"Wi, kamu ini udah jam sembilan pagi, masih tidur aja!" Tegur Bu Sisil, ibu dari Dewi. Wanita itu berdiri di depan pintu kamar putrinya sambil melipat kedua tangan di dada."Enak banget, Ma. Tidur Dewi nyenyak sekali karena gak perlu pusing sama dua anak tiri!" Dewi turun dari ranjang dan langsung keluar. Ia pergi ke dapur untuk mengambil air minum."Kenapa bisa dua anak kecil kabur? Satu kabur dari rumah dan satu lagi kabur dari rumah sakit? Siapa yang ngajarin bisa senekat itu dan sampai sekarang juga gak tahu pada kemana Baim dan Maura. Batara ada telepon kamu lagi gak?" Dewi menggeleng."Mas Batara pasti lagi pusing sama dua anak itu, Ma. Mereka itu bar-bar sekali. Berantem terus di rumah, siapa yang tahan coba? Bibik aja pura-pura sabar, kalau nggak dibayar, pasti Maura dan Baim udah dipukuli sama bibik.""Kamu jangan sok tahu, Dewi! Bahaya kalau fitnah. Memukuli anak bisa masuk dalam penjara loh!""Siapa yang mukul?" tanya Dewi balik. "Itu kamu, pukul pakai rotan.""Gak kenceng
"M-Mas Batara, k-kenapa Mas bisa ada di rumah, maksudnya di kamarku? Kapan masuknya?" Dewi menoleh pada mamanya. Bu Sisil mengangkat bahu tidak paham."Cukup tahu saja aku selama ini kamu punya muka dua!" Batara langsung berlari keluar dari kamar Dewi dengan hati yang panas. Jika ia tidak buru-buru keluar, ia khawatir akan berteriak pada Dewi. Namun, satu hal yang ia ketahui bahwa Dewi pembohong. Ia pandai berakting dan benar-benar memperdaya."Mas, tunggu! Mas, tunggu!" Panggil Dewi sambil berteriak, tetapi Batara sama sekali tidak peduli. Ia langsung masuk ke dalam mobil yang ia parkir di dekat pos satpam kosong. Dewi masih mengejarnya, bahkan wanita itu memukul-mukul jendela mobil Batara. Pria itu langsung menekan gas mobil dengan cepat, meninggalkan Dewi yang terus saja berteriak."Sialan! Mas, tunggu! Aku bisa jelasin!" Teriakan Dewi tentu masih didengar oleh Batara. Pria itu tersenyum getir karena ia menyadari sebuah kesalahan. Apakah ini penyebab Kikan mengatakan bahwa Dewi gak
"Ma, Dewi pulang dulu ya, Mas Batara beneran marah sama Dewi. Aduh, mana belum sempat dibelikan mobil." Dewi memberitahu mamanya yang sedang bingung melihat Dewi cemas. "Loh, katanya udah ke showroom, tinggal didatangkan mobil?""Gak tahu, Ma, belum jadi. Ampun, deh, semua gara-gara dua bocil itu nih, jadi runyam! Ck, mana lagi nih, ojek online susah bener dapatnya!""Kenapa naik ojek, kenapa gak taksi online saja?""Lama sampenya kalau naik mobil, kalau naik ojek online jadi cepet, Ma." Tidak lama kemudian, ojek yang ditunggu pun tiba. Dewi langsung naik tanpa pamit lagi pada mamanya. Ia terlalu panik sampai tas belanjaan yang tadi ia sudah siapkan, malah tertinggal di teras. "Agak ngebut ya, Bang," kata Dewi pada pengemudi ojek. Motor pun melaju dalam kecepatan tinggi. "Bang, mampir ke toko buah itu ya." Dewi menunjuk toko buah besar. Ia akan membelikan buah untuk suaminya. Batara sangat suka.buah naga yang berwarna kuning. Harganya sangat mahal, satu kilogram seharga lima ratus
"Kamu dari mana, Galih? Kenapa baru pulang?" Galih menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Rasa lelahnya semakin menjadi setelah ia diusir Kikan sekaligus bertemu Batara. Semangatnya yang ingin rujuk dengan wanita itu, terpaksa ia kubur dalam-dalam. Tidur mungkin ia mendekati Kikan dengan pekerjaan yang tidak jelas. Sudah pasti Kikan memilih lelaki yang berkelas? Ditambah miliknya juga masih sakit. "Galih, ya ampun, mamanya nanya, malah bengong aja! Kamu dari mana pulang ampe malam gini? Emang udah kerja benar?""Dari rumah Kikan, Ma." Mendengar kata Kikan, Bu Diah langsung duduk. Wajahnya seketika berbinar. "Trus, kamu balikan lagi sama dia? Kalian rujuk?" Bu Diah dengan sorot mata penuh harap."Kalian masih bisa rujuk meskipun udah ketuk palu. Orang tinggal nunggu surat cerai kan? Paling bulan depan," ujarnya lagi dengan semangat yang sama. "Kikan akan menikah dengan duda.""Loh, emangnya kamu bukan duda?""Duda nya kaya, Ma, bukan duda miskin kayak saya. Mama masak apa nih?
