Batara menatap sinis Dewi. Pria itu malah menarik Kikan untuk segera ke parkiran, meski tangannya ditahan oleh istri pertama. "Mas, hei! Wanita ini siapa? Kenapa dipanggil bunda oleh Baim? Mana Maura?" lokasi mobil berhenti memang tidak jauh. Seratus meter saja dari pintu gerbang sekolah dan kaca mobil dibuka saat Maura tidur di dalamnya. "Masuk dulu ya." Batara meminta Kikan untuk masuk. Wanita itu menurut. Biarlah menjadi urusan suaminya dengan istri tua. Astaghfirullah. Hanya itu saja yang bisa disebut Kikan dalam hati atas takdir hidupnya yang berubah tiga ratus enam puluh derajat."Mas, ada Maura juga sama kamu? Bukannya Maura hilang? Ini apa, sih maksudnya? Aku juga mau masuk ke dalam mobil kamu!" Dewi hendak masuk, tetapi langsung ditahan oleh Batara. "Siapa yang ijinkan? Kamu bukan istriku lagi. Pengacara sudah menyiapkan gugatan perceraian. Hari ini akan masuk laporan ke pengadilan agama.""Aku gak mau cerai!""Terserah! Aku sudah talak dan kamu bukan istri lagi!" Batara c
"Apa maksud Ibu? Saya benar-benar gak paham." Mualnya mendadak hilang dan otaknya seperti segar kembali. Bukan karena yang datang orang kaya, tetapi karena tujuan yang disampaikan oleh orang tua Felix itu membuatnya tak nyaman."Lahirkan anak itu, lalu kamu akan saya kasih seratus juta. Seratus juta itu sudah sangat cukup untuk orang kampung seperti kamu'kan?" "Maaf, Bu, tapi saya gak ada niat mau kasih bayi ini pada siapapun. Termasuk lelaki yang sudah membuatnya ada.""Ayolah, Esti, kamu itu sama saja dengan p3lacur'kan? Bedanya mungkin kamu lebih bersih. Kamu juga dibayar Felix. Pikirkan lagi dan aku tunggu jawaban kamu sampai besok. Jika setuju, akan ada pengacara ke sini besok untuk mengurus semua perjanjian. Uang muka akan saya berikan lima belas juta sampai kamu melahirkan. Sisanya jika anak sudah di tangan saya.""Gak usah nunggu besok, Bu, jawaban saya tetap sama!" Resti tertawa sinis."Kamu lagaknya seperti punya harga diri sangat tinggi. Apa tidak malu?" Esti hanya bisa m
PoV Dewi"Kamu di mana, Wi.""Saya masih di sekolah, Ma.""Sekolah siapa? Baim? Memangnya Baim udah ketemu? Kenapa kamu gak cerita?""Udah, Ma, Baim udah ketemu dan ketemu di mana, Dewi gak tahu. Kenapa, Ma?""Ini Mama mau keluar, kunci rumah yang duplikat ada sama kamu kan?""Ada, Ma.""Ya sudah kalau begitu." Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Aku masih duduk di halte sekolah karena bingung mau gimana? Jika aku menyusul ke rumah mas Batara, maka aku pasti gak dikasih masuk sama mamanya, tapi aku benar-benar penasaran siapa wanita yang bersama suamiku?Setelah cukup lama menimbang-nimbang, akhirnya aku pun pulang ke rumah Mas Batara dengan ojek online, tetapi sesuai prediksiku, pagar rumah dalam keadaan terkunci. Aku mencoba membukanya menggunakan kunci gembok duplikat biasa yang aku gunakan, tetapi tidak bisa. Mama mertuaku menggantinya. Alhasil aku tidak bisa masuk rumah.Satu-satunya yang bisa aku tanyakan adalah Baim, tetapi aku harus bagaimana biar Baim mau mengikutiku.
