Setelah melayani beberapa Pasien Juned merasa kelelahan.“Loh sudah Jam 12 ternyata, Lebih baik makan siang aja dulu.” Kata Juned saat melihat jam yang menempel di dinding ruang pijat.Juned memutuskan untuk menutup sementara klinik agar ia dan Novi bisa beristirahat. Sementara itu Novi, yang biasanya duduk di meja resepsionis, sedang sibuk membereskan catatan pasien sambil menunggu Juned keluar dari ruang pijat. Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar. Novi yang paling dekat langsung berdiri dan membuka pintu. Ternyata, Sulastri berdiri di sana dengan senyum lebarnya, membawa kantong plastik berisi kotak makan.“Eh, Mbak Lastri?” tanya Novi, agak terkejut. "Ada apa? Klinik lagi tutup sementara, kami sedang istirahat tidak melayani pasien."Sulastri mengangkat kantong plastiknya. "Aku cuma mau mengantar makan siang buat Juned."Novi mengerutkan kening. "Buat Mas Juned? Wah, tumben banget. Biasanya kamu ngomel-ngomel kalau ke sini. Ada angin apa ini?”“Ah, enggak selalu, kok, aku ba
Juned memperhatikan kepergiannya dengan pandangan datar, meski ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa aneh. Vivi yang duduk di sampingnya menyenggol lengan Juned pelan. "Jun, kok kayaknya dia lagi bad mood, ya?"Juned hanya mengangkat bahu, lalu beranjak dari kursi. "Enggak tahu. Mungkin dia lagi banyak pikiran."Juned, Vivi, dan Novi melanjutkan makan siangnya sampai selesai.“Nov setelah ini kamu bantu Vivi di rumah saja ya, kliniknya di buka lagi besok.” Kata Juned kepada Novi.“Loh kenapa mas? Bukannya hari ini kliniknya ramai, sayang banget kalau tutup.” Balas Novi dengan wajah kebingungan.Juned menghela nafas panjang dan berkata, “tanganku sudah kerasa pegal. Aku juga mau berkeliling desa saja.” Kata Juned dengan santai.“Ya sudah kalau begitu mas, aku ikut apa kata bos saja.” Ujar Novi sambil tersenyum.Kemudian Novi dan Vivi meninggalkan Juned sendirian di klinik. Mereka menuju ke rumah Juned yang berada di samping klinik.“Kenapa aku jadi ragu untuk membalas perbuatan Las
Juned memutuskan untuk menghirup udara segar. Ia mengeluarkan motornya dari garasi kecil di belakang klinik, memasang helm dengan gerakan tergesa-gesa.Juned baru saja selesai memasang helmnya ketika seorang pria tua tetangganya lewat, menyapanya sambil tersenyum. "Mau ke mana, Juned? Kelihatan buru-buru," tanya Pak Darto, yang sedang berjalan sambil membawa cangkul.Juned melepas helmnya sebentar, membalas sapaan itu dengan sopan. "Ah, enggak ke mana-mana, Pak. Cuma mau jalan-jalan sebentar, mencari udara segar," jawabnya sambil tertawa kecil. "Pikiran lagi mumet habis mengurus banyak pasien."Pak Darto mengangguk sambil menyeka keringat di dahinya. "Oh, begitu. Ya sudah, hati-hati di jalan, ya."Setelah Pak Darto berlalu, Juned menyalakan motornya dan melajukan kendaraan dengan santai. Ia membiarkan angin siang yang hangat menyapu wajahnya, berharap itu bisa membantu menjernihkan pikirannya yang berat setelah berbicara panjang dengan Sulastri.Di tengah perjalanan melintasi kampung,
Setelah pembicaraan serius soal Sulastri, suasana menjadi lebih ringan. Lilis yang sedang membereskan kantong belanja di meja tampak begitu anggun dengan daster sederhana dengan bagian bawah di atas lutut. Juned menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu tersenyum kecil. “Tante Lilis, kok saya baru sadar ya, Tante selalu kelihatan cantik banget. Kalau bukan tante sendiri, aku mungkin lebih memilihmu daripada Lastri.”Lilis menoleh dengan mata menyipit curiga, tapi sudut bibirnya menunjukkan senyum geli. “Juned, jangan mulai aneh-aneh, ya. Tante ini sudah tua. Ngapain kamu memuji-muji kayak gitu?”“Serius, Tante,” kata Juned sambil menaikkan alis, menegaskan ucapannya. “Tante enggak kelihatan tua sama sekali. Kalau jalan di kampung ini, saya yakin banyak yang mengira Tante masih gadis.”Lilis terkekeh sambil menggelengkan kepala. “Dasar kamu, Juned. Dari dulu mulutnya selalu manis kalau ngomong. Tapi Tante tahu kok, kamu Cuma bercanda.”Juned mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mem
