Juned memperhatikan kepergiannya dengan pandangan datar, meski ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa aneh. Vivi yang duduk di sampingnya menyenggol lengan Juned pelan. "Jun, kok kayaknya dia lagi bad mood, ya?"Juned hanya mengangkat bahu, lalu beranjak dari kursi. "Enggak tahu. Mungkin dia lagi banyak pikiran."Juned, Vivi, dan Novi melanjutkan makan siangnya sampai selesai.“Nov setelah ini kamu bantu Vivi di rumah saja ya, kliniknya di buka lagi besok.” Kata Juned kepada Novi.“Loh kenapa mas? Bukannya hari ini kliniknya ramai, sayang banget kalau tutup.” Balas Novi dengan wajah kebingungan.Juned menghela nafas panjang dan berkata, “tanganku sudah kerasa pegal. Aku juga mau berkeliling desa saja.” Kata Juned dengan santai.“Ya sudah kalau begitu mas, aku ikut apa kata bos saja.” Ujar Novi sambil tersenyum.Kemudian Novi dan Vivi meninggalkan Juned sendirian di klinik. Mereka menuju ke rumah Juned yang berada di samping klinik.“Kenapa aku jadi ragu untuk membalas perbuatan Las
Juned memutuskan untuk menghirup udara segar. Ia mengeluarkan motornya dari garasi kecil di belakang klinik, memasang helm dengan gerakan tergesa-gesa.Juned baru saja selesai memasang helmnya ketika seorang pria tua tetangganya lewat, menyapanya sambil tersenyum. "Mau ke mana, Juned? Kelihatan buru-buru," tanya Pak Darto, yang sedang berjalan sambil membawa cangkul.Juned melepas helmnya sebentar, membalas sapaan itu dengan sopan. "Ah, enggak ke mana-mana, Pak. Cuma mau jalan-jalan sebentar, mencari udara segar," jawabnya sambil tertawa kecil. "Pikiran lagi mumet habis mengurus banyak pasien."Pak Darto mengangguk sambil menyeka keringat di dahinya. "Oh, begitu. Ya sudah, hati-hati di jalan, ya."Setelah Pak Darto berlalu, Juned menyalakan motornya dan melajukan kendaraan dengan santai. Ia membiarkan angin siang yang hangat menyapu wajahnya, berharap itu bisa membantu menjernihkan pikirannya yang berat setelah berbicara panjang dengan Sulastri.Di tengah perjalanan melintasi kampung,
Setelah pembicaraan serius soal Sulastri, suasana menjadi lebih ringan. Lilis yang sedang membereskan kantong belanja di meja tampak begitu anggun dengan daster sederhana dengan bagian bawah di atas lutut. Juned menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu tersenyum kecil. “Tante Lilis, kok saya baru sadar ya, Tante selalu kelihatan cantik banget. Kalau bukan tante sendiri, aku mungkin lebih memilihmu daripada Lastri.”Lilis menoleh dengan mata menyipit curiga, tapi sudut bibirnya menunjukkan senyum geli. “Juned, jangan mulai aneh-aneh, ya. Tante ini sudah tua. Ngapain kamu memuji-muji kayak gitu?”“Serius, Tante,” kata Juned sambil menaikkan alis, menegaskan ucapannya. “Tante enggak kelihatan tua sama sekali. Kalau jalan di kampung ini, saya yakin banyak yang mengira Tante masih gadis.”Lilis terkekeh sambil menggelengkan kepala. “Dasar kamu, Juned. Dari dulu mulutnya selalu manis kalau ngomong. Tapi Tante tahu kok, kamu Cuma bercanda.”Juned mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mem
Setelah selesai memasak, Lilis membawa dua piring penuh makanan ke meja makan. Juned yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum lebar melihat tantenya yang sibuk mengatur meja.“Ini nih, Tante paling rajin. Sudah masak, mengatur meja, semuanya beres sendiri,” goda Juned sambil memegang dagu lalu segera duduk.“Kalau kamu bantu tadi, mungkin sekarang sudah selesai lebih cepat,” balas Lilis sambil menaruh piring di hadapan Juned.Juned tertawa kecil. “Tapi kan kalau aku ikut masak, rasanya enggak bakal seenak ini. Lagian, masakan Tante itu pasti juara!”“Ah, dasar mulut manis.” Lilis hanya menggeleng pelan, lalu duduk di hadapan Juned. “Sudah, makan dulu. Jangan banyak ngomong.”Juned mengambil sendok, tapi alih-alih mulai makan, ia malah menatap Lilis dengan senyum jahil. “Tante, boleh enggak aku minta satu hal kecil sebelum makan?”“Apa lagi, Juned? Jangan aneh-aneh, ya,” jawab Lilis sambil memandangi Juned dengan alis terangkat.“Suapin aku dong, Tante,” ucap Juned dengan nada berc
“Terus pakai apa kalau enggak pakai tangan?” Tanya Lilis dengan wajah bingung.Juned terdiam sejenak mencoba berpikir. “Aku mau Tante menyuapiku pakai mulut Tante.” Kata Juned sambil menunjuk bibirnya.Lilis kaget dengan permintaan Juned tersebut. Awalnya dia ingin menolak tapi entah apa yang dirasakan saat itu membuatnya harus menuruti ucapan Juned.“Baiklah untuk kali ini, tante biarkan kamu merasa senang.” Lilis menaruh sosis di mulutnya.Juned langsung tersenyum semringah melihat hal itu. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke arah sosis yang ada di mulut Lilis.“Maaf ya tante, aku ingin tahu rasanya seperti apa untuk pertama kalinya.” Kata Juned yang terdengar ambigu.Juned melahap sosis itu, menggigitnya sedikit demi sedikit hingga bibirnya kian dekat dengan bibir Lilis. Sementara Lilis menutup matanya membiarkan bibir Juned yang sudah berjarak 5 cm darinya.“Oh, aku enggak tahu ada tamu di sini,” ujar Vivi dengan nada datar, meski matanya menyiratkan rasa yang lebih dari sekadar
Di perjalanan pulang, suasana terasa canggung. Vivi duduk di belakang Juned dengan tasnya disampirkan di bahunya. Mereka hanya diam, angin siang yang hangat menyelimuti perjalanan mereka. Juned merasa harus mengatakan sesuatu untuk mengurangi ketegangan.“Vivi,” panggilnya pelan sambil tetap fokus pada jalan di depannya.“Iya?” jawab Vivi singkat, tanpa intonasi yang jelas.“Tadi di rumah, aku harap kamu enggak salah paham, ya. Aku sama Tante Lilis tadi cuma bercanda, enggak ada maksud apa-apa.” Juned mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati.Vivi terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku enggak marah, kok, Juned. Cuma kaget aja. Lagipula, itu urusan kalian. Aku enggak punya hak buat komentar.”Jawaban itu terdengar datar, tapi Juned bisa merasakan ada sesuatu yang tertahan. “Aku tahu kamu bilang enggak marah, tapi aku tetap enggak enak, Vi..”Vivi akhirnya menghela napas panjang. “Juned, aku mengerti. Kamu enggak perlu terlalu memikirkan itu. Aku cuma butuh waktu buat melupakan ap
“Duh, ya sudah, aku yang tutup deh, biar kamu enggak ribet,” kata Vivi sambil mengambil selimut tipis. Ia