"Kamu ngapain melamun aja di kamar? Cari kerja sama, Galih! Kamu di rumah ini yang sarjana, tapi kamu yang paling males!" Wanita itu terus mengomel pada sang Putra yang sejak balik ke rumahnya hanya bisa diam; mengurung diri di kamar. Tatapan pria itu kosong dan juga tersiksa. Wanita yang ia cintai malah menyakitinya begitu dalam. Meskipun alasannya untuk menyelamatkannya dari penjara, tetap saja salah. "Galih, kamu mau sampai kapan terpuruk begini? Gak akan balik lagi keadaan. Yang benar itu, kamu cukur rambut, janggut, mandi bersih-bersih, terus melamar kerja sana. Jadi apa saja yang penting halal. Mama cuma ngandelin pensiun papa kamu aja paling bisa untuk makan saja. Jeri pun jadi cari uang sendiri sambil kuliah sejak kamu gak support dia lagi. Ayo, bangkit! Gak usah mikirin Esti, apalagi Kikan. Dua wanita itu anggap saja masa lalu kamu." Seandainya bisa semudah mamanya bicara, pasti ia mau, tetapi ia sudah terlanjur cinta begitu dalam pada Esti, bahkan sampai ia menghancurkan r
"Permisi, apa Bu Kikan-nya ada?" tanya Galih pada staf front office yang tengah berjaga. "Bu Kikan?" Galih mengangguk."Apa Bapak sudah buat janji?""Sudah, bilang saja dari Galih.""Oh, tunggu, saya ciba konfirmasi sama asisten Bu Kikan ya." Petugas itu mengangkat gagang telepon."Halo, selamat pagi. Apa Bu Kikan-nya ada, Mbak Mela. Ada tamu untuk Bu Kikan.""Siapa ya? Bu Kikan hari ini tidak ada jadwal janji temu dengan orang lain.""Namanya Galih." "Tidak ada janji dengan nama Galih. Suruh balik dua atau tiga hari lagi aja karena Bu Kikan lagi gak ada.""Oke Mbak Mela, terima kasih." "Gak ada ya?" tanya Galih langsung pada petugas wanita itu."Iya, Bu Kikan sedang tidak di tempat, Pak. Bapak bisa ke sini tiga tau empat hari lagi." Wajah Galih nampak kecewa. "Ya sudah kalau begitu, terima kasih." Galih pun keluar dari kantor Kikan. Sesampainya di post keluar, ia bingung harus ke mana. Tidak punya tujuan dan uang juga pas-pasan. Galih menepi di sebuah halte yang tidak jauh dari k
Kikan yang memang sedang menguping pembicaraan Batara, langsung terkejut begitu mendengar kalimat bahwa Maura hilang. Anak cantik berusia tiga tahun tiga bulan itu masih terlalu kecil dan kenapa bisa sampai kabur? Kikan ingin sekali keluar dari biliknya untuk menemui Batara, tetapi ia masih menahan diri. Ia belum punya cukup bukti untuk melemparkan wanita yang tega melukai Baim dan mengancam anak kecil itu. Memang bukan bagian dari urusannya, tetapi sebagai sesama manusia, apalagi ia tahu betul bagaimana baiknya Batara dan lucunya kedua anak duda itu, tentu saja ia tidak tega. "Baim, Papa keluar sebentar ya. Sebentar saja. Kamu tunggu di sini. Nanti Papa titipkan suster ya." Baik tidak menyahut. Anak kecil itu diam saja tanpa tahu harus berkomentar apa.Suara langkah kaki Batara keluar dari kamar perawatan. Seiring pintu yang tertutup. Kikan mengatur napas, merapikan sedikit rambutnya. Sejak berada satu kamar dengan Baim, ia merasa lebih sehat dan segar, apalagi ia mengetahui bagaim
"Bagaimana, Mas? Apa Mas bisa menemukan Maura? Ah, sepertinya tidak ya. Saya benar-benar cemas, Mas." Batara hanya bisa meremas rambutnya karena ia benar-benar ketakutan."Saya udah lapor polisi, tapi belum bisa diproses karena belum satu kali dua puluh empat jam. Mama nuga udah telponin semua sodara, barangkali ada yang lihat Maura atau mungkin membawa Maura, tetapi tidak ada.""Sabar, Mas, semoga kita segara menemukan Maura ya. Semoga anak kita gak papa. Baim juga biar sehat dulu." Mendengar suara istrinya yang penuh simpati, Batara yang kesal pun akhirnya luluh. Ia merangkul pundak Dewi sambil menatap brangkar milik Baim. Ada yang membuatnya tersenyum karena nampan makan Baim telah kosong. Akhirnya Baim mau makan dengan Dewi. Pikirnya. "Makasih, Sayang, maafkan aku udah bikin kamu kerepotan dengan dua anak-anak ini.""Gak papa, Sayang, mereka juga anak-anakku." Dewi mencium tipis bibir suaminya dan hal itu didengar oleh Kikan. Wanita itu memutar bola mata malas dan ingin sekali ra