Setelah selesai memasak, Lilis membawa dua piring penuh makanan ke meja makan. Juned yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum lebar melihat tantenya yang sibuk mengatur meja.“Ini nih, Tante paling rajin. Sudah masak, mengatur meja, semuanya beres sendiri,” goda Juned sambil memegang dagu lalu segera duduk.“Kalau kamu bantu tadi, mungkin sekarang sudah selesai lebih cepat,” balas Lilis sambil menaruh piring di hadapan Juned.Juned tertawa kecil. “Tapi kan kalau aku ikut masak, rasanya enggak bakal seenak ini. Lagian, masakan Tante itu pasti juara!”“Ah, dasar mulut manis.” Lilis hanya menggeleng pelan, lalu duduk di hadapan Juned. “Sudah, makan dulu. Jangan banyak ngomong.”Juned mengambil sendok, tapi alih-alih mulai makan, ia malah menatap Lilis dengan senyum jahil. “Tante, boleh enggak aku minta satu hal kecil sebelum makan?”“Apa lagi, Juned? Jangan aneh-aneh, ya,” jawab Lilis sambil memandangi Juned dengan alis terangkat.“Suapin aku dong, Tante,” ucap Juned dengan nada berc
“Terus pakai apa kalau enggak pakai tangan?” Tanya Lilis dengan wajah bingung.Juned terdiam sejenak mencoba berpikir. “Aku mau Tante menyuapiku pakai mulut Tante.” Kata Juned sambil menunjuk bibirnya.Lilis kaget dengan permintaan Juned tersebut. Awalnya dia ingin menolak tapi entah apa yang dirasakan saat itu membuatnya harus menuruti ucapan Juned.“Baiklah untuk kali ini, tante biarkan kamu merasa senang.” Lilis menaruh sosis di mulutnya.Juned langsung tersenyum semringah melihat hal itu. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke arah sosis yang ada di mulut Lilis.“Maaf ya tante, aku ingin tahu rasanya seperti apa untuk pertama kalinya.” Kata Juned yang terdengar ambigu.Juned melahap sosis itu, menggigitnya sedikit demi sedikit hingga bibirnya kian dekat dengan bibir Lilis. Sementara Lilis menutup matanya membiarkan bibir Juned yang sudah berjarak 5 cm darinya.“Oh, aku enggak tahu ada tamu di sini,” ujar Vivi dengan nada datar, meski matanya menyiratkan rasa yang lebih dari sekadar
Di perjalanan pulang, suasana terasa canggung. Vivi duduk di belakang Juned dengan tasnya disampirkan di bahunya. Mereka hanya diam, angin siang yang hangat menyelimuti perjalanan mereka. Juned merasa harus mengatakan sesuatu untuk mengurangi ketegangan.“Vivi,” panggilnya pelan sambil tetap fokus pada jalan di depannya.“Iya?” jawab Vivi singkat, tanpa intonasi yang jelas.“Tadi di rumah, aku harap kamu enggak salah paham, ya. Aku sama Tante Lilis tadi cuma bercanda, enggak ada maksud apa-apa.” Juned mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati.Vivi terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku enggak marah, kok, Juned. Cuma kaget aja. Lagipula, itu urusan kalian. Aku enggak punya hak buat komentar.”Jawaban itu terdengar datar, tapi Juned bisa merasakan ada sesuatu yang tertahan. “Aku tahu kamu bilang enggak marah, tapi aku tetap enggak enak, Vi..”Vivi akhirnya menghela napas panjang. “Juned, aku mengerti. Kamu enggak perlu terlalu memikirkan itu. Aku cuma butuh waktu buat melupakan ap
“Duh, ya sudah, aku yang tutup deh, biar kamu enggak ribet,” kata Vivi sambil mengambil selimut tipis. Ia menutupi tubuh Novi dengan santai. “Tuh, aman kan sekarang?.”Juned menghela napas panjang. “Ya, tapi tetap aja, dia harusnya lebih peka. Kalau ada cowok di rumah, kan enggak enak dilihat.”“Juned, Novi itu sudah 18 tahun tapi masih polos. Dia enggak punya maksud aneh-aneh. Kamu aja yang mikirnya kelewat jauh,” ujar Vivi sambil tersenyum geli.Juned hanya mendesah, tidak ingin memperpanjang argumen. Ia melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air, mencoba menenangkan pikirannya. Vivi kembali duduk di kursinya, menatap Juned sambil menahan tawa kecil.“Juned,” panggil Vivi dengan nada menggoda.“Apa lagi, Vi?” sahut Juned sambil membuka kulkas.“Kamu tuh lucu banget kalau lagi panik. Novi cuma tidur, lho. Kamu tuh yang bikin drama kayak ada kejadian besar,” Vivi tertawa kecil.Juned hanya menggelengkan kepala sambil menyeruput air dinginnya. “Aku cuma enggak mau ada hal yang biki
