"Kikan, kamu ... aku minta maaf soal..." aku tak sanggup meneruskan kalimat ini. Kikan masih terdiam setelah menerima telepon dari Dewi. Kabar Dewi hamil tentu saja membuatku syok, apalagi Kikan. Kami baru saja memulai untuk menjalani rumah tangga seperti rumah tangga orang lain, tetapi sudah ada saja ujian yang datang menghampiri."Kita bicara setelah kita membersihkan diri yuk!" Aku pun turun dari ranjang. Aku juga membantu Kikan untuk turun dan berjalan ke kamar mandi. "Mas, aku gak akan kamu tinggalin'kan?" rasanya aku ditampar begitu keras mendengar pertanyaan dari istriku. Kami sudah selesai bersih-bersih dan memakai pakaian lengkap lagi. "Siapa yang mau ninggalin kamu, Kikan?" jawabku yakin. Ya, tentu saja aku yakin karena aku memang sudah sangat mencintai Kikan. Bahkan dari sejak awal Kikan punya masalah dengan suaminya. "Kita akan bicarakan baik ya gimana masalah ini ya? Aku lapar. Kita makan ya." Kikan mengangguk. Ini sudah jam satu siang dan perutku sejak tadi berbunyi m
PoV Kikan"Ya ampun, Mama masih gak percaya dengan kabar ini! Kok bisa sih hamil anak kamu? A-apa kamu yakin itu anak kamu?!" Ibu mertuaku menatap mas Batara tanpa berkedip. Jelas ia marah dan tidak terima karena ibu mertuaku tidak suka dengan Dewi. "Mama menyesal membiarkan kamu menikahi Dewi waktu itu. Ternyata dia musuh dalam selimut. Dia menikah hanya ingin harta kamu dan sekarang dia menjerat kamu, memenjarakan kamu dengan kabar kehamilannya. Kenapa kamu gak ajak dia periksa ke dokter untuk memastikan? Bisa saja dia pura-pura hamil. Biar dokter kandungan langganan almarhum Mutia yang memeriksa. Dokternya Baim dan Maura." Mas Batara menoleh ke arahku. Raut wajah tidak tega sangat jelas terlihat di sana."Jika saya harus pergi ke dokter kandungan, maka saya mau Kikan ikut, Ma.""Oh, iya, tentu saja, Mama juga mau ikut. Bukan Mama antusias karena Dewi hamil, tetapi karena mau memastikan dia bohong atau tidak."Malam itu, akhirnya kami tidur di rumah mama. Anak-anak sudah tidur seja
Bolehkan aku menganggap istri tua mas Batara adalah pelakor? Wanita itu terus saja mencoba mengirimkan pesan pada suamiku. Jika nomornya aku blokir, maka ia pun akan mengganti dengan nomor lain. Dewi sangat membuatku kesal. Memang aku tidak perlu khawatir akan suamiku, tetapi batu yang keras, jika terus saja ditetesin air, maka bisa berlubang bukan? Aku tidak mau perasaan mas Batara jadi terkikis karena Dewi yang terus menganggu. Kring! Kring!Lamunanku buyar saat ponselku berdering. Ada nama Fano di layar ponselku. Fano adalah asisten mas Batara yang berjenis kelamin lelaki. Aku memang yang minta agar suamiku memiliki asisten lelaki saja, jangan perempuan. "Halo, Fano, gimana? Ada kabar apa?""Halo, Bu, di kantor ada Bu Dewi.""Apa? Mau apa Dewi ke kantor mas Batara?""Gak tahu, Bu, tapi bawa rantang. Mungkin bawain bekal makan siang." Aku menggeram. Untunglah mas Batara puasa hari ini, sehingga bisa aku pastikan suamiku tidak akan menyentuh masakan Dewi. Bisa saja makanan itu men
"Biar aku yang temui Dewi, Mas. Kamu di dalam saja ya." Mas Batara mengangguk patuh. "Maaf, Pak Arman, ini ada iklan sedikit, Pak. Silakan lanjut ngobrolnya di belakang sama suami saya ya," kataku pada Pak Arman. Aku pun bergegas menuju ruang tamu. Pintu rumah rupanya ditutup oleh bibik, sehingga wanita bernama Dewi itu hanya bisa duduk di teras rumahku. "Mau apa?" tanyaku ketus. Ia bangun dari duduknya dengan terkejut. Mungkin ia tidak menyangka aku yang menemuinya ."Saya mau bicara dengan suami saya?" "Suami Anda atau suami saya? Tolong diingat lagi statusnya ya, Mbak. Suami saya gak ada. Masih di luar. Ada perlu apa? Sampaikan saja langsung pada saya!" "Heh, dasar pelakor gak tahu diri! Saya tahu kamu yang menggoda suami saya. Kamu yang menghasut anak-anak agar benci pada saya. Kamu adalah ular sebenarnya!" Maduku ini begitu berapi-api memakiku, tetapi aku tidak akan terpancing, karena aku bukan wanita bodoh."Saya mau masuk!" Ia mencoba masuk, tetapi berhasil aku tahan. Bahka
