"Ada apa ini Rosi? Kenapa kamu menurunkan semua pakaian kamu?" tanya ibu dari Felix yang tengah kebingungan melihat menantunya yang sedang tidak baik-baik saja. Rosi tidak menjawab, wanita itu terus mengosongkan lemarinya. Ada banyak barang, sehingga ia tidak bisa cepat. Koleksi tas, jam tangan, parfum, belum lagi topi, gesper, perhiasan, dan pernak-pernik lainnya. Bu Siska menoleh ke arah pintu rumah yang terbuka lebar, untuk memastikan keberadaan Felix, putranya. "Rosi, kamu kenapa? Bertengkar dengan Felix?" tanya mama mertuanya."Jika suami istri yang melakukan LDR itu, ujiannya memang lebih besar. Kamu harus sabar. Felix mungkin sedang khilaf. Apa kalian bertengkar?" tanya wanita itu lagi."Tanya sama anak lelaki Mama itu. Selagi saya kerja, dia tidur dengan pembantu temannya. Pembantu, Ma! Saya istrinya cantik dan seorang model, tapi dia malah bercinta dan begitu menikmati bercinta dengan pembantu temannya.""Hah, a-apa? I-itu mungkin kekhilafan Felix sekali saja, Nak. Namanya l
"Kamu ngapain melamun aja di kamar? Cari kerja sama, Galih! Kamu di rumah ini yang sarjana, tapi kamu yang paling males!" Wanita itu terus mengomel pada sang Putra yang sejak balik ke rumahnya hanya bisa diam; mengurung diri di kamar. Tatapan pria itu kosong dan juga tersiksa. Wanita yang ia cintai malah menyakitinya begitu dalam. Meskipun alasannya untuk menyelamatkannya dari penjara, tetap saja salah. "Galih, kamu mau sampai kapan terpuruk begini? Gak akan balik lagi keadaan. Yang benar itu, kamu cukur rambut, janggut, mandi bersih-bersih, terus melamar kerja sana. Jadi apa saja yang penting halal. Mama cuma ngandelin pensiun papa kamu aja paling bisa untuk makan saja. Jeri pun jadi cari uang sendiri sambil kuliah sejak kamu gak support dia lagi. Ayo, bangkit! Gak usah mikirin Esti, apalagi Kikan. Dua wanita itu anggap saja masa lalu kamu." Seandainya bisa semudah mamanya bicara, pasti ia mau, tetapi ia sudah terlanjur cinta begitu dalam pada Esti, bahkan sampai ia menghancurkan r
"Permisi, apa Bu Kikan-nya ada?" tanya Galih pada staf front office yang tengah berjaga. "Bu Kikan?" Galih mengangguk."Apa Bapak sudah buat janji?""Sudah, bilang saja dari Galih.""Oh, tunggu, saya ciba konfirmasi sama asisten Bu Kikan ya." Petugas itu mengangkat gagang telepon."Halo, selamat pagi. Apa Bu Kikan-nya ada, Mbak Mela. Ada tamu untuk Bu Kikan.""Siapa ya? Bu Kikan hari ini tidak ada jadwal janji temu dengan orang lain.""Namanya Galih." "Tidak ada janji dengan nama Galih. Suruh balik dua atau tiga hari lagi aja karena Bu Kikan lagi gak ada.""Oke Mbak Mela, terima kasih." "Gak ada ya?" tanya Galih langsung pada petugas wanita itu."Iya, Bu Kikan sedang tidak di tempat, Pak. Bapak bisa ke sini tiga tau empat hari lagi." Wajah Galih nampak kecewa. "Ya sudah kalau begitu, terima kasih." Galih pun keluar dari kantor Kikan. Sesampainya di post keluar, ia bingung harus ke mana. Tidak punya tujuan dan uang juga pas-pasan. Galih menepi di sebuah halte yang tidak jauh dari k
Kikan yang memang sedang menguping pembicaraan Batara, langsung terkejut begitu mendengar kalimat bahwa Maura hilang. Anak cantik berusia tiga tahun tiga bulan itu masih terlalu kecil dan kenapa bisa sampai kabur? Kikan ingin sekali keluar dari biliknya untuk menemui Batara, tetapi ia masih menahan diri. Ia belum punya cukup bukti untuk melemparkan wanita yang tega melukai Baim dan mengancam anak kecil itu. Memang bukan bagian dari urusannya, tetapi sebagai sesama manusia, apalagi ia tahu betul bagaimana baiknya Batara dan lucunya kedua anak duda itu, tentu saja ia tidak tega. "Baim, Papa keluar sebentar ya. Sebentar saja. Kamu tunggu di sini. Nanti Papa titipkan suster ya." Baik tidak menyahut. Anak kecil itu diam saja tanpa tahu harus berkomentar apa.Suara langkah kaki Batara keluar dari kamar perawatan. Seiring pintu yang tertutup. Kikan mengatur napas, merapikan sedikit rambutnya. Sejak berada satu kamar dengan Baim, ia merasa lebih sehat dan segar, apalagi ia mengetahui bagaim