Marina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir."Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma
Pria itu tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Perwakilan dari Anton Perkasa memang sudah tiba pagi ini, lebih awal dari jadwal semula. Dan mereka langsung diterima oleh Ibu Ratna.”Mendengar penjelasan itu, wajah Marina berubah. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Sementara Juned, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi, tak sepenuhnya memahami situasi.Tepat saat itu, Marina dan Juned melihat Ibu Ratna keluar dari ruangannya, berjalan menuju pintu utama bersama seorang pria muda. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dengan senyum penuh percaya diri. Sosoknya begitu kharismatik, membuat siapa pun yang melihatnya langsung terkesan.Marina memperhatikan pria itu dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian, dia berbisik kepada Juned, “Itu perwakilan dari Anton Perkasa. Tapi... sesuatu tidak beres di sini.”“Apa maksudmu?” tanya Juned bingung.“Seharusny
Mata para wanita—Marina, Lilis, Lastri, Vivi, dan Rini—tertumbuk pada Juned. Mereka terdiam sejenak, lalu hampir serentak menunjukkan ekspresi kagum.“Ya ampun, Juned! Keponakanku Ganteng banget!” ujar Lilis dengan suara riang, tangannya menutup mulut seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Vivi mengangguk setuju. “Aku sampai nggak kenal tadi. Serius ini kamu Juned? Kayak model yang mau pergi ke gala dinner aja,” katanya sambil tersenyum lebar.Lastri menambahkan dengan nada menggoda. “Juned, kayaknya kalau ada perempuan yang lihat kamu kayak gini, mereka langsung naksir, deh.”Juned hanya tersenyum canggung, merasa sedikit kikuk dengan perhatian yang begitu besar dari mereka. “Ah, jangan bercanda kalian. Ini cuma karena pakaian yang terlihat bagus,” ucapnya merendah sambil menggaruk belakang kepalanya.Namun Marina, yang duduk di sofa dengan anggun, memberikan komentar yang berbeda. “Lihatlah, ini yang aku maksud. Penamp
Juned hanya bisa duduk terpaku, tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan bertindak kasar. Namun, sebelum Winda melanjutkan aksinya, tubuhnya tiba-tiba melemah, dan ia terjatuh ke samping, pingsan karena mabuk.Juned menghela napas lega, tapi matanya langsung tertuju pada Marina dan Tari yang kini juga tampak setengah sadar, mencoba bernyanyi dengan suara yang sudah tidak jelas. Tidak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai pingsan, termasuk Rini. Suasana yang tadi penuh dengan tawa dan nyanyian kini berubah menjadi hening.Melihat mereka semua terbaring di lantai dan sofa, Juned menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. "Ya Allah, ini benar-benar malam yang melelahkan," gumamnya sambil mengusap wajahnya.Dengan hati-hati, Juned mulai memindahkan mereka satu per satu ke kamar Marina yang besar. Ia mengangkat Winda lebih dulu, lalu kembali ke ruangan karaoke untuk membawa Marina, Tari, dan akhirnya Rini. Setelah memast
Juned tersentak, tapi ia tetap tenang. "Tari, kamu mabuk. Lebih baik kamu duduk di sana dan istirahat.""Aku nggak mabuk," balas Tari sambil terkekeh, meskipun jelas dari gerak-geriknya bahwa ia mulai kehilangan kendali. Ia memiringkan tubuhnya, kini kepalanya bersandar di bahu Juned. "Kamu itu terlalu kaku. Nggak apa-apa, rileks sedikit. Kita ini cuma bersenang-senang."Juned menoleh ke Marina yang duduk di sisi lain ruangan, berharap mendapatkan bantuan. Namun Marina hanya mengangkat gelas anggurnya sambil tersenyum tenang, seolah-olah tidak ingin ikut campur. Winda dan Rini juga tampak terlalu sibuk dengan tawa mereka sendiri."Tari, aku serius," Juned berkata dengan nada lebih tegas, tapi tetap menjaga suaranya rendah agar tidak mengganggu suasana pesta. "Kamu perlu menjaga sikapmu. Aku hanya di sini untuk membantu, bukan untuk hal lain."Namun Tari justru memeluk Juned, membuatnya semakin sulit untuk melepaskan diri tanpa menimbulkan keributan. "Juned, kamu baik sekali. Kamu bahk