"Ya Allah, kalian ini kenapa ...?" Kikan tidak kuasa menahan tangisnya. Tubuh kecil Maura amat menyedihkan dan ia bingung bagaimana bisa Maura sampai di rumahnya. Siapa yang mengantar?Belum lagi Baim yang juga ikut menangis setelah tahu Maura pergi dari rumah. Kikan benar-benar tidak tahu harus melakukan apa selain memeluk keduanya. "Maura sudah makan, Sayang?" gadis kecil itu menggelengkan kepala. "Kita masuk yuk!" Kikan menggendong Maura, lalu tangannya yang lain menggandeng Baim. Ketiganya masuk ke dalam rumah. Kikan membawa Maura ke dapur, lalu mempersilakan Baik duduk di sofa. "Tante beresin Maura dulu ya." Kikan membawa Maura masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan tubuh mungil itu dengan handuk yang sudah direndam air hangat. Kaki, tangan, wajah, badan, semua dibasuh dengan handuk hangat. Kikan segera memakaikan minyak kayu putih, lalu memakaikan baju Maura yang ada tertinggal di rumahnya. Adik dan kakak itu pernah menginap di rumahnya selama dua malam dan baju mereka mas
"Wi, kamu ini udah jam sembilan pagi, masih tidur aja!" Tegur Bu Sisil, ibu dari Dewi. Wanita itu berdiri di depan pintu kamar putrinya sambil melipat kedua tangan di dada."Enak banget, Ma. Tidur Dewi nyenyak sekali karena gak perlu pusing sama dua anak tiri!" Dewi turun dari ranjang dan langsung keluar. Ia pergi ke dapur untuk mengambil air minum."Kenapa bisa dua anak kecil kabur? Satu kabur dari rumah dan satu lagi kabur dari rumah sakit? Siapa yang ngajarin bisa senekat itu dan sampai sekarang juga gak tahu pada kemana Baim dan Maura. Batara ada telepon kamu lagi gak?" Dewi menggeleng."Mas Batara pasti lagi pusing sama dua anak itu, Ma. Mereka itu bar-bar sekali. Berantem terus di rumah, siapa yang tahan coba? Bibik aja pura-pura sabar, kalau nggak dibayar, pasti Maura dan Baim udah dipukuli sama bibik.""Kamu jangan sok tahu, Dewi! Bahaya kalau fitnah. Memukuli anak bisa masuk dalam penjara loh!""Siapa yang mukul?" tanya Dewi balik. "Itu kamu, pukul pakai rotan.""Gak kenceng
"M-Mas Batara, k-kenapa Mas bisa ada di rumah, maksudnya di kamarku? Kapan masuknya?" Dewi menoleh pada mamanya. Bu Sisil mengangkat bahu tidak paham."Cukup tahu saja aku selama ini kamu punya muka dua!" Batara langsung berlari keluar dari kamar Dewi dengan hati yang panas. Jika ia tidak buru-buru keluar, ia khawatir akan berteriak pada Dewi. Namun, satu hal yang ia ketahui bahwa Dewi pembohong. Ia pandai berakting dan benar-benar memperdaya."Mas, tunggu! Mas, tunggu!" Panggil Dewi sambil berteriak, tetapi Batara sama sekali tidak peduli. Ia langsung masuk ke dalam mobil yang ia parkir di dekat pos satpam kosong. Dewi masih mengejarnya, bahkan wanita itu memukul-mukul jendela mobil Batara. Pria itu langsung menekan gas mobil dengan cepat, meninggalkan Dewi yang terus saja berteriak."Sialan! Mas, tunggu! Aku bisa jelasin!" Teriakan Dewi tentu masih didengar oleh Batara. Pria itu tersenyum getir karena ia menyadari sebuah kesalahan. Apakah ini penyebab Kikan mengatakan bahwa Dewi gak
"Ma, Dewi pulang dulu ya, Mas Batara beneran marah sama Dewi. Aduh, mana belum sempat dibelikan mobil." Dewi memberitahu mamanya yang sedang bingung melihat Dewi cemas. "Loh, katanya udah ke showroom, tinggal didatangkan mobil?""Gak tahu, Ma, belum jadi. Ampun, deh, semua gara-gara dua bocil itu nih, jadi runyam! Ck, mana lagi nih, ojek online susah bener dapatnya!""Kenapa naik ojek, kenapa gak taksi online saja?""Lama sampenya kalau naik mobil, kalau naik ojek online jadi cepet, Ma." Tidak lama kemudian, ojek yang ditunggu pun tiba. Dewi langsung naik tanpa pamit lagi pada mamanya. Ia terlalu panik sampai tas belanjaan yang tadi ia sudah siapkan, malah tertinggal di teras. "Agak ngebut ya, Bang," kata Dewi pada pengemudi ojek. Motor pun melaju dalam kecepatan tinggi. "Bang, mampir ke toko buah itu ya." Dewi menunjuk toko buah besar. Ia akan membelikan buah untuk suaminya. Batara sangat suka.buah naga yang berwarna kuning. Harganya sangat mahal, satu kilogram seharga lima ratus
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i