya untuk kesekian kalinya. Ini adalah kali ketiga Felix memanggilnya ke apartemen dan meminta ia memberikan service ranjang. Mau tidak mau, ia harus mau karena ancaman lelaki itu dan demi mengisi lambung sehari-hari. Bekerja sebagai tukang setrika di sebuah laundry jelas tidak cukup untuk menyambung hidupnya. Ditambah ada orang tua yang harus ia urus, begitu juga suaminya. Tok! Tok!Esti terlonjak kaget saat suara ketukan terdengar tak sabar."Esti, kamu udah selesai? Lama banget! Ayo, cepat!" Esti menyugar rambutnya yang mulai panj
PoV KikanAku dan suamiku terkejut bukan main. Belum lama Dewi dan suamiku bicara di telepon, tetapi sudah mendapatkan kabar bahwa wanita itu kecelakaan dan... Aku sampai susah bernapas. Duduk di dekat mas Batara yang tadinya mual dan muntah, sekarang tidak lagi. Wajah tegang suamiku begitu jelas terlihat. Aku tidak tahu mau menenangkannya bagaimana karena aku pun sama paniknya. Untunglah anak-anak masih di rumah mama. Jika tidak, Anak-anak pun pasti ikut panik dan sedih. "Mas, bawa mobilnya jangan ngebut. Tenang, Mas. " Aku mengusap pundak suamiku. "Makasih Kikan. Aku benar-benar panik. " Ia ikut mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Wajah itu berkeringat pdahal AC di mobil dingin. Kami tiba di rumah orang tua Dewi satu jam kemudian karena memang rumahnya jauh dari tempat tinggalku. Rumah itu sudah penuh orang yang takziah. Mayit Dewi pun sudah berada di dalam peti. Aku dan suamiku tidak diijinkan untuk melihat wanita itu untuk yang terakhir kalinya. Suara tangis bayi lelaki
Belum habis rasa terkejut atas kepergian Dewi, kini aku dibikin lebih terkejut dengan amanat yang diminta oleh ibu almarhumah. Aku harus mengurus bayi Dewi dengan suamiku dalam keadaan aku juga tengah hamil dan sedang mengurus dua anak mas Batara dari pernikahan pertama. "Sayang, kalau kamu pegal, biar aku yang gendong bayinya," ujar suamiku saat mobil berhenti di lampu merah. "Gak papa, Mas, aku bisa kok. Bayinya masih ringan. Lagian sebentar lagi sampai. " Kupandang wajah lelap bayi lelaki yang wajahnya sedikit mirip dengan Baim di bagian hidungnya. "Maafkan semuanya jadi rumit." Suamiku jelas sekali terpukul. Beban di pundaknya amat berat. Jika bayiku lahir dengan selamat nanti maka akan ada empat anaknya dari istri yang berbeda-beda. "Sudah takdir, Mas. Tidak ada yang mau seperti ini. Kita bicara nanti lagi ya. Sekarang kita pulang.""Kamu gak ingin makan sesuatu? " aku menggelengkan kepala. "Tidak, Mas. Makan di rumah saja. Bibik bilang hari ini masak sayur daun katuk dan j
PoV Esti. "Lilis, ini bawa ke dalam, dia cekugan terus. Panaskan dulu saja susunya." "Baik, Nyonya." Aku pun mengambil buah hatiku dari gendongan Bu Resti, lalu aku bawa ke kamar. Tidak ada yang tahu, bahwa di dalam kamar itu aku menyusui bayiku secara langsung. Tidak perlu asi yang dihangatkan lagi karena sudah langsung dari pabriknya. Memang asi-ku tidak terlalu banyak, tetapi ia bisa keluar di saat yang tepat. Gama, nama anak lelakiku yang tampan. Nama yang diberikan oleh omanya. Aku tidak masalah, asalkan aku bisa bersama dengan putraku terus dari dekat. Gama menyusu dengan kuat bila aku langsung memberikan dari tempatnya. Bisa dua jam kanan kiri, sampai akhirnya bayiku itu tertidur. Setelah Gama pulas, aku pun merapikan box bayi dan langsung keluar dari kamar. Ada banyak pekerjaan yang bisa aku kerjakan di rumah orang tua Felix. Gak papa, aku juga gak perhitungan. Bagiku, ibu dan anak itu tidak curiga saja aku sudah sangat bersyukur. "Aku mau membawa teman dekatku ke rumah
