Novi kembali duduk di kursi resepsionis, mencoba mengalihkan pikirannya dari keinginannya untuk dipijat. Namun, tak lama kemudian, pintu klinik terbuka, dan seorang wanita paruh baya melangkah masuk dengan pelan.Novi segera berdiri dan tersenyum ramah. “Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”Wanita itu memegang punggungnya sambil mengerutkan dahi, jelas menunjukkan rasa sakit yang dirasakannya. “Iya, Mbak, punggung saya sakit sekali. Mungkin karena terlalu lama duduk di kantor. Bisa minta pijat sekarang?”“Oh, tentu bisa, Bu. Ibu bisa tunggu sebentar, ya? Saya catat dulu datanya,” jawab Novi dengan nada tenang sambil mengambil buku pendaftaran.Saat Novi sedang mencatat data pasien itu, pintu kembali terbuka, kali ini lebih lebar. Seorang pria muda masuk sambil membawa ransel dan terlihat lelah. “Mbak, masih ada slot untuk pijat enggak? Saya habis perjalanan jauh, badan rasanya pegal semua.”Novi menoleh dan tersenyum, meskipun ia mulai merasa sedikit kewalahan. “Ada, Mas. Tap
Juned berhenti sejenak dan tersenyum sopan. "Oh, iya, Bu. Minyaknya memang ada efek hangat untuk membantu otot lebih rileks. Kalau terlalu panas, saya bisa kurangi penggunaannya.""Ah, enggak, Mas. Ini sih enak, cuma hawanya kayak jadi panas aja," jawab si ibu, sambil menepuk-nepuk lehernya sendiri dengan tangan.Juned tetap fokus bekerja, mengabaikan nada suara si ibu yang terdengar agak genit. Ia tahu, sebagai terapis pijat, profesionalisme adalah yang utama."Kalau begitu, saya buka sedikit jendela biar udara masuk, ya, Bu," katanya sambil melangkah ke jendela kecil di sudut ruangan.“Kalau handuknya aja yang dibuka gimana mas Juned?” kata si Ibu membuat langkah Juned terhenti.Juned langsung menoleh ke arah si ibu yang ternyata sudah membalik badannya yang awalnya tengkurap menjadi telentang. Hati Juned sangat berdebar luar biasa hingga matanya pun melotot.“Lebih baik jangan Bu, nanti kalau dilihat orang lain jadi enggak enak. Takut di bilang tempat ini yang aneh-aneh.” Kata June
Setelah melayani beberapa Pasien Juned merasa kelelahan.“Loh sudah Jam 12 ternyata, Lebih baik makan siang aja dulu.” Kata Juned saat melihat jam yang menempel di dinding ruang pijat.Juned memutuskan untuk menutup sementara klinik agar ia dan Novi bisa beristirahat. Sementara itu Novi, yang biasanya duduk di meja resepsionis, sedang sibuk membereskan catatan pasien sambil menunggu Juned keluar dari ruang pijat. Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar. Novi yang paling dekat langsung berdiri dan membuka pintu. Ternyata, Sulastri berdiri di sana dengan senyum lebarnya, membawa kantong plastik berisi kotak makan.“Eh, Mbak Lastri?” tanya Novi, agak terkejut. "Ada apa? Klinik lagi tutup sementara, kami sedang istirahat tidak melayani pasien."Sulastri mengangkat kantong plastiknya. "Aku cuma mau mengantar makan siang buat Juned."Novi mengerutkan kening. "Buat Mas Juned? Wah, tumben banget. Biasanya kamu ngomel-ngomel kalau ke sini. Ada angin apa ini?”“Ah, enggak selalu, kok, aku ba
