Aku membuka mata perlahan. Pandangan masih belum sepenuhnya jelas. Masih samar-samar, tetapi aku mengenali di mana saat ini aku berada. Ya, aku seperti tengah berada di bilik rumah sakit. Berarti aku pingsan dan terluka sehingga dibawa ke sini. Ruangannya nampak bersih. Apakah aku ditempatkan di kamar VIP oleh mas Batara? Apakah ia tidak tega denganku? Hal terakhir yang aku ingat adalah saat aku menarik rambut istri muda suamiku dan tidak lama kemudian ada benda besar jatuh di kepalaku. Setelah itu aku tidak ingat lagi. Paling tidak aku bisa sedikit beristirahat dengan tenang jika dirawat di VIP. Namun, di mana mas Batara?Aku menekan bel panggilan suster. Tidak lama, seorang suster datang menghampiriku."Oh, Ibu sudah sadar. Gimana, Bu? Apa masih pusing?""Masih, Sus, sedikit. Saya juga lapar. Ini kamar VIP'kan? Sepi sekali rasanya saya sendiri di sini. Bisa tolong nyalakan televisi, Sus?" suster itu tersenyum tipis."Ibu Dewi berada di kelas tiga, bukan VIP. Kelas tiga berisi empat
PoV3Langit begitu gelap disertai turunnya hujan cukup deras. Galih masih berada di kantor ekspedisi, tempat ia mulai bekerja selama satu Minggu ini. Ia bekerja sebagai staf administrasi yang memiliki meja kerja sendiri, meskipun tetap satu ruangan dengan yang lainnya. Satu Minggu bekerja, Galih merasa hidupnya kembali bersemangat. Gajinya memang tidak besar jika dibandingkan jaman ia masih menjabat sebagai manajer, tetapi gajinya cukup untuk ongkos, makan, dan mencicil motor seken. Galuh sudah memakai jas hujannya saat mamanya menghampiri di teras. "Galih, kamu mau Mama kenalin dengan anak teman Mama?" tanya Bu Diah pada Galih. "Maksud Mama mau menjodohkan Galih?" Bu Diah mengangguk."Boleh aja, sih, tapi saya baru kerja. Apa perempuan itu mau kalau Galih cuma staf ekspedisi?""Pasti mau. Anak temen Mama itu, janda tanpa anak. Saat ini bekerja jualan online di rumah." Ekspresi Galih langsung berubah. "Ma, Kikan itu ada jabatannya di kantor. Kalau mau jodohkan Galih, paling nggak
Uang sebesar lima puluh juta sudah ada di tangannya. Uang itu ia terima dari orang tua Felix yang akan ia gunakan untuk melunasi biaya operasi bapaknya yang kecelakaan. Lagi-lagi ia dihadapkan pada pilihan sulit karena keluarga yang ia sayangi, tetapi ia bisa apa? Jika ia tidak menyetujui perjanjian itu dan syarat dari Resti, maka mungkin bapaknya tidak akan dibolehkan keluar dari rumah sakit. "Bapak udah enakan?" tanya Esti yang baru saja balik dari apotek untuk menebus obat. Ia membawakan buah potong yang ia beli di luar rumah sakit. "Udah, cuma sesekali masih sakit kepala. Kata dokter gak papa. Efek jahitan ini." Esti tersenyum, lalu memberikan potongan buah itu pada bapaknya. "Bapak kapan boleh pulang, Es? Udah lama banget Bapak di sini. Kayaknya udah delapan hari ya?" Esti mengangguk."Iya, Pak, hari ini delapan hari.""Makin lama Bapak di sini, makin banyak biaya yang harus kamu bayarkan." Esti tersenyum."Gak papa, uangnya ada, Pak." Pak Ramdan menghela napas."Jadi keputus
PoV Batara"Anak-anak sudah tidur?" tanyaku pada Kikan begitu selesai melipat sajadah. Aku terlambat solat isya tadi karena meeting dengan investor luar sampai jam delapan. Aku baru tiba di rumah jam sembilan lewat lima belas menit. "Sudah, Pak, baru saja," jawab istriku. Aku mengulum senyum. "Kenapa masih panggil bapak sih? Panggil mas atau ayang atau beib atau apalah gitu, Bun!" Kikan mengulum senyum. Ia duduk di depan cermin sambil menyisir rambutnya. "Biar saya!" Aku mengambil sisir itu, lalu menyisir rambut panjang Kikan yang lebat dan hitam. Saat masih satu kantor denganku enam bulan lalu, rambut istriku pendek, tetapi panjang rupanya lebih cocok dengan Kikan dan lebih cantik. Aku mencium rambutnya. Aroma samponya sangat aku sukai. "Ada apa, Mas?" aku tersenyum lebar."Nah, gitu, panggil mas gak papa, jangan bapak! Saya senang kamu di sini." Aku masih terus menyisir rambutnya yang panjang tergerai. "Memangnya saya mau ke mana?""Oh, iya, kamu bulan ini belum bayar kontrakan
