Belum habis rasa terkejut atas kepergian Dewi, kini aku dibikin lebih terkejut dengan amanat yang diminta oleh ibu almarhumah. Aku harus mengurus bayi Dewi dengan suamiku dalam keadaan aku juga tengah hamil dan sedang mengurus dua anak mas Batara dari pernikahan pertama. "Sayang, kalau kamu pegal, biar aku yang gendong bayinya," ujar suamiku saat mobil berhenti di lampu merah. "Gak papa, Mas, aku bisa kok. Bayinya masih ringan. Lagian sebentar lagi sampai. " Kupandang wajah lelap bayi lelaki yang wajahnya sedikit mirip dengan Baim di bagian hidungnya. "Maafkan semuanya jadi rumit." Suamiku jelas sekali terpukul. Beban di pundaknya amat berat. Jika bayiku lahir dengan selamat nanti maka akan ada empat anaknya dari istri yang berbeda-beda. "Sudah takdir, Mas. Tidak ada yang mau seperti ini. Kita bicara nanti lagi ya. Sekarang kita pulang.""Kamu gak ingin makan sesuatu? " aku menggelengkan kepala. "Tidak, Mas. Makan di rumah saja. Bibik bilang hari ini masak sayur daun katuk dan j
PoV Esti. "Lilis, ini bawa ke dalam, dia cekugan terus. Panaskan dulu saja susunya." "Baik, Nyonya." Aku pun mengambil buah hatiku dari gendongan Bu Resti, lalu aku bawa ke kamar. Tidak ada yang tahu, bahwa di dalam kamar itu aku menyusui bayiku secara langsung. Tidak perlu asi yang dihangatkan lagi karena sudah langsung dari pabriknya. Memang asi-ku tidak terlalu banyak, tetapi ia bisa keluar di saat yang tepat. Gama, nama anak lelakiku yang tampan. Nama yang diberikan oleh omanya. Aku tidak masalah, asalkan aku bisa bersama dengan putraku terus dari dekat. Gama menyusu dengan kuat bila aku langsung memberikan dari tempatnya. Bisa dua jam kanan kiri, sampai akhirnya bayiku itu tertidur. Setelah Gama pulas, aku pun merapikan box bayi dan langsung keluar dari kamar. Ada banyak pekerjaan yang bisa aku kerjakan di rumah orang tua Felix. Gak papa, aku juga gak perhitungan. Bagiku, ibu dan anak itu tidak curiga saja aku sudah sangat bersyukur. "Aku mau membawa teman dekatku ke rumah
Pria itu setengah sadar karena efek minuman keras. Tentu saja aku langsung sigap mendorongnya hingga pria itu jatuh. Lekas aku membetulkan posisi kancing baju, lalu aku membantu Felix bangun, tetapi pria itu malah tetap berbaring telungkup di atas karpet. Benar-benar sudah tidak waras otaknya."Tuan, bangun, nanti Gama ikut kebangun. Saya ngantuk dan capek!" Aku membantu Felix berdiri dengan susah payah. "Kamu itu mirip perempuan itu, Lilis. Kalian kayak sama. Tapi kamu lebih cantik sih, Esti buluk, item, jelek, bau bawang, tapi aku suka badannya!""Aarrrgggh!" Biarin, rasakan! Jelek, item, buluk, bau bawang katanya, tapi keenakan. Dasar lelaki gila! Aku terus mencubit pinggangnya tanpa ia sadari. Ia hanya memekik seperti orang yang sedang digigit semut. "Aduh, semut nakal nih!" Katanya lagi sambil mengibaskan pinggangnya. Aku berhasil membawa Felix keluar dari kamar Gama. Tentu saja aku tidak berani memapah langsung sampai di kamarnya. Bisa-bisa dia hilang akal lagi. Aku menghem
"Oh, iya, maaf saya gak ngenalin Tante.""Gak papa, Kikan. Kamu hamil juga? Masih punya bayi udah hamil lagi? Wah, udah gede juga. Udah berapa bulan? Cepet ya. Waktu sama Galih kayaknya lama, yang subur malah pembantu kamu ha ha ha... udah berapa bulan hamilnya?""Lima mau enam kayaknya Tante." Wajah Bu Kikan terlihat sangat tidak nyaman. "Oh, iya, ini bayinya Felix dari mantan pembantu kamu itu. Tahu kan?""Tante, saya ijin ke kamar mandi dulu ya. " Bu Kikan segera beranjak dari duduknya. Dengan gerakan tangan meminta suaminya mengikutinya. Sampai akhirnya nomor Bu Kikan dipanggil, wanita itu tidak duduk di dekat kami lagi. Apa maksud ucapan mamanya Felix? Bu Kikan tahu apa? Selesai dari rumah sakit, kami langsung pulang. Gama tertidur sepanjang jalan. Ia hanya bangun saat mobil berhenti saat macet di jalan tadi. "Gama kamu taruh di box-nya, setelah itu kamu ke dapur bantu bibik siapkan makanan untuk tamu Felix malam ini.""Baik, Nyonya. Mau mantu lagi ya, Nyonya." Bu Resti menga