Juned memperhatikan kepergiannya dengan pandangan datar, meski ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa aneh. Vivi yang duduk di sampingnya menyenggol lengan Juned pelan. "Jun, kok kayaknya dia lagi bad mood, ya?"Juned hanya mengangkat bahu, lalu beranjak dari kursi. "Enggak tahu. Mungkin dia lagi banyak pikiran."Juned, Vivi, dan Novi melanjutkan makan siangnya sampai selesai.“Nov setelah ini kamu bantu Vivi di rumah saja ya, kliniknya di buka lagi besok.” Kata Juned kepada Novi.“Loh kenapa mas? Bukannya hari ini kliniknya ramai, sayang banget kalau tutup.” Balas Novi dengan wajah kebingungan.Juned menghela nafas panjang dan berkata, “tanganku sudah kerasa pegal. Aku juga mau berkeliling desa saja.” Kata Juned dengan santai.“Ya sudah kalau begitu mas, aku ikut apa kata bos saja.” Ujar Novi sambil tersenyum.Kemudian Novi dan Vivi meninggalkan Juned sendirian di klinik. Mereka menuju ke rumah Juned yang berada di samping klinik.“Kenapa aku jadi ragu untuk membalas perbuatan Las
Juned memutuskan untuk menghirup udara segar. Ia mengeluarkan motornya dari garasi kecil di belakang klinik, memasang helm dengan gerakan tergesa-gesa.Juned baru saja selesai memasang helmnya ketika seorang pria tua tetangganya lewat, menyapanya sambil tersenyum. "Mau ke mana, Juned? Kelihatan buru-buru," tanya Pak Darto, yang sedang berjalan sambil membawa cangkul.Juned melepas helmnya sebentar, membalas sapaan itu dengan sopan. "Ah, enggak ke mana-mana, Pak. Cuma mau jalan-jalan sebentar, mencari udara segar," jawabnya sambil tertawa kecil. "Pikiran lagi mumet habis mengurus banyak pasien."Pak Darto mengangguk sambil menyeka keringat di dahinya. "Oh, begitu. Ya sudah, hati-hati di jalan, ya."Setelah Pak Darto berlalu, Juned menyalakan motornya dan melajukan kendaraan dengan santai. Ia membiarkan angin siang yang hangat menyapu wajahnya, berharap itu bisa membantu menjernihkan pikirannya yang berat setelah berbicara panjang dengan Sulastri.Di tengah perjalanan melintasi kampung,
Setelah pembicaraan serius soal Sulastri, suasana menjadi lebih ringan. Lilis yang sedang membereskan kantong belanja di meja tampak begitu anggun dengan daster sederhana dengan bagian bawah di atas lutut. Juned menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu tersenyum kecil. “Tante Lilis, kok saya baru sadar ya, Tante selalu kelihatan cantik banget. Kalau bukan tante sendiri, aku mungkin lebih memilihmu daripada Lastri.”Lilis menoleh dengan mata menyipit curiga, tapi sudut bibirnya menunjukkan senyum geli. “Juned, jangan mulai aneh-aneh, ya. Tante ini sudah tua. Ngapain kamu memuji-muji kayak gitu?”“Serius, Tante,” kata Juned sambil menaikkan alis, menegaskan ucapannya. “Tante enggak kelihatan tua sama sekali. Kalau jalan di kampung ini, saya yakin banyak yang mengira Tante masih gadis.”Lilis terkekeh sambil menggelengkan kepala. “Dasar kamu, Juned. Dari dulu mulutnya selalu manis kalau ngomong. Tapi Tante tahu kok, kamu Cuma bercanda.”Juned mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mem
Setelah selesai memasak, Lilis membawa dua piring penuh makanan ke meja makan. Juned yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum lebar melihat tantenya yang sibuk mengatur meja.“Ini nih, Tante paling rajin. Sudah masak, mengatur meja, semuanya beres sendiri,” goda Juned sambil memegang dagu lalu segera duduk.“Kalau kamu bantu tadi, mungkin sekarang sudah selesai lebih cepat,” balas Lilis sambil menaruh piring di hadapan Juned.Juned tertawa kecil. “Tapi kan kalau aku ikut masak, rasanya enggak bakal seenak ini. Lagian, masakan Tante itu pasti juara!”“Ah, dasar mulut manis.” Lilis hanya menggeleng pelan, lalu duduk di hadapan Juned. “Sudah, makan dulu. Jangan banyak ngomong.”Juned mengambil sendok, tapi alih-alih mulai makan, ia malah menatap Lilis dengan senyum jahil. “Tante, boleh enggak aku minta satu hal kecil sebelum makan?”“Apa lagi, Juned? Jangan aneh-aneh, ya,” jawab Lilis sambil memandangi Juned dengan alis terangkat.“Suapin aku dong, Tante,” ucap Juned dengan nada berc
