Tania tiba-tiba berdiri. “Kita harus segera kembali. Aku perlu memeriksa ulang semua dokumen tentang kasus yang melibatkan Anton Perkasa maupun Cakra Buana.”Juned mengangguk otomatis, tapi matanya kosong.Matahari tepat di atas kepala ketika mereka bersiap berpamitan dari warung tenda itu. Jam menunjukkan pukul 2 siang.“Tania... anakku,” Pak Samijo memegang bahu Tania erat-erat, matanya berkaca-kaca. “Kau tumbuh menjadi wanita hebat. Ibumu pasti bangga.”Tania tersenyum lembut, kali ini tanpa beban. “Terima kasih, Pak... Ayah.” Kata “ayah” diucapkannya dengan suara kecil, tapi penuh makna. Samijo kemudian memandang Juned, matanya berbinar. “Dan kau, Juned... ternyata lelaki yang jauh lebih baik dari yang pantas kudapatkan untuk menantuku.” Tangannya yang kasar menepuk bahu Juned dengan hangat. “Dulu aku salah menilaimu."Juned tersenyum, rasa dendamnya telah menguap digantikan kehangatan yang tak terduga. “Sudah lama berlalu, Pak." “Kalian berdua... sangat cocok," ujar Samij
“Tapi kita butuh backup. Aku tidak bisa mengawasi pertemuanmu besok sendirian.”Juned meraih tangan Tania dengan lembut, membuka kepalan jarinya satu per satu. “Percayalah padaku,” bisiknya, matanya memancarkan keteguhan. “Aku hanya akan bersikap normal seperti biasa. Tidak lebih.”Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Yang lebih mengkhawatirkan aku justru keselamatanmu. Jika sampai ada yang tahu kau sedang menyelidiki mega proyek Anton Perkasa, Cakra Buana, dan Bumi Marina...”Tania menatap Juned, melihat bayangan ketakutan yang jarang terlihat di mata pasangannya itu. “Aku akan berhati-hati,” janjinya, memutar tangan sehingga kini dialami yang menggenggam Juned. “Tapi kau harus berjanji—”“Aku tahu,” Juned menyela dengan senyum kecil. “Tidak heroik. Tidak mengambil risiko. Jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung pergi.”Tania mengangkat tangan sambil menutup mulut yang menguap lebar. “Maaf ya, sayang. Aku mau tidur duluan. Lelah sekali hari ini,” ujarnya sambil berj
Rizka langsung menunduk, tangannya bergetar. “Aku... aku masih belum tahu...”“Bagaimana kalau aku berikan sedikit terapi di tanganmu sekarang?” Juned langsung meraih tangan Rizka.Jantung dan aliran darah Rizka berdenyut lebih kencang saat tangan kasar Juned meraba telapak tangannya.Rizka mencoba menarik kembali tangannya. “Mas, jangan begini. Aku takut suamiku–”“Tidak akan, suami kamu pulang jam sembilan. Ini hanya pijatan tangan saja.” Juned tak melepaskan tangan Rizka yang halus.Rizka mengisap bibir bawahnya, merasakan sentuhan Juned yang terampil di bawah bahan kemejanya. “Pijatan... memang enak,” bisiknya, tanpa sadar membiarkan pergelangan tangannya lebih rileks. Juned menggeser posisi, memastikan tangannya tidak menyentuh bagian yang tidak pantas. “Teknik khusus untuk relaksasi. Coba fokus pada tarikan napas.”Jari-jarinya berpindah dengan presisi dari telapak tangan ke pergelangan, menekan titik-titik akupresur. Rizka menutup mata, tapi tiba-tiba membukanya lebar ke
Juned berhenti sejenak, tangannya masih menempel di pundak Rizka. “Kenapa bertanya seperti itu, Mbak?” Rizka menggeleng, wajahnya memerah. Desakan hasrat dan rasa penasaran yang mulai menggerogoti moralitasnya. Sudah terlalu lama suaminya tak menyentuhnya, terlalu lama ia merasa diabaikan. Dan sekarang, di rumah sunyi ini, dengan Juned yang begitu dekat, rasanya sulit untuk tetap kuat. “Tidak... aku hanya...” Rizka tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Juned memandangnya, matanya membaca kegelisahan di wajah Rizka. Ia tahu apa yang terjadi, dan meski hatinya juga bergejolak, ia mencoba menahan diri. Tapi godaan itu terlalu besar. “Mbak Rizka...” ucapnya pelan, tangannya tanpa sadar bergerak ke pinggangnya. Rizka menahan napas. Detak jantungnya begitu kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seolah tak mau menurut. “Mas, aku...” Juned mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Rizka. Nafasnya hangat, membelai kulit Rizka yang sudah