PoV Galih"Kikan katanya lagi hamil, Ma," kataku yang tidak semangat menyendokkan nasi ke dalam mulut. Gimana mau semangat? Kerjaan kantor banyak. Denger mantan di sana lagi hamil, dapat suami duda kaya pula. Aku di sini, baru aja diceraikan istri. "Kamu tahu dari mana? Ngintip instagram Kikan ya?""Tahu lah, pokoknya.""Kikan ada suaminya. Ya, kalau dia hamil malah bagus. Kamu kenapa masih gosting Kikan, sih? Masih ngarep dia balik sama kamu? Ya gak bakalan. Kamu udah nyakitin hati Kikan banget." Aku menghela napas. Kadang aku berpikir, jika saja waktu bisa aku ulang, tak akan aku mau minum obat stamina itu. Mungkin rumah tanggaku dengan Kikan masih langgeng sampai saat ini. "Cuma lihat di instagramnya kemarin. Masih berteman di instagram, tapi gak pernah tegur sapa." Mana berani aku chat Kikan, yang ada pasti langsung di block. "Kayaknya udah bahagia," kataku lagi. Mama tertawa pelan. Lebih tepatnya menertawakan diriku yang masih dapat azab dari Ilahi Robbi. "Kikan bahagia, Esti
PoV3"Apa, F-felix mau melamar kamu?""Iya, Pak. Aduh, gimana nih, Pak. Esti takut. Bisa-bisa Ketahuan dong nanti.""Kalau Bapak operasi plastik juga kayak kamu, keburu gak?""Ha ha ha... keburu dipanggil Malaikat Maut iya. Ish, Bapak, Esti lagi urgen nih. Beneran, Pak. Bapak malah bercanda. Kenapa Bapak yang mau ikutan operasi?""Iya, terus Bapak harus gimana? Kamu gak dikenali mereka karena udah operasi kan? Bapak juga kalau gitu, biar mereka gak kenal juga sama Bapak. Kalau mereka kenal Bapak, bisa-bisa mereka tahu kalau kamu itu Esti, bukan Lilis.Bapak minta hidung Bapak mancung sama keriput Bapak ini dihilangkan. Bibir Bapak yang hitam ini dimerahin bisa gak?""Pak, kagak keburu. Udah dua hari lagi. Besok sabtu. Segala bibir pengen dimerahin.""Kamu kenapa mau sama Felix? Dia udah bikin kamu cerai dari Galih loh!""Ya, karena ada Gama, Pak. Ya udah, nasib Esti harus ketemu dia lagi. Bapak gak usah operasi plastik. Bapak pakai wig aja. Rambut palsu. Nanti Esti order online dikiri
"Happy?" Batara tersenyum pada wanita yang kini sedang mengandung buah cinta mereka. Pria itu mengungkung Kikan dari belakang dengan kedua tangan berpegangan pada pagar penyangga balkon. Kikan berbalik, bergantian kini dirinya yang mengalungkan tangan di leher suaminya. "Kenapa baru kali ini ajak saya ke sini?" wajahnya dibuat cemberut. "Pertama karena kamu sibuk dan yang kedua, villa ini baru lunas." Batara tersenyum lebar di saat kening Kikan mengerut dalam. Pria itu mengambil map bening dari atas meja kecil yang ada di balkon. "Hadiah untuk wanita yang sudah berjuang begitu hebat tetap di sampingku, meskipun ujian tidak kunjung berhenti datang. Terima kasih Sayang. Ini villa aku beli sebagai hadiah untuk ibu dari anak-anakku." Kikan tidak kuasa menahan tangisnya. Dengan kedua tangan yang menutup mulut karena tidak percaya, air matanya merembes di pipi. "Mas, apa lagi ini?""Hadiah untuk kamu. Ini sudah atas nama kamu. Ada teman yang jual butuh dan boleh aku bayar enam kali ha h
Batara memarkirkan mobilnya persis di samping mobil Felix. Kikan dengan perut besarnya ikut turun karena ia benar-benar penasaran mau apa dua lelaki masuk gang sambil membawa parcel buah dan juga kotak kue. Ditambah ada mama dari Felix. "Setahu aku, Mas, Felix dan Galih itu ribut besar. Felix pernah dipukulin Galih. Terus kenapa mereka bisa sama-sama lagi?" komentar Kikan saat keduanya berjalan masuk ke dalam gang. "Mungkin sudah berdamai dengan takdir. Lagian kamu kenapa jadi kepo sih?" Kikan tertawa melihat takut wajah suami yang tidak senang. "Bukan aku yang kepo, Mas, tapi bayiku ha ha ha.... " Batara mencubit gemas pipi istrinya. Keduanya kembali fokus mencari tiga orang yang tadi masuk ke dalam gang. "Di mana ya?" Kikan menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ia temukan di mana Galih dan Felix. "Nak Galih, eh... Nak Felix, saya nikahkan engkau dengan putri saya yang bernama Lilis... Lilis.... " Lilis mendelik saat bapaknya malah lupa nama panjangnya padahal bapaknya send