Aku membuka mata perlahan. Pandangan masih belum sepenuhnya jelas. Masih samar-samar, tetapi aku mengenali di mana saat ini aku berada. Ya, aku seperti tengah berada di bilik rumah sakit. Berarti aku pingsan dan terluka sehingga dibawa ke sini. Ruangannya nampak bersih. Apakah aku ditempatkan di kamar VIP oleh mas Batara? Apakah ia tidak tega denganku? Hal terakhir yang aku ingat adalah saat aku menarik rambut istri muda suamiku dan tidak lama kemudian ada benda besar jatuh di kepalaku. Setelah itu aku tidak ingat lagi. Paling tidak aku bisa sedikit beristirahat dengan tenang jika dirawat di VIP. Namun, di mana mas Batara?Aku menekan bel panggilan suster. Tidak lama, seorang suster datang menghampiriku."Oh, Ibu sudah sadar. Gimana, Bu? Apa masih pusing?""Masih, Sus, sedikit. Saya juga lapar. Ini kamar VIP'kan? Sepi sekali rasanya saya sendiri di sini. Bisa tolong nyalakan televisi, Sus?" suster itu tersenyum tipis."Ibu Dewi berada di kelas tiga, bukan VIP. Kelas tiga berisi empat
PoV3Langit begitu gelap disertai turunnya hujan cukup deras. Galih masih berada di kantor ekspedisi, tempat ia mulai bekerja selama satu Minggu ini. Ia bekerja sebagai staf administrasi yang memiliki meja kerja sendiri, meskipun tetap satu ruangan dengan yang lainnya. Satu Minggu bekerja, Galih merasa hidupnya kembali bersemangat. Gajinya memang tidak besar jika dibandingkan jaman ia masih menjabat sebagai manajer, tetapi gajinya cukup untuk ongkos, makan, dan mencicil motor seken. Galuh sudah memakai jas hujannya saat mamanya menghampiri di teras. "Galih, kamu mau Mama kenalin dengan anak teman Mama?" tanya Bu Diah pada Galih. "Maksud Mama mau menjodohkan Galih?" Bu Diah mengangguk."Boleh aja, sih, tapi saya baru kerja. Apa perempuan itu mau kalau Galih cuma staf ekspedisi?""Pasti mau. Anak temen Mama itu, janda tanpa anak. Saat ini bekerja jualan online di rumah." Ekspresi Galih langsung berubah. "Ma, Kikan itu ada jabatannya di kantor. Kalau mau jodohkan Galih, paling nggak
Uang sebesar lima puluh juta sudah ada di tangannya. Uang itu ia terima dari orang tua Felix yang akan ia gunakan untuk melunasi biaya operasi bapaknya yang kecelakaan. Lagi-lagi ia dihadapkan pada pilihan sulit karena keluarga yang ia sayangi, tetapi ia bisa apa? Jika ia tidak menyetujui perjanjian itu dan syarat dari Resti, maka mungkin bapaknya tidak akan dibolehkan keluar dari rumah sakit. "Bapak udah enakan?" tanya Esti yang baru saja balik dari apotek untuk menebus obat. Ia membawakan buah potong yang ia beli di luar rumah sakit. "Udah, cuma sesekali masih sakit kepala. Kata dokter gak papa. Efek jahitan ini." Esti tersenyum, lalu memberikan potongan buah itu pada bapaknya. "Bapak kapan boleh pulang, Es? Udah lama banget Bapak di sini. Kayaknya udah delapan hari ya?" Esti mengangguk."Iya, Pak, hari ini delapan hari.""Makin lama Bapak di sini, makin banyak biaya yang harus kamu bayarkan." Esti tersenyum."Gak papa, uangnya ada, Pak." Pak Ramdan menghela napas."Jadi keputus
PoV Batara"Anak-anak sudah tidur?" tanyaku pada Kikan begitu selesai melipat sajadah. Aku terlambat solat isya tadi karena meeting dengan investor luar sampai jam delapan. Aku baru tiba di rumah jam sembilan lewat lima belas menit. "Sudah, Pak, baru saja," jawab istriku. Aku mengulum senyum. "Kenapa masih panggil bapak sih? Panggil mas atau ayang atau beib atau apalah gitu, Bun!" Kikan mengulum senyum. Ia duduk di depan cermin sambil menyisir rambutnya. "Biar saya!" Aku mengambil sisir itu, lalu menyisir rambut panjang Kikan yang lebat dan hitam. Saat masih satu kantor denganku enam bulan lalu, rambut istriku pendek, tetapi panjang rupanya lebih cocok dengan Kikan dan lebih cantik. Aku mencium rambutnya. Aroma samponya sangat aku sukai. "Ada apa, Mas?" aku tersenyum lebar."Nah, gitu, panggil mas gak papa, jangan bapak! Saya senang kamu di sini." Aku masih terus menyisir rambutnya yang panjang tergerai. "Memangnya saya mau ke mana?""Oh, iya, kamu bulan ini belum bayar kontrakan
"Pusing ya?" tanya Kikan dengan seringainya. Aku mengangguk lemah tak berdaya. Bisa-bisa udah mau sampai finish, anak-anak malah bangun. Gimana aku gak str3s? Kalian pernah begini kan? Pasti tahu rasanya dan sejak tadi Kikan hanya senyam-senyum saja seperti meledekku. Rambut kamu sama-sama basah, tetapi basah yang sia-sia. Maura dan Baim tidak mau tidur di kamar mereka. Malah jadi pindah tidur di kamarku dan Kikan. Aku sampai tidak bisa tidur karena menunggu anak-anak pulas, tetapi saat aku memindahkan mereka, baru juga aku menutup pintu kamar, dua anakku sudah bangun lagi dan minta pindah lagi. "Perasaan tadi kita tidur di kamar papa deh, kenapa udah di kamar kita ya, Dek? Ayo, kita pindah ke kamar papa dan bunda lagi. Enak saja papa dan bunda mau berduaan tanpa anak!" Aku mendengar gerutuan Baim saat dengan mata kantuknya, berjalan menggandeng Maura kembali ke kamarku. Hingga akhirnya aku menyerah dan tidur. Tidur ayam yang tidak pulas."Bunda masakannya enak," puji Maura saat men