"Bagaimana, Mas? Apa Mas bisa menemukan Maura? Ah, sepertinya tidak ya. Saya benar-benar cemas, Mas." Batara hanya bisa meremas rambutnya karena ia benar-benar ketakutan."Saya udah lapor polisi, tapi belum bisa diproses karena belum satu kali dua puluh empat jam. Mama nuga udah telponin semua sodara, barangkali ada yang lihat Maura atau mungkin membawa Maura, tetapi tidak ada.""Sabar, Mas, semoga kita segara menemukan Maura ya. Semoga anak kita gak papa. Baim juga biar sehat dulu." Mendengar suara istrinya yang penuh simpati, Batara yang kesal pun akhirnya luluh. Ia merangkul pundak Dewi sambil menatap brangkar milik Baim. Ada yang membuatnya tersenyum karena nampan makan Baim telah kosong. Akhirnya Baim mau makan dengan Dewi. Pikirnya. "Makasih, Sayang, maafkan aku udah bikin kamu kerepotan dengan dua anak-anak ini.""Gak papa, Sayang, mereka juga anak-anakku." Dewi mencium tipis bibir suaminya dan hal itu didengar oleh Kikan. Wanita itu memutar bola mata malas dan ingin sekali ra
"Ya Allah, kalian ini kenapa ...?" Kikan tidak kuasa menahan tangisnya. Tubuh kecil Maura amat menyedihkan dan ia bingung bagaimana bisa Maura sampai di rumahnya. Siapa yang mengantar?Belum lagi Baim yang juga ikut menangis setelah tahu Maura pergi dari rumah. Kikan benar-benar tidak tahu harus melakukan apa selain memeluk keduanya. "Maura sudah makan, Sayang?" gadis kecil itu menggelengkan kepala. "Kita masuk yuk!" Kikan menggendong Maura, lalu tangannya yang lain menggandeng Baim. Ketiganya masuk ke dalam rumah. Kikan membawa Maura ke dapur, lalu mempersilakan Baik duduk di sofa. "Tante beresin Maura dulu ya." Kikan membawa Maura masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan tubuh mungil itu dengan handuk yang sudah direndam air hangat. Kaki, tangan, wajah, badan, semua dibasuh dengan handuk hangat. Kikan segera memakaikan minyak kayu putih, lalu memakaikan baju Maura yang ada tertinggal di rumahnya. Adik dan kakak itu pernah menginap di rumahnya selama dua malam dan baju mereka mas
"Wi, kamu ini udah jam sembilan pagi, masih tidur aja!" Tegur Bu Sisil, ibu dari Dewi. Wanita itu berdiri di depan pintu kamar putrinya sambil melipat kedua tangan di dada."Enak banget, Ma. Tidur Dewi nyenyak sekali karena gak perlu pusing sama dua anak tiri!" Dewi turun dari ranjang dan langsung keluar. Ia pergi ke dapur untuk mengambil air minum."Kenapa bisa dua anak kecil kabur? Satu kabur dari rumah dan satu lagi kabur dari rumah sakit? Siapa yang ngajarin bisa senekat itu dan sampai sekarang juga gak tahu pada kemana Baim dan Maura. Batara ada telepon kamu lagi gak?" Dewi menggeleng."Mas Batara pasti lagi pusing sama dua anak itu, Ma. Mereka itu bar-bar sekali. Berantem terus di rumah, siapa yang tahan coba? Bibik aja pura-pura sabar, kalau nggak dibayar, pasti Maura dan Baim udah dipukuli sama bibik.""Kamu jangan sok tahu, Dewi! Bahaya kalau fitnah. Memukuli anak bisa masuk dalam penjara loh!""Siapa yang mukul?" tanya Dewi balik. "Itu kamu, pukul pakai rotan.""Gak kenceng
"M-Mas Batara, k-kenapa Mas bisa ada di rumah, maksudnya di kamarku? Kapan masuknya?" Dewi menoleh pada mamanya. Bu Sisil mengangkat bahu tidak paham."Cukup tahu saja aku selama ini kamu punya muka dua!" Batara langsung berlari keluar dari kamar Dewi dengan hati yang panas. Jika ia tidak buru-buru keluar, ia khawatir akan berteriak pada Dewi. Namun, satu hal yang ia ketahui bahwa Dewi pembohong. Ia pandai berakting dan benar-benar memperdaya."Mas, tunggu! Mas, tunggu!" Panggil Dewi sambil berteriak, tetapi Batara sama sekali tidak peduli. Ia langsung masuk ke dalam mobil yang ia parkir di dekat pos satpam kosong. Dewi masih mengejarnya, bahkan wanita itu memukul-mukul jendela mobil Batara. Pria itu langsung menekan gas mobil dengan cepat, meninggalkan Dewi yang terus saja berteriak."Sialan! Mas, tunggu! Aku bisa jelasin!" Teriakan Dewi tentu masih didengar oleh Batara. Pria itu tersenyum getir karena ia menyadari sebuah kesalahan. Apakah ini penyebab Kikan mengatakan bahwa Dewi gak