Pria itu setengah sadar karena efek minuman keras. Tentu saja aku langsung sigap mendorongnya hingga pria itu jatuh. Lekas aku membetulkan posisi kancing baju, lalu aku membantu Felix bangun, tetapi pria itu malah tetap berbaring telungkup di atas karpet. Benar-benar sudah tidak waras otaknya."Tuan, bangun, nanti Gama ikut kebangun. Saya ngantuk dan capek!" Aku membantu Felix berdiri dengan susah payah. "Kamu itu mirip perempuan itu, Lilis. Kalian kayak sama. Tapi kamu lebih cantik sih, Esti buluk, item, jelek, bau bawang, tapi aku suka badannya!""Aarrrgggh!" Biarin, rasakan! Jelek, item, buluk, bau bawang katanya, tapi keenakan. Dasar lelaki gila! Aku terus mencubit pinggangnya tanpa ia sadari. Ia hanya memekik seperti orang yang sedang digigit semut. "Aduh, semut nakal nih!" Katanya lagi sambil mengibaskan pinggangnya. Aku berhasil membawa Felix keluar dari kamar Gama. Tentu saja aku tidak berani memapah langsung sampai di kamarnya. Bisa-bisa dia hilang akal lagi. Aku menghem
"Oh, iya, maaf saya gak ngenalin Tante.""Gak papa, Kikan. Kamu hamil juga? Masih punya bayi udah hamil lagi? Wah, udah gede juga. Udah berapa bulan? Cepet ya. Waktu sama Galih kayaknya lama, yang subur malah pembantu kamu ha ha ha... udah berapa bulan hamilnya?""Lima mau enam kayaknya Tante." Wajah Bu Kikan terlihat sangat tidak nyaman. "Oh, iya, ini bayinya Felix dari mantan pembantu kamu itu. Tahu kan?""Tante, saya ijin ke kamar mandi dulu ya. " Bu Kikan segera beranjak dari duduknya. Dengan gerakan tangan meminta suaminya mengikutinya. Sampai akhirnya nomor Bu Kikan dipanggil, wanita itu tidak duduk di dekat kami lagi. Apa maksud ucapan mamanya Felix? Bu Kikan tahu apa? Selesai dari rumah sakit, kami langsung pulang. Gama tertidur sepanjang jalan. Ia hanya bangun saat mobil berhenti saat macet di jalan tadi. "Gama kamu taruh di box-nya, setelah itu kamu ke dapur bantu bibik siapkan makanan untuk tamu Felix malam ini.""Baik, Nyonya. Mau mantu lagi ya, Nyonya." Bu Resti menga
PoV Galih"Kikan katanya lagi hamil, Ma," kataku yang tidak semangat menyendokkan nasi ke dalam mulut. Gimana mau semangat? Kerjaan kantor banyak. Denger mantan di sana lagi hamil, dapat suami duda kaya pula. Aku di sini, baru aja diceraikan istri. "Kamu tahu dari mana? Ngintip instagram Kikan ya?""Tahu lah, pokoknya.""Kikan ada suaminya. Ya, kalau dia hamil malah bagus. Kamu kenapa masih gosting Kikan, sih? Masih ngarep dia balik sama kamu? Ya gak bakalan. Kamu udah nyakitin hati Kikan banget." Aku menghela napas. Kadang aku berpikir, jika saja waktu bisa aku ulang, tak akan aku mau minum obat stamina itu. Mungkin rumah tanggaku dengan Kikan masih langgeng sampai saat ini. "Cuma lihat di instagramnya kemarin. Masih berteman di instagram, tapi gak pernah tegur sapa." Mana berani aku chat Kikan, yang ada pasti langsung di block. "Kayaknya udah bahagia," kataku lagi. Mama tertawa pelan. Lebih tepatnya menertawakan diriku yang masih dapat azab dari Ilahi Robbi. "Kikan bahagia, Esti
PoV3"Apa, F-felix mau melamar kamu?""Iya, Pak. Aduh, gimana nih, Pak. Esti takut. Bisa-bisa Ketahuan dong nanti.""Kalau Bapak operasi plastik juga kayak kamu, keburu gak?""Ha ha ha... keburu dipanggil Malaikat Maut iya. Ish, Bapak, Esti lagi urgen nih. Beneran, Pak. Bapak malah bercanda. Kenapa Bapak yang mau ikutan operasi?""Iya, terus Bapak harus gimana? Kamu gak dikenali mereka karena udah operasi kan? Bapak juga kalau gitu, biar mereka gak kenal juga sama Bapak. Kalau mereka kenal Bapak, bisa-bisa mereka tahu kalau kamu itu Esti, bukan Lilis.Bapak minta hidung Bapak mancung sama keriput Bapak ini dihilangkan. Bibir Bapak yang hitam ini dimerahin bisa gak?""Pak, kagak keburu. Udah dua hari lagi. Besok sabtu. Segala bibir pengen dimerahin.""Kamu kenapa mau sama Felix? Dia udah bikin kamu cerai dari Galih loh!""Ya, karena ada Gama, Pak. Ya udah, nasib Esti harus ketemu dia lagi. Bapak gak usah operasi plastik. Bapak pakai wig aja. Rambut palsu. Nanti Esti order online dikiri
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i