Kikan yang memang sedang menguping pembicaraan Batara, langsung terkejut begitu mendengar kalimat bahwa Maura hilang. Anak cantik berusia tiga tahun tiga bulan itu masih terlalu kecil dan kenapa bisa sampai kabur? Kikan ingin sekali keluar dari biliknya untuk menemui Batara, tetapi ia masih menahan diri. Ia belum punya cukup bukti untuk melemparkan wanita yang tega melukai Baim dan mengancam anak kecil itu. Memang bukan bagian dari urusannya, tetapi sebagai sesama manusia, apalagi ia tahu betul bagaimana baiknya Batara dan lucunya kedua anak duda itu, tentu saja ia tidak tega. "Baim, Papa keluar sebentar ya. Sebentar saja. Kamu tunggu di sini. Nanti Papa titipkan suster ya." Baik tidak menyahut. Anak kecil itu diam saja tanpa tahu harus berkomentar apa.Suara langkah kaki Batara keluar dari kamar perawatan. Seiring pintu yang tertutup. Kikan mengatur napas, merapikan sedikit rambutnya. Sejak berada satu kamar dengan Baim, ia merasa lebih sehat dan segar, apalagi ia mengetahui bagaim
"Bagaimana, Mas? Apa Mas bisa menemukan Maura? Ah, sepertinya tidak ya. Saya benar-benar cemas, Mas." Batara hanya bisa meremas rambutnya karena ia benar-benar ketakutan."Saya udah lapor polisi, tapi belum bisa diproses karena belum satu kali dua puluh empat jam. Mama nuga udah telponin semua sodara, barangkali ada yang lihat Maura atau mungkin membawa Maura, tetapi tidak ada.""Sabar, Mas, semoga kita segara menemukan Maura ya. Semoga anak kita gak papa. Baim juga biar sehat dulu." Mendengar suara istrinya yang penuh simpati, Batara yang kesal pun akhirnya luluh. Ia merangkul pundak Dewi sambil menatap brangkar milik Baim. Ada yang membuatnya tersenyum karena nampan makan Baim telah kosong. Akhirnya Baim mau makan dengan Dewi. Pikirnya. "Makasih, Sayang, maafkan aku udah bikin kamu kerepotan dengan dua anak-anak ini.""Gak papa, Sayang, mereka juga anak-anakku." Dewi mencium tipis bibir suaminya dan hal itu didengar oleh Kikan. Wanita itu memutar bola mata malas dan ingin sekali ra
"Ya Allah, kalian ini kenapa ...?" Kikan tidak kuasa menahan tangisnya. Tubuh kecil Maura amat menyedihkan dan ia bingung bagaimana bisa Maura sampai di rumahnya. Siapa yang mengantar?Belum lagi Baim yang juga ikut menangis setelah tahu Maura pergi dari rumah. Kikan benar-benar tidak tahu harus melakukan apa selain memeluk keduanya. "Maura sudah makan, Sayang?" gadis kecil itu menggelengkan kepala. "Kita masuk yuk!" Kikan menggendong Maura, lalu tangannya yang lain menggandeng Baim. Ketiganya masuk ke dalam rumah. Kikan membawa Maura ke dapur, lalu mempersilakan Baik duduk di sofa. "Tante beresin Maura dulu ya." Kikan membawa Maura masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan tubuh mungil itu dengan handuk yang sudah direndam air hangat. Kaki, tangan, wajah, badan, semua dibasuh dengan handuk hangat. Kikan segera memakaikan minyak kayu putih, lalu memakaikan baju Maura yang ada tertinggal di rumahnya. Adik dan kakak itu pernah menginap di rumahnya selama dua malam dan baju mereka mas
"Wi, kamu ini udah jam sembilan pagi, masih tidur aja!" Tegur Bu Sisil, ibu dari Dewi. Wanita itu berdiri di depan pintu kamar putrinya sambil melipat kedua tangan di dada."Enak banget, Ma. Tidur Dewi nyenyak sekali karena gak perlu pusing sama dua anak tiri!" Dewi turun dari ranjang dan langsung keluar. Ia pergi ke dapur untuk mengambil air minum."Kenapa bisa dua anak kecil kabur? Satu kabur dari rumah dan satu lagi kabur dari rumah sakit? Siapa yang ngajarin bisa senekat itu dan sampai sekarang juga gak tahu pada kemana Baim dan Maura. Batara ada telepon kamu lagi gak?" Dewi menggeleng."Mas Batara pasti lagi pusing sama dua anak itu, Ma. Mereka itu bar-bar sekali. Berantem terus di rumah, siapa yang tahan coba? Bibik aja pura-pura sabar, kalau nggak dibayar, pasti Maura dan Baim udah dipukuli sama bibik.""Kamu jangan sok tahu, Dewi! Bahaya kalau fitnah. Memukuli anak bisa masuk dalam penjara loh!""Siapa yang mukul?" tanya Dewi balik. "Itu kamu, pukul pakai rotan.""Gak kenceng