Bu Ningsih mengatupkan mata sejenak. “Tekanan dari mana-mana. Perusahaan tambang, warga yang terpecah... Aku khawatir dia tidak kuat.” Tangannya gemetar memegang lengan Juned. “Aku mengerti apa yang telah terjadi antara kamu dan suamiku.”Juned melempar pandangannya sesekali. Ingatannya kembali ke masa saat dia masih di kampung—Pak Kepala desa yang bersekongkol dengan Anton untuk menindas warga yang lemah.“Tapi Bu, saya sekarang sudah tak...”Bu Ningsih memandangnya tajam. “Kamu satu-satunya orang yang berani melawan Anton.” Juned menyeruput kopi hitam untuk menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bicara. “Hal yang di alami oleh Pak Kepala desa sudah menjadi konsekuensinya sebagai seorang pemimpin. Apa ibu mengerti kalau aku kehilangan banyak hal karena menentang mereka?”Bu Ningsih mengangkat wajahnya. Ada garis-garis air mata yang mengering di pipinya. “Ya, aku mengerti.”Juned sedikit merasa iba kepada Bu Ningsih. Namun untuk saat ini strategi melawan Anton tak bisa diseba
Taksi berhenti di depan klub dengan lampu neon berwarna ungu yang berkedip-kedip. Suara musik yang menggelegar sudah terdengar dari luar. “Kita benar-benar akan masuk ke sini, Bu?” tanya Juned ragu, menatap kerumunan orang berpakaian modis di depan pintu. Bu Ningsih tersenyum girang seperti gadis muda. “Ayo, Juned! Aku ingin merasakan lagi bagaimana jadi orang bebas. Malam ini, lupakan semua masalah!”Dengan langkah mantap, Bu Ningsih menarik Juned yang masih ragu menuju pintu masuk. Penjaga pintu menyambut mereka dengan ramah sesuai prosedur yang diterapkan di tempat itu.“Selamat malam Tuan dan Nyonya, apakah anda sudah ada reservasi sebelumnya?” tanya penjaga. “Tidak, kami hanya ingin bersenang-senang sebentar,” jawab Bu Ningsih polos. Setelah membayar tiket masuk, mereka disambut gelombang musik yang mengguncang dada. Lampu laser berwarna-warni menyapu ruangan penulis orang menari. “Wah, sudah lama aku tidak ke tempat seperti ini!” teriak Bu Ningsih di telinga Juned agar
Juned menopang tubuh Bu Ningsih yang limbung di pelataran klub, angin malam menerbangkan ujung gaun anggurnya.“Aku tak bisa pulang seperti ini,” ucap Bu Ningsih dengan bibir yang sudah tak jelas pengucapannya.“Di sebelah... ada hotel. Aku akan menginap saja.”Juned mengamati bangunan hotel sederhana yang berdiri tepat di samping klub. Lampu neon di depannya berkedip-kedip menampilkan tulisan “Hotel Mawar”. “Baik, Bu. Saya antar ke sana,” jawab Juned perlahan. Di lobi hotel yang sempit, resepsionis setengah baya mengangkat alis melihat mereka masuk. “Kamar untuk satu malam,” pinta Juned sambil menopang Bu Ningsih yang mulai mengantuk. Resepsionis itu mengeluarkan kunci kamar. “Nomor 204. Lantai dua. Lift di sebelah kanan.”Di dalam lift yang reyot, Bu Ningsih bersandar di dinding, matanya setengah terpejam. “Terima kasih... sudah menemaniku malam ini,” ucapnya dengan suara serak. Kamar hotel itu sederhana namun bersih. Juned menuntun Bu Ningsih yang limbung ke arah tempat t
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga
BAB 320Juned menyaksikan dengan nafas tertahan saat Rizka berdiri di hadapannya, jari-jarinya yang gemetar kini beralih ke resleting rok panjangnya. “Aku... aku tak terbiasa dilihat seperti itu oleh pria lain,” suara Rizka bergetar hampir berbisik karena suasana canggung. Dengan gerakan lambat, resleting itu merosot ke bawah, mengungkapkan kulit pucat di pinggulnya yang sempit. Rok panjang itu meluncur ke lantai dengan suara desiran halus, meninggalkan Rizka hanya dengan celana dalam renda warna krem yang sederhana namun menggoda. Juned tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi lekuk tubuh Rizka yang terungkap sepenuhnya – betisnya yang ramping namun berotot halus, pahanya yang padat namun lembut, dan pinggulnya yang bergerak dengan anggun setiap kali ia bernafas. “Apa ini... perlu,” Rizka menggerakkan tangan ke kancing kutangnya, wajahnya memerah tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Juned. “Tidak perlu!” Juned buru-buru menyela, suaranya lebih keras dari yang ia ma
