"M-Mas Batara, k-kenapa Mas bisa ada di rumah, maksudnya di kamarku? Kapan masuknya?" Dewi menoleh pada mamanya. Bu Sisil mengangkat bahu tidak paham."Cukup tahu saja aku selama ini kamu punya muka dua!" Batara langsung berlari keluar dari kamar Dewi dengan hati yang panas. Jika ia tidak buru-buru keluar, ia khawatir akan berteriak pada Dewi. Namun, satu hal yang ia ketahui bahwa Dewi pembohong. Ia pandai berakting dan benar-benar memperdaya."Mas, tunggu! Mas, tunggu!" Panggil Dewi sambil berteriak, tetapi Batara sama sekali tidak peduli. Ia langsung masuk ke dalam mobil yang ia parkir di dekat pos satpam kosong. Dewi masih mengejarnya, bahkan wanita itu memukul-mukul jendela mobil Batara. Pria itu langsung menekan gas mobil dengan cepat, meninggalkan Dewi yang terus saja berteriak."Sialan! Mas, tunggu! Aku bisa jelasin!" Teriakan Dewi tentu masih didengar oleh Batara. Pria itu tersenyum getir karena ia menyadari sebuah kesalahan. Apakah ini penyebab Kikan mengatakan bahwa Dewi gak
"Ma, Dewi pulang dulu ya, Mas Batara beneran marah sama Dewi. Aduh, mana belum sempat dibelikan mobil." Dewi memberitahu mamanya yang sedang bingung melihat Dewi cemas. "Loh, katanya udah ke showroom, tinggal didatangkan mobil?""Gak tahu, Ma, belum jadi. Ampun, deh, semua gara-gara dua bocil itu nih, jadi runyam! Ck, mana lagi nih, ojek online susah bener dapatnya!""Kenapa naik ojek, kenapa gak taksi online saja?""Lama sampenya kalau naik mobil, kalau naik ojek online jadi cepet, Ma." Tidak lama kemudian, ojek yang ditunggu pun tiba. Dewi langsung naik tanpa pamit lagi pada mamanya. Ia terlalu panik sampai tas belanjaan yang tadi ia sudah siapkan, malah tertinggal di teras. "Agak ngebut ya, Bang," kata Dewi pada pengemudi ojek. Motor pun melaju dalam kecepatan tinggi. "Bang, mampir ke toko buah itu ya." Dewi menunjuk toko buah besar. Ia akan membelikan buah untuk suaminya. Batara sangat suka.buah naga yang berwarna kuning. Harganya sangat mahal, satu kilogram seharga lima ratus
"Kamu dari mana, Galih? Kenapa baru pulang?" Galih menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Rasa lelahnya semakin menjadi setelah ia diusir Kikan sekaligus bertemu Batara. Semangatnya yang ingin rujuk dengan wanita itu, terpaksa ia kubur dalam-dalam. Tidur mungkin ia mendekati Kikan dengan pekerjaan yang tidak jelas. Sudah pasti Kikan memilih lelaki yang berkelas? Ditambah miliknya juga masih sakit. "Galih, ya ampun, mamanya nanya, malah bengong aja! Kamu dari mana pulang ampe malam gini? Emang udah kerja benar?""Dari rumah Kikan, Ma." Mendengar kata Kikan, Bu Diah langsung duduk. Wajahnya seketika berbinar. "Trus, kamu balikan lagi sama dia? Kalian rujuk?" Bu Diah dengan sorot mata penuh harap."Kalian masih bisa rujuk meskipun udah ketuk palu. Orang tinggal nunggu surat cerai kan? Paling bulan depan," ujarnya lagi dengan semangat yang sama. "Kikan akan menikah dengan duda.""Loh, emangnya kamu bukan duda?""Duda nya kaya, Ma, bukan duda miskin kayak saya. Mama masak apa nih?