"M-Mas Batara, k-kenapa Mas bisa ada di rumah, maksudnya di kamarku? Kapan masuknya?" Dewi menoleh pada mamanya. Bu Sisil mengangkat bahu tidak paham."Cukup tahu saja aku selama ini kamu punya muka dua!" Batara langsung berlari keluar dari kamar Dewi dengan hati yang panas. Jika ia tidak buru-buru keluar, ia khawatir akan berteriak pada Dewi. Namun, satu hal yang ia ketahui bahwa Dewi pembohong. Ia pandai berakting dan benar-benar memperdaya."Mas, tunggu! Mas, tunggu!" Panggil Dewi sambil berteriak, tetapi Batara sama sekali tidak peduli. Ia langsung masuk ke dalam mobil yang ia parkir di dekat pos satpam kosong. Dewi masih mengejarnya, bahkan wanita itu memukul-mukul jendela mobil Batara. Pria itu langsung menekan gas mobil dengan cepat, meninggalkan Dewi yang terus saja berteriak."Sialan! Mas, tunggu! Aku bisa jelasin!" Teriakan Dewi tentu masih didengar oleh Batara. Pria itu tersenyum getir karena ia menyadari sebuah kesalahan. Apakah ini penyebab Kikan mengatakan bahwa Dewi gak
"Ma, Dewi pulang dulu ya, Mas Batara beneran marah sama Dewi. Aduh, mana belum sempat dibelikan mobil." Dewi memberitahu mamanya yang sedang bingung melihat Dewi cemas. "Loh, katanya udah ke showroom, tinggal didatangkan mobil?""Gak tahu, Ma, belum jadi. Ampun, deh, semua gara-gara dua bocil itu nih, jadi runyam! Ck, mana lagi nih, ojek online susah bener dapatnya!""Kenapa naik ojek, kenapa gak taksi online saja?""Lama sampenya kalau naik mobil, kalau naik ojek online jadi cepet, Ma." Tidak lama kemudian, ojek yang ditunggu pun tiba. Dewi langsung naik tanpa pamit lagi pada mamanya. Ia terlalu panik sampai tas belanjaan yang tadi ia sudah siapkan, malah tertinggal di teras. "Agak ngebut ya, Bang," kata Dewi pada pengemudi ojek. Motor pun melaju dalam kecepatan tinggi. "Bang, mampir ke toko buah itu ya." Dewi menunjuk toko buah besar. Ia akan membelikan buah untuk suaminya. Batara sangat suka.buah naga yang berwarna kuning. Harganya sangat mahal, satu kilogram seharga lima ratus
"Kamu dari mana, Galih? Kenapa baru pulang?" Galih menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Rasa lelahnya semakin menjadi setelah ia diusir Kikan sekaligus bertemu Batara. Semangatnya yang ingin rujuk dengan wanita itu, terpaksa ia kubur dalam-dalam. Tidur mungkin ia mendekati Kikan dengan pekerjaan yang tidak jelas. Sudah pasti Kikan memilih lelaki yang berkelas? Ditambah miliknya juga masih sakit. "Galih, ya ampun, mamanya nanya, malah bengong aja! Kamu dari mana pulang ampe malam gini? Emang udah kerja benar?""Dari rumah Kikan, Ma." Mendengar kata Kikan, Bu Diah langsung duduk. Wajahnya seketika berbinar. "Trus, kamu balikan lagi sama dia? Kalian rujuk?" Bu Diah dengan sorot mata penuh harap."Kalian masih bisa rujuk meskipun udah ketuk palu. Orang tinggal nunggu surat cerai kan? Paling bulan depan," ujarnya lagi dengan semangat yang sama. "Kikan akan menikah dengan duda.""Loh, emangnya kamu bukan duda?""Duda nya kaya, Ma, bukan duda miskin kayak saya. Mama masak apa nih?
"Nah, kalau begini kita semua kan jadinya enak dan tenang. Sama-sama toh, Pak Batara nanti dapat enaknya, kami sebagai warga dapat amannya." Bu RT dan warga lainnya pamit pulang sambil tersenyum. Menyisakan Kikan dan Batara yang sama-sama saling kebingungan mau melakukan apa?"Pagarnya kunci aja," kata Batara sambil menggigit bibirnya. Kikan ikut bersemu merah, tetapi tidak terlihat oleh Batara karena sudah malam dan lampu teras rumah Kikan, redup."Papa tidur di sini'kan?" tanya Baim sambil menyeringai senang. Batara mengangguk ."B-bapak tidur di sini?" kali ini Kikan yang bertanya ulang. Batara mengangguk, lalu menuntun Baik untuk masuk ke dalam rumah."Papa, Baim mau sikat gigi dulu.""Tumben?" Batara menatap dengan bingung."Kata Tante Kikan, kalau mau nginep di rumah tante Kikan, harus sikat gigi pagi, sehabis mandi, sama mau tidur. Papa juga harus sikat gigi kalau gak mau tidur di teras." Batara menoleh pada Kikan yang saat ini sudah tertaw geli. Ia padahal bercanda saja melede