Rizka berdiri di ujung jalan, mengenakan jilbab krem yang menutupi rambutnya dengan rapi, dipadukan sweter tipis dan rok panjang yang sederhana namun elegan. Tangannya memegang erat tas kecil di depan tubuhnya, seperti sedang gugup. Juned menelan ludah. “Mbak Rizka? Ada... ada apa?” Perempuan itu melangkah mendekat, matanya menunduk. “Maaf mengganggu, Mas. Aku... aku perlu bicara.” Suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Juned merasakan jantungnya berdegup kencang. “Sekarang? Mau bicara apa?”Rizka mengangguk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tanah. “Tentang... pijatan kemarin.”Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih panas. Juned dengan cepat membuka pintu rumah. “Mari masuk. Kita tidak perlu berbicara di jalan.”Rizka melirik sekeliling, seolah memastikan tidak ada tetangga yang melihat, sebelum melangkah masuk dengan cepat.Juned menutup pintu rumah dengan perlahan, suara *klik* kunci yang mengunci dunia luar. Rizka berdiri di tengah ruang tamu, jari-jariny
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga
Juned menopang tubuh Bu Ningsih yang limbung di pelataran klub, angin malam menerbangkan ujung gaun anggurnya.“Aku tak bisa pulang seperti ini,” ucap Bu Ningsih dengan bibir yang sudah tak jelas pengucapannya.“Di sebelah... ada hotel. Aku akan menginap saja.”Juned mengamati bangunan hotel sederhana yang berdiri tepat di samping klub. Lampu neon di depannya berkedip-kedip menampilkan tulisan “Hotel Mawar”. “Baik, Bu. Saya antar ke sana,” jawab Juned perlahan. Di lobi hotel yang sempit, resepsionis setengah baya mengangkat alis melihat mereka masuk. “Kamar untuk satu malam,” pinta Juned sambil menopang Bu Ningsih yang mulai mengantuk. Resepsionis itu mengeluarkan kunci kamar. “Nomor 204. Lantai dua. Lift di sebelah kanan.”Di dalam lift yang reyot, Bu Ningsih bersandar di dinding, matanya setengah terpejam. “Terima kasih... sudah menemaniku malam ini,” ucapnya dengan suara serak. Kamar hotel itu sederhana namun bersih. Juned menuntun Bu Ningsih yang limbung ke arah tempat t
Taksi berhenti di depan klub dengan lampu neon berwarna ungu yang berkedip-kedip. Suara musik yang menggelegar sudah terdengar dari luar. “Kita benar-benar akan masuk ke sini, Bu?” tanya Juned ragu, menatap kerumunan orang berpakaian modis di depan pintu. Bu Ningsih tersenyum girang seperti gadis muda. “Ayo, Juned! Aku ingin merasakan lagi bagaimana jadi orang bebas. Malam ini, lupakan semua masalah!”Dengan langkah mantap, Bu Ningsih menarik Juned yang masih ragu menuju pintu masuk. Penjaga pintu menyambut mereka dengan ramah sesuai prosedur yang diterapkan di tempat itu.“Selamat malam Tuan dan Nyonya, apakah anda sudah ada reservasi sebelumnya?” tanya penjaga. “Tidak, kami hanya ingin bersenang-senang sebentar,” jawab Bu Ningsih polos. Setelah membayar tiket masuk, mereka disambut gelombang musik yang mengguncang dada. Lampu laser berwarna-warni menyapu ruangan penulis orang menari. “Wah, sudah lama aku tidak ke tempat seperti ini!” teriak Bu Ningsih di telinga Juned agar