“Terus pakai apa kalau enggak pakai tangan?” Tanya Lilis dengan wajah bingung.Juned terdiam sejenak mencoba berpikir. “Aku mau Tante menyuapiku pakai mulut Tante.” Kata Juned sambil menunjuk bibirnya.Lilis kaget dengan permintaan Juned tersebut. Awalnya dia ingin menolak tapi entah apa yang dirasakan saat itu membuatnya harus menuruti ucapan Juned.“Baiklah untuk kali ini, tante biarkan kamu merasa senang.” Lilis menaruh sosis di mulutnya.Juned langsung tersenyum semringah melihat hal itu. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke arah sosis yang ada di mulut Lilis.“Maaf ya tante, aku ingin tahu rasanya seperti apa untuk pertama kalinya.” Kata Juned yang terdengar ambigu.Juned melahap sosis itu, menggigitnya sedikit demi sedikit hingga bibirnya kian dekat dengan bibir Lilis. Sementara Lilis menutup matanya membiarkan bibir Juned yang sudah berjarak 5 cm darinya.“Oh, aku enggak tahu ada tamu di sini,” ujar Vivi dengan nada datar, meski matanya menyiratkan rasa yang lebih dari sekadar
Setelah insiden dengan Sugeng, Juned dan Vivi melanjutkan perjalanan menuju kota. Vivi, yang tadinya penuh dengan celoteh ceria, kali ini diam, tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara Juned, meski fokus mengendarai motor, sesekali melirik Vivi melalui spion, mencoba membaca ekspresinya.Ketika mereka mendekati kota, jalanan mulai ramai dengan kendaraan dan aktivitas warga. Vivi akhirnya membuka suara, memecah keheningan.“Tadi itu harusnya kita enggak perlu menanggapi Sugeng terlalu serius, ya. Dia itu selalu iri sama hidup orang lain,” kata Vivi dengan nada ringan, meskipun ada sedikit kekesalan yang masih tersisa.Juned mengangguk pelan. “Aku tahu, Vivi. Tadi kamu sendiri kan yang terprovokasi padahal sudah tahu kalau Sugeng itu senang memperkeruh suasana. Kamu jangan sampai ikut terseret.”“Terseret gimana? Aku enggak peduli sama dia atau omongan orang lain,” jawab Vivi tegas. “Yang penting hidup ini kita yang jalani, enggak usah dipikirin juga si Sugeng. Fokus aja sama h
Juned yang baru saja akan melangkah langsung menatap Lastri dengan ekspresi canggung. "Eh, Lastri. Maaf, kita mau ke kota sebentar, Vivi mau beli baju.”Lastri langsung memasang wajah kecewa. "Jadi kalian mau pergi tanpa aku? Kok nggak bilang-bilang?"“Motornya enggak bisa bonceng bertiga, Las." Kata Juned dengan wajah bingung.Vivi yang berdiri di samping Juned justru menahan tawa melihat ekspresi Lastri. "Las, kamu mau ikut? Tapi lihat dulu deh, kamu baru bangun tidur, rambut masih kayak singa. Kalau mau ikut, pakai baju terlebih dahulu. Gunung kamu menyembul tuh," ledek Vivi sambil tertawa kecil.Lastri langsung menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan selimut, sadar kalau penampilannya memang jauh dari kata rapi. Tapi bukannya membalas Vivi, ia malah menatap Juned penuh harap. "Juned, aku juga mau ikut."Juned menghela napas panjang sambil mencoba menjelaskan. "Las, motor aku cuma kuat bonceng dua orang. Kalau bertiga, takutnya malah ditilang sama polisi. Tapi tenang, nanti ma