PoV 3"Bunda, di perut Bunda kapan ada adek bayinya?" tanya Maura saat gadis kecil itu baru saja selesai berpakaian. Hari ini hari Sabtu dan Kikan menemani anak-anak sambungnya pergi berenang ke waterpark. Kikan yang tengah menyisir rambut Maura, langsung berhenti sejenak. "Doakan ya, Sayang," jawab Kikan pelan. Jauh di dalam hatinya pun ingin sekali segera memiliki anak dari Batara, tetapi sampai empat bulan setengah ia menikah dengan suaminya, belum ada tanda-tanda ia hamil. Hanya datang bulannya saja jadi tidak beraturan. "Maura selalu doain kok. Maura mau punya adek ya Allah. Maura doanya gitu." Kikan tersenyum, lalu mencium pipi gembul Maura. "Aamiin, semoga doanya Maura dan abang Baim terkabul ya.""Bunda, ini kembaliannya." Baim datang bersama pelayan cafe. Mereka sedang berada di foodcourt kolam renang untuk menyantap makanan. Anak-anaknya selalu saja kelaparan hebat bila selesai berenang. "Makasih, Baim. Ayo, dimakan nasi goreng dan juga diminum tehnya." Keduanya makan d
Esti memandang amplop coklat yang sudah ada di tangannya. Air matanya masih belum berhenti mengalir. Meski bayi yang ia kandung tidak ia harapkan, tetapi nalurinya sebagai seorang ibu membuatnya begitu berat melepas buah hati yang bahkan belum ia lihat wajahnya sama sekali. Untungnya bapaknya sempat memotret cucunya saat sedang dibersihkan bidan tadi dan saat Pak Ramdan pura-pura membeli minum, ia kembali memotret cucunya dalam keadaan yang sudah rapi dan dibedong. Cucunya lelaki dan ia pun sangat senang. Namun, takdir yang harus ia dan putrinya jalani saat ini sangat menyedihkan. Pria itu juga tidak bisa menyalahkan Esti sepenuhnya karena putrinya tidak punya pilihan lain mengambil jalan yang salah. Bukan cuma Esti yang dilanda sedih, bapaknya pun sama. Pak Ramdan memandangi ponselnya dengan sedih. Mobil yang mereka tumpangi saat ini sedang membawa mereka pulang ke rumah, tetapi hati ayah dan anak itu sedang dilanda kedukaan. Meski uang ada di tangan mereka, tetapi bayi lelaki itu
Galih masih berada di salah satu rumah sakit untuk bertemu dengan dokter yang saat ini sedang mengobati sakitnya. Walau berobat bukan dengan asuransi bonafit, tetapi paling tidak ia bisa berobat gratis tanpa membayar dokter dan juga resep obat. Meski sesekali ada vitamin yang harus ia tebus dan tidak di cover BPJS, tetapi masih jauh lebih ringan dibandingkan jika ia harus mengeluarkan biaya dari dompet sendiri. "Bagaimana, Dok?" tanya Galih cemas. "Masih susah tidur?" "Masih, Dok, sesekali saya masih tidur tapi cepat terbangun. Tidurnya gak lelap, gak nyenyak kayak biasanya. Udahannya lemes dan gak semangat. Padahal vitamin dan saran dokter udah saya kerjakan.""Olah raganya gimana?" "Olah raga paling jalan pagi aja, Dok." "Saya rujuk ke penyakit dalam ya, Mas. Diperiksa lagi lebih lanjut sekalian cek fungsi ginjal. Sepengatahuan saya, kejantanan Mas tidak kunjung kembali bukan karena kecelakaan waktu itu saja, tetapi bisa banyak faktor. Seperti makan yang tidak sehat, minuman ka
"Sayang, kenapa? Muka kamu pucat banget. Kamu sakit?" tanya Batara saat melihat istrinya kembali meringkuk di balik selimut setelah solat subuh. Pria itu menaruh punggung tangannya di kening Kikan dan merasakan suhu tubuh istrinya hangat. "Lemes, Mas, masuk angin kayaknya. Udah lama badannya gak diajak lembur. Ini sekalinya lembur, malah langsung masuk angin.""Aku kerokin ya. Tunggu, aku ambil minyak gosok di belakang." Batara menaruh pecinya di gantungan, lalu ia bergegas keluar kamar. Pria itu kembali lagi dengan minyak gosok dan juga air putih hangat di tangannya."Sini, bangun dulu!" Batara membantu Kikan untuk duduk. "Kerokan loh, Mas, jangan malah nanti yang lain. Istrinya beneran gak enak badan ini ya." Batara tertawa mendengar curahan hati istrinya."Iya, Cantik, Sayangku, aku cuma kerokin aja, kecuali kalau nanti di pertengahan jalan ia berubah pikiran." Kikan berdecak sebal, tetapi sang Suami terlanjur mengangkat baju di bagian punggung, lalu mulai mengoleskan minyak goso