Marina memimpin rombongan ke sebuah ruangan yang ada di lantai bawah rumahnya. Begitu pintu ruangan itu dibuka, Juned tertegun. Ruangan itu sangat mewah, penuh dengan lampu neon warna-warni yang berkedip, sofa besar empuk, dan layar besar di dinding yang memutar daftar lagu karaoke. Di sudut ruangan, terdapat meja yang dipenuhi dengan camilan, minuman, dan beberapa botol anggur.Marina melangkah masuk dengan percaya diri, diikuti oleh Winda, Tari, dan Rini. Tari segera mengambil remote kontrol dan mulai menjelajahi daftar lagu. "Tempat ini adalah tempat favoritku di rumah Marina," katanya sambil tertawa. "Aku nggak pernah bosan."Juned, di sisi lain, hanya berdiri di pintu, tampak kebingungan. Dia menggaruk kepala dan mendekati Rini. "Aku nggak bisa nyanyi, Rini. Jadi buat apa aku ada di sini?"Rini menahan senyum. "Sudah, santai saja, Juned. Nggak ada yang maksa kamu nyanyi kalau nggak mau. Nikmati saja suasananya."Namun, Marina yang mendengar percakapan itu langsung menoleh. "Jun
Rini yang sedari tadi hanya duduk di ruangan, akhirnya angkat bicara setelah hanya menjadi pendengar sejauh ini. Dengan nada yang penuh arti, ia menatap Juned sambil tersenyum. “Mas Juned, kamu nggak perlu khawatir soal ini. Tanpa kamu sadari, sebenarnya kamu punya kemampuan alami untuk membuat orang lain tertarik sama kamu.”Juned menoleh ke arah Rini dengan alis yang sedikit terangkat. “Apa maksudmu, Mbak Rini? Aku nggak pernah merasa seperti itu.”Rini tertawa kecil, lalu mendekati Juned. “Apa kamu lupa sudah banyak wanita yang mengagumimu saat ini?”Juned menghela napas, masih merasa skeptis. “Tapi aku gak merasa membuat mereka kagum. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa, jika mereka senang aku juga senang.”Marina menyela dengan santai, memanfaatkan momen itu untuk memperkuat keyakinan Juned. “Rini benar. Justru karena kamu nggak terlihat seperti pria korporat yang penuh tipu daya, itu akan menjadi keuntungan besar. Kamu akan terlihat tulus, dan itu yang akan membuat dia terta
Marina mengangguk dengan senyum yang masih tertempel di wajahnya. “Iya, memang. Kami sudah beroperasi cukup lama dan memiliki banyak proyek besar yang berjalan. Itu salah satu alasan kenapa aku bisa menangani Anton tanpa masalah.” Marina menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, sambil menatap Juned dengan tatapan tajam, seolah mengukur seberapa banyak yang sudah dia pelajari tentang Anton.“Aku tidak pernah menyangka bahwa kamu adalah orang yang memiliki perusahaan sebesar itu,” kata Juned dengan terkejut, masih tidak bisa sepenuhnya mempercayai fakta tersebut.Marina tersenyum santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. “Bagi banyak orang, itu mungkin mengejutkan. Tapi bagiku, itu adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun. Dan kini, aku harus menghadapi pesaing baru yang bernama Anton. Dia pikir dia bisa menguasai pasar, tapi aku yakin aku punya lebih banyak cara untuk mengalahkannya.”Juned merasa terkesan dengan ketenangan Marina dalam menghadapi situasi seperti ini
Saat sudah berada di ambang pintu ruangan, Marina berbalik arah kembali masuk dengan langkah tenang. Juned dan Rini yang masih saling pandang tak tahu harus berkata apa saat melihat Marina mendekat. Wajahnya terlihat serius kali ini, dan ada secercah ketegasan dalam suaranya."Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada beberapa orang yang harus kita pastikan keselamatannya terlebih dahulu," kata Marina sambil duduk kembali. "Aku butuh informasi tentang keberadaan seseorang bernama Novi, Vivi, dan juga Lilis serta Lastri."Juned langsung menjawab tanpa ragu. "Lilis dan Lastri ada di rumahku, aman. Mereka tidak dalam bahaya."Marina mengangguk, lalu memandang ke arah Rini. "Bagaimana dengan Vivi dan anakmu?"Rini terlihat cemas, menggigit bibir bawahnya. "Vivi dan Novi sedang ditahan di rumah Pak Slamet, kepala desa. Dia orang kepercayaan Anton dan sering melakukan apa pun yang Anton perintahkan."Marina mendengar penjelasan itu dengan ekspresi tenang, meskipun kedua matanya tampak menila