Namun ketika pagi harinya semua tampak normal saja, Vivi adalah orang pertama yang terbangun ketika matahari mulai mengintip dari balik jendela, menciptakan bayangan lembut di dinding ruang tengah. Vivi duduk perlahan, membenahi rambutnya yang sedikit berantakan, lalu melirik Juned yang tidur di sebelahnya. Vivi perlahan bangkit dan mengenakan pakaiannya tak lupa dia menutupi tubuh Lastri dan Juned dengan selimut, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan yang lain. “Kamu sudah bangun, Vi?” tanya Juned, suaranya serak khas pagi.Ternyata yang dilakukan Vivi justru membuat Juned terbangun.Vivi menoleh dan tersenyum kecil. “Iya, Jun. Sudah pagi. Kamu gimana? Apakah tidurmu nyenyak?”“Ya, lumayan,” jawab Juned sambil duduk dan merenggangkan badannya. Ia melirik Lastri yang masih tertidur pulas. “Lastri masih nyenyak banget, ya.”Vivi tersenyum geli. “Iya, kayaknya dia mimpi indah bersamamu.”Juned mengangguk kecil, lalu mengingat pembicaraan mereka semalam. “Oh ya, apakah ki
Setelah beberapa saat bergulat dengan perasaannya sendiri, Vivi akhirnya mengambil keputusan. Dengan hati-hati, ia berpindah posisi, mendekat ke arah Juned yang sudah tertidur. Tanpa berpikir panjang, Vivi menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Juned.Barang milik Juned yang masih terlihat besar setelah dipakai membuat tubuh Vivi semakin bergejolak. Tanpa menunggu persetujuan dari Juned, Vivi membuka baju dan langsung memainkan barang milik pria itu dengan tangan beserta mulutnya yang mungil.Saat itu Juned yang sudah lelap tidak merasakan apa-apa. Tapi, seiring dengan semakin intens permainan Vivi di sekitar barangnya, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ia membuka matanya perlahan, sedikit bingung. “Lastri, kamu lagi ngapain sih? Sudah cepat tidur aja,” gumam Juned setengah sadar mengira itu adalah Lastri.Namun, ketika ia menoleh ke bawah, matanya membelalak kaget. “Vivi?! Apa yang kamu lakukan?”Vivi tidak menjawab pertanyaan Juned malah semakin menjadi jadi.“Vivi, aku moh
Di ruang tengah kini terasa sunyi hanya terdengar suara jangkrik yang bernyanyi dari luar rumah. Juned terlelap di tengah kedua wanita itu, sama dengan Vivi sudah terlelap dalam tidurnya, napasnya teratur dan tenang. Sementara itu, Lastri melirik ke arah Juned yang tidur di sebelah kanannya. Wajah Juned terlihat lelah, dengan napas berat yang terdengar teratur. Lastri menggigit bibir, ragu-ragu, tapi akhirnya memberanikan diri untuk memanggil Juned. “Juned… Jun…” panggilnya dengan suara pelan nyaris seperti bisikan, sambil menyenggol lengan Juned perlahan.Namun, Juned tetap tidak bergerak. Ia tertidur terlalu lelap untuk mendengar panggilan pelan Lastri. Merasa panggilannya tidak cukup, Lastri mencoba lagi, kali ini lebih keras.“Juned! Bangun, dong.”Tetap tidak ada reaksi. Lastri mulai kesal. Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan dan mengarahkan tangannya ke barang milik Juned dengan perlahan. Tangannya bergerilya di area itu tapi Juned tidak menunjukkan tanda-tanda bangun.“J
“Aaaaah!!!” Vivi dan Lastri langsung menjerit bersamaan. Mereka berdua melompat dari tempat duduk dan memeluk tubuh Juned dari kedua sisi dengan tiba-tiba.“Jun! Itu tadi suara apa?!” tanya Lastri dengan suara gemetar.Juned, yang sebenarnya juga terkejut, mencoba tenang. “Ssst, kalian tenang dulu. Mungkin itu hanya suara kucing atau apa.”“Kucing dari mana, Jun?! Kamu enggak pelihara kucing!” Vivi masih memeluk erat lengan Juned, wajahnya penuh ketakutan.Kedua gundukan Vivi begitu terasa menyenggol lengan Juned.Juned menghela napas panjang dan mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka. “Ya sudah kalau begitu, biar aku cek dulu. Kalian tunggu di sini.”“Jun, jangan pergi sendiri! Nanti kalau ada apa-apa gimana?” Vivi memegang tangan Juned erat, menahan agar Juned tidak beranjak dari duduknya.Lastri mengangguk, suaranya masih gemetar. “Iya, Jun, kita lihat bareng-bareng aja. Kami enggak berani kalau di sini berdua.”Juned menatap mereka berdua, yang kini terlihat seperti anak keci