"Nah, kalau begini kita semua kan jadinya enak dan tenang. Sama-sama toh, Pak Batara nanti dapat enaknya, kami sebagai warga dapat amannya." Bu RT dan warga lainnya pamit pulang sambil tersenyum. Menyisakan Kikan dan Batara yang sama-sama saling kebingungan mau melakukan apa?"Pagarnya kunci aja," kata Batara sambil menggigit bibirnya. Kikan ikut bersemu merah, tetapi tidak terlihat oleh Batara karena sudah malam dan lampu teras rumah Kikan, redup."Papa tidur di sini'kan?" tanya Baim sambil menyeringai senang. Batara mengangguk ."B-bapak tidur di sini?" kali ini Kikan yang bertanya ulang. Batara mengangguk, lalu menuntun Baik untuk masuk ke dalam rumah."Papa, Baim mau sikat gigi dulu.""Tumben?" Batara menatap dengan bingung."Kata Tante Kikan, kalau mau nginep di rumah tante Kikan, harus sikat gigi pagi, sehabis mandi, sama mau tidur. Papa juga harus sikat gigi kalau gak mau tidur di teras." Batara menoleh pada Kikan yang saat ini sudah tertaw geli. Ia padahal bercanda saja melede
Batara menatap sinis Dewi. Pria itu malah menarik Kikan untuk segera ke parkiran, meski tangannya ditahan oleh istri pertama. "Mas, hei! Wanita ini siapa? Kenapa dipanggil bunda oleh Baim? Mana Maura?" lokasi mobil berhenti memang tidak jauh. Seratus meter saja dari pintu gerbang sekolah dan kaca mobil dibuka saat Maura tidur di dalamnya. "Masuk dulu ya." Batara meminta Kikan untuk masuk. Wanita itu menurut. Biarlah menjadi urusan suaminya dengan istri tua. Astaghfirullah. Hanya itu saja yang bisa disebut Kikan dalam hati atas takdir hidupnya yang berubah tiga ratus enam puluh derajat."Mas, ada Maura juga sama kamu? Bukannya Maura hilang? Ini apa, sih maksudnya? Aku juga mau masuk ke dalam mobil kamu!" Dewi hendak masuk, tetapi langsung ditahan oleh Batara. "Siapa yang ijinkan? Kamu bukan istriku lagi. Pengacara sudah menyiapkan gugatan perceraian. Hari ini akan masuk laporan ke pengadilan agama.""Aku gak mau cerai!""Terserah! Aku sudah talak dan kamu bukan istri lagi!" Batara c
"Apa maksud Ibu? Saya benar-benar gak paham." Mualnya mendadak hilang dan otaknya seperti segar kembali. Bukan karena yang datang orang kaya, tetapi karena tujuan yang disampaikan oleh orang tua Felix itu membuatnya tak nyaman."Lahirkan anak itu, lalu kamu akan saya kasih seratus juta. Seratus juta itu sudah sangat cukup untuk orang kampung seperti kamu'kan?" "Maaf, Bu, tapi saya gak ada niat mau kasih bayi ini pada siapapun. Termasuk lelaki yang sudah membuatnya ada.""Ayolah, Esti, kamu itu sama saja dengan p3lacur'kan? Bedanya mungkin kamu lebih bersih. Kamu juga dibayar Felix. Pikirkan lagi dan aku tunggu jawaban kamu sampai besok. Jika setuju, akan ada pengacara ke sini besok untuk mengurus semua perjanjian. Uang muka akan saya berikan lima belas juta sampai kamu melahirkan. Sisanya jika anak sudah di tangan saya.""Gak usah nunggu besok, Bu, jawaban saya tetap sama!" Resti tertawa sinis."Kamu lagaknya seperti punya harga diri sangat tinggi. Apa tidak malu?" Esti hanya bisa m
PoV Dewi"Kamu di mana, Wi.""Saya masih di sekolah, Ma.""Sekolah siapa? Baim? Memangnya Baim udah ketemu? Kenapa kamu gak cerita?""Udah, Ma, Baim udah ketemu dan ketemu di mana, Dewi gak tahu. Kenapa, Ma?""Ini Mama mau keluar, kunci rumah yang duplikat ada sama kamu kan?""Ada, Ma.""Ya sudah kalau begitu." Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Aku masih duduk di halte sekolah karena bingung mau gimana? Jika aku menyusul ke rumah mas Batara, maka aku pasti gak dikasih masuk sama mamanya, tapi aku benar-benar penasaran siapa wanita yang bersama suamiku?Setelah cukup lama menimbang-nimbang, akhirnya aku pun pulang ke rumah Mas Batara dengan ojek online, tetapi sesuai prediksiku, pagar rumah dalam keadaan terkunci. Aku mencoba membukanya menggunakan kunci gembok duplikat biasa yang aku gunakan, tetapi tidak bisa. Mama mertuaku menggantinya. Alhasil aku tidak bisa masuk rumah.Satu-satunya yang bisa aku tanyakan adalah Baim, tetapi aku harus bagaimana biar Baim mau mengikutiku.
Aku membuka mata perlahan. Pandangan masih belum sepenuhnya jelas. Masih samar-samar, tetapi aku mengenali di mana saat ini aku berada. Ya, aku seperti tengah berada di bilik rumah sakit. Berarti aku pingsan dan terluka sehingga dibawa ke sini. Ruangannya nampak bersih. Apakah aku ditempatkan di kamar VIP oleh mas Batara? Apakah ia tidak tega denganku? Hal terakhir yang aku ingat adalah saat aku menarik rambut istri muda suamiku dan tidak lama kemudian ada benda besar jatuh di kepalaku. Setelah itu aku tidak ingat lagi. Paling tidak aku bisa sedikit beristirahat dengan tenang jika dirawat di VIP. Namun, di mana mas Batara?Aku menekan bel panggilan suster. Tidak lama, seorang suster datang menghampiriku."Oh, Ibu sudah sadar. Gimana, Bu? Apa masih pusing?""Masih, Sus, sedikit. Saya juga lapar. Ini kamar VIP'kan? Sepi sekali rasanya saya sendiri di sini. Bisa tolong nyalakan televisi, Sus?" suster itu tersenyum tipis."Ibu Dewi berada di kelas tiga, bukan VIP. Kelas tiga berisi empat