"Pusing ya?" tanya Kikan dengan seringainya. Aku mengangguk lemah tak berdaya. Bisa-bisa udah mau sampai finish, anak-anak malah bangun. Gimana aku gak str3s? Kalian pernah begini kan? Pasti tahu rasanya dan sejak tadi Kikan hanya senyam-senyum saja seperti meledekku. Rambut kamu sama-sama basah, tetapi basah yang sia-sia. Maura dan Baim tidak mau tidur di kamar mereka. Malah jadi pindah tidur di kamarku dan Kikan. Aku sampai tidak bisa tidur karena menunggu anak-anak pulas, tetapi saat aku memindahkan mereka, baru juga aku menutup pintu kamar, dua anakku sudah bangun lagi dan minta pindah lagi. "Perasaan tadi kita tidur di kamar papa deh, kenapa udah di kamar kita ya, Dek? Ayo, kita pindah ke kamar papa dan bunda lagi. Enak saja papa dan bunda mau berduaan tanpa anak!" Aku mendengar gerutuan Baim saat dengan mata kantuknya, berjalan menggandeng Maura kembali ke kamarku. Hingga akhirnya aku menyerah dan tidur. Tidur ayam yang tidak pulas."Bunda masakannya enak," puji Maura saat men
"Kikan, kamu ... aku minta maaf soal..." aku tak sanggup meneruskan kalimat ini. Kikan masih terdiam setelah menerima telepon dari Dewi. Kabar Dewi hamil tentu saja membuatku syok, apalagi Kikan. Kami baru saja memulai untuk menjalani rumah tangga seperti rumah tangga orang lain, tetapi sudah ada saja ujian yang datang menghampiri."Kita bicara setelah kita membersihkan diri yuk!" Aku pun turun dari ranjang. Aku juga membantu Kikan untuk turun dan berjalan ke kamar mandi. "Mas, aku gak akan kamu tinggalin'kan?" rasanya aku ditampar begitu keras mendengar pertanyaan dari istriku. Kami sudah selesai bersih-bersih dan memakai pakaian lengkap lagi. "Siapa yang mau ninggalin kamu, Kikan?" jawabku yakin. Ya, tentu saja aku yakin karena aku memang sudah sangat mencintai Kikan. Bahkan dari sejak awal Kikan punya masalah dengan suaminya. "Kita akan bicarakan baik ya gimana masalah ini ya? Aku lapar. Kita makan ya." Kikan mengangguk. Ini sudah jam satu siang dan perutku sejak tadi berbunyi m
PoV Kikan"Ya ampun, Mama masih gak percaya dengan kabar ini! Kok bisa sih hamil anak kamu? A-apa kamu yakin itu anak kamu?!" Ibu mertuaku menatap mas Batara tanpa berkedip. Jelas ia marah dan tidak terima karena ibu mertuaku tidak suka dengan Dewi. "Mama menyesal membiarkan kamu menikahi Dewi waktu itu. Ternyata dia musuh dalam selimut. Dia menikah hanya ingin harta kamu dan sekarang dia menjerat kamu, memenjarakan kamu dengan kabar kehamilannya. Kenapa kamu gak ajak dia periksa ke dokter untuk memastikan? Bisa saja dia pura-pura hamil. Biar dokter kandungan langganan almarhum Mutia yang memeriksa. Dokternya Baim dan Maura." Mas Batara menoleh ke arahku. Raut wajah tidak tega sangat jelas terlihat di sana."Jika saya harus pergi ke dokter kandungan, maka saya mau Kikan ikut, Ma.""Oh, iya, tentu saja, Mama juga mau ikut. Bukan Mama antusias karena Dewi hamil, tetapi karena mau memastikan dia bohong atau tidak."Malam itu, akhirnya kami tidur di rumah mama. Anak-anak sudah tidur seja
Bolehkan aku menganggap istri tua mas Batara adalah pelakor? Wanita itu terus saja mencoba mengirimkan pesan pada suamiku. Jika nomornya aku blokir, maka ia pun akan mengganti dengan nomor lain. Dewi sangat membuatku kesal. Memang aku tidak perlu khawatir akan suamiku, tetapi batu yang keras, jika terus saja ditetesin air, maka bisa berlubang bukan? Aku tidak mau perasaan mas Batara jadi terkikis karena Dewi yang terus menganggu. Kring! Kring!Lamunanku buyar saat ponselku berdering. Ada nama Fano di layar ponselku. Fano adalah asisten mas Batara yang berjenis kelamin lelaki. Aku memang yang minta agar suamiku memiliki asisten lelaki saja, jangan perempuan. "Halo, Fano, gimana? Ada kabar apa?""Halo, Bu, di kantor ada Bu Dewi.""Apa? Mau apa Dewi ke kantor mas Batara?""Gak tahu, Bu, tapi bawa rantang. Mungkin bawain bekal makan siang." Aku menggeram. Untunglah mas Batara puasa hari ini, sehingga bisa aku pastikan suamiku tidak akan menyentuh masakan Dewi. Bisa saja makanan itu men