Setelah makan malam selesai, Juned, Lastri, dan Vivi duduk santai di ruang tengah. Lastri menata sisa makanan yang belum dibereskan, sementara Vivi menyalakan kipas angin agar udara lebih sejuk. Juned bersandar di sofa dengan wajah puas, merasa kenyang setelah diperlakukan seperti raja oleh kedua wanita itu.“Eh, Juned,” Lastri tiba-tiba memecah kesunyian, “Masih ingat enggak waktu kecil dulu, kita sering main di sungai dekat sawah? Kamu selalu yang paling takut kalau diajak lompat dari batu besar ke air.” Lastri tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan.June langsung menimpali dengan senyum yang agak malu. “Habisnya, kalian tuh nekat banget! Batu itu kan licin. Kalau terpeleset gimana? Aku enggak mau jatuh dan jadi bahan ketawaan kalian.”Vivi terkekeh mendengar celotehan mereka. “Iya, aku ingat banget. Juned selalu berdiri di tepi sungai, mukanya tegang banget, sementara aku sama Lastri sudah lompat duluan. Tapi anehnya, kamu selalu mau ikut kalau diajak. Padahal sudah tahu bak
Lilis bangkit dari sofa sambil merapikan bajunya. Ia menatap Juned dan Vivi dengan senyuman tipis. “Aku pamit dulu ya. Hari ini Anton suda pulang, jadi aku harus buru-buru balik,” katanya sambil mengambil tasnya.Juned tampak ragu sejenak, ingin mengatakan sesuatu. “Tante Lilis, tunggu. Ada yang mau aku bicarakan denganmu...” ucap Juned dengan nada mendesak.Namun Lilis mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia sempat melanjutkan. “Juned, lain kali aja ya. Aku benar-benar harus pulang sekarang,” katanya dengan cepat sebelum bergegas menuju pintu.Juned hanya bisa menatap punggung Lilis yang semakin menjauh. Ia menghela napas panjang, rasa khawatir jelas terpancar di wajahnya. Sementara itu Lastri menuju ke dapur sambil membawa beberapa kantong belanjaan. Vivi, yang memperhatikan ekspresi Juned, akhirnya membuka suara. “Juned, tadi mau bicara apa dengan mbak Lilis?”Juned menatap Vivi sejenak, lalu memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Aku tadi sempat bertemu Anton d
Sesampainya di rumah, suasana terasa begitu sunyi. Vivi dan Lastri masih belum terlihat. Juned masuk ke dalam rumah sambil menyalakan lampu ruang tamu, mencoba mengusir kegelisahannya.Namun, meski sudah berada di tempat yang seharusnya nyaman, pikiran Juned tetap tak tenang. Ia duduk di sofa, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata pria tua itu terus terngiang di kepalanya, seolah mengingatkan Juned akan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.“Kalau memang dia bukan manusia… apa dia tadi mencoba menolongku?” gumam Juned pelan. Ia merasa merinding lagi, namun kali ini bukan karena takut, melainkan karena sebuah rasa aneh yang sulit dijelaskan.Juned berpindah tempat duduk ke kursi depan rumah, mencoba menenangkan pikirannya setelah semua kejadian hari itu, dikejutkan oleh suara sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumahnya. Ia mengangkat wajah, melihat pintu taksi terbuka, dan keluar Lilis serta Vivi bersama seorang wanita bercadar.Juned mengerutkan alis, bingung. Ia bangkit d