Bu Ningsih mengatupkan mata sejenak. “Tekanan dari mana-mana. Perusahaan tambang, warga yang terpecah... Aku khawatir dia tidak kuat.” Tangannya gemetar memegang lengan Juned. “Aku mengerti apa yang telah terjadi antara kamu dan suamiku.”Juned melempar pandangannya sesekali. Ingatannya kembali ke masa saat dia masih di kampung—Pak Kepala desa yang bersekongkol dengan Anton untuk menindas warga yang lemah.“Tapi Bu, saya sekarang sudah tak...”Bu Ningsih memandangnya tajam. “Kamu satu-satunya orang yang berani melawan Anton.” Juned menyeruput kopi hitam untuk menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bicara. “Hal yang di alami oleh Pak Kepala desa sudah menjadi konsekuensinya sebagai seorang pemimpin. Apa ibu mengerti kalau aku kehilangan banyak hal karena menentang mereka?”Bu Ningsih mengangkat wajahnya. Ada garis-garis air mata yang mengering di pipinya. “Ya, aku mengerti.”Juned sedikit merasa iba kepada Bu Ningsih. Namun untuk saat ini strategi melawan Anton tak bisa diseba
Juned berhenti sejenak, tangannya masih menempel di pundak Rizka. “Kenapa bertanya seperti itu, Mbak?” Rizka menggeleng, wajahnya memerah. Desakan hasrat dan rasa penasaran yang mulai menggerogoti moralitasnya. Sudah terlalu lama suaminya tak menyentuhnya, terlalu lama ia merasa diabaikan. Dan sekarang, di rumah sunyi ini, dengan Juned yang begitu dekat, rasanya sulit untuk tetap kuat. “Tidak... aku hanya...” Rizka tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Juned memandangnya, matanya membaca kegelisahan di wajah Rizka. Ia tahu apa yang terjadi, dan meski hatinya juga bergejolak, ia mencoba menahan diri. Tapi godaan itu terlalu besar. “Mbak Rizka...” ucapnya pelan, tangannya tanpa sadar bergerak ke pinggangnya. Rizka menahan napas. Detak jantungnya begitu kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seolah tak mau menurut. “Mas, aku...” Juned mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Rizka. Nafasnya hangat, membelai kulit Rizka yang sudah
Rizka langsung menunduk, tangannya bergetar. “Aku... aku masih belum tahu...”“Bagaimana kalau aku berikan sedikit terapi di tanganmu sekarang?” Juned langsung meraih tangan Rizka.Jantung dan aliran darah Rizka berdenyut lebih kencang saat tangan kasar Juned meraba telapak tangannya.Rizka mencoba menarik kembali tangannya. “Mas, jangan begini. Aku takut suamiku–”“Tidak akan, suami kamu pulang jam sembilan. Ini hanya pijatan tangan saja.” Juned tak melepaskan tangan Rizka yang halus.Rizka mengisap bibir bawahnya, merasakan sentuhan Juned yang terampil di bawah bahan kemejanya. “Pijatan... memang enak,” bisiknya, tanpa sadar membiarkan pergelangan tangannya lebih rileks. Juned menggeser posisi, memastikan tangannya tidak menyentuh bagian yang tidak pantas. “Teknik khusus untuk relaksasi. Coba fokus pada tarikan napas.”Jari-jarinya berpindah dengan presisi dari telapak tangan ke pergelangan, menekan titik-titik akupresur. Rizka menutup mata, tapi tiba-tiba membukanya lebar ke
“Tapi kita butuh backup. Aku tidak bisa mengawasi pertemuanmu besok sendirian.”Juned meraih tangan Tania dengan lembut, membuka kepalan jarinya satu per satu. “Percayalah padaku,” bisiknya, matanya memancarkan keteguhan. “Aku hanya akan bersikap normal seperti biasa. Tidak lebih.”Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Yang lebih mengkhawatirkan aku justru keselamatanmu. Jika sampai ada yang tahu kau sedang menyelidiki mega proyek Anton Perkasa, Cakra Buana, dan Bumi Marina...”Tania menatap Juned, melihat bayangan ketakutan yang jarang terlihat di mata pasangannya itu. “Aku akan berhati-hati,” janjinya, memutar tangan sehingga kini dialami yang menggenggam Juned. “Tapi kau harus berjanji—”“Aku tahu,” Juned menyela dengan senyum kecil. “Tidak heroik. Tidak mengambil risiko. Jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung pergi.”Tania mengangkat tangan sambil menutup mulut yang menguap lebar. “Maaf ya, sayang. Aku mau tidur duluan. Lelah sekali hari ini,” ujarnya sambil berj