"Nah, kalau begini kita semua kan jadinya enak dan tenang. Sama-sama toh, Pak Batara nanti dapat enaknya, kami sebagai warga dapat amannya." Bu RT dan warga lainnya pamit pulang sambil tersenyum. Menyisakan Kikan dan Batara yang sama-sama saling kebingungan mau melakukan apa?"Pagarnya kunci aja," kata Batara sambil menggigit bibirnya. Kikan ikut bersemu merah, tetapi tidak terlihat oleh Batara karena sudah malam dan lampu teras rumah Kikan, redup."Papa tidur di sini'kan?" tanya Baim sambil menyeringai senang. Batara mengangguk ."B-bapak tidur di sini?" kali ini Kikan yang bertanya ulang. Batara mengangguk, lalu menuntun Baik untuk masuk ke dalam rumah."Papa, Baim mau sikat gigi dulu.""Tumben?" Batara menatap dengan bingung."Kata Tante Kikan, kalau mau nginep di rumah tante Kikan, harus sikat gigi pagi, sehabis mandi, sama mau tidur. Papa juga harus sikat gigi kalau gak mau tidur di teras." Batara menoleh pada Kikan yang saat ini sudah tertaw geli. Ia padahal bercanda saja melede
Batara menatap sinis Dewi. Pria itu malah menarik Kikan untuk segera ke parkiran, meski tangannya ditahan oleh istri pertama. "Mas, hei! Wanita ini siapa? Kenapa dipanggil bunda oleh Baim? Mana Maura?" lokasi mobil berhenti memang tidak jauh. Seratus meter saja dari pintu gerbang sekolah dan kaca mobil dibuka saat Maura tidur di dalamnya. "Masuk dulu ya." Batara meminta Kikan untuk masuk. Wanita itu menurut. Biarlah menjadi urusan suaminya dengan istri tua. Astaghfirullah. Hanya itu saja yang bisa disebut Kikan dalam hati atas takdir hidupnya yang berubah tiga ratus enam puluh derajat."Mas, ada Maura juga sama kamu? Bukannya Maura hilang? Ini apa, sih maksudnya? Aku juga mau masuk ke dalam mobil kamu!" Dewi hendak masuk, tetapi langsung ditahan oleh Batara. "Siapa yang ijinkan? Kamu bukan istriku lagi. Pengacara sudah menyiapkan gugatan perceraian. Hari ini akan masuk laporan ke pengadilan agama.""Aku gak mau cerai!""Terserah! Aku sudah talak dan kamu bukan istri lagi!" Batara c
"Apa maksud Ibu? Saya benar-benar gak paham." Mualnya mendadak hilang dan otaknya seperti segar kembali. Bukan karena yang datang orang kaya, tetapi karena tujuan yang disampaikan oleh orang tua Felix itu membuatnya tak nyaman."Lahirkan anak itu, lalu kamu akan saya kasih seratus juta. Seratus juta itu sudah sangat cukup untuk orang kampung seperti kamu'kan?" "Maaf, Bu, tapi saya gak ada niat mau kasih bayi ini pada siapapun. Termasuk lelaki yang sudah membuatnya ada.""Ayolah, Esti, kamu itu sama saja dengan p3lacur'kan? Bedanya mungkin kamu lebih bersih. Kamu juga dibayar Felix. Pikirkan lagi dan aku tunggu jawaban kamu sampai besok. Jika setuju, akan ada pengacara ke sini besok untuk mengurus semua perjanjian. Uang muka akan saya berikan lima belas juta sampai kamu melahirkan. Sisanya jika anak sudah di tangan saya.""Gak usah nunggu besok, Bu, jawaban saya tetap sama!" Resti tertawa sinis."Kamu lagaknya seperti punya harga diri sangat tinggi. Apa tidak malu?" Esti hanya bisa m
PoV Dewi"Kamu di mana, Wi.""Saya masih di sekolah, Ma.""Sekolah siapa? Baim? Memangnya Baim udah ketemu? Kenapa kamu gak cerita?""Udah, Ma, Baim udah ketemu dan ketemu di mana, Dewi gak tahu. Kenapa, Ma?""Ini Mama mau keluar, kunci rumah yang duplikat ada sama kamu kan?""Ada, Ma.""Ya sudah kalau begitu." Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Aku masih duduk di halte sekolah karena bingung mau gimana? Jika aku menyusul ke rumah mas Batara, maka aku pasti gak dikasih masuk sama mamanya, tapi aku benar-benar penasaran siapa wanita yang bersama suamiku?Setelah cukup lama menimbang-nimbang, akhirnya aku pun pulang ke rumah Mas Batara dengan ojek online, tetapi sesuai prediksiku, pagar rumah dalam keadaan terkunci. Aku mencoba membukanya menggunakan kunci gembok duplikat biasa yang aku gunakan, tetapi tidak bisa. Mama mertuaku menggantinya. Alhasil aku tidak bisa masuk rumah.Satu-satunya yang bisa aku tanyakan adalah Baim, tetapi aku harus bagaimana biar Baim mau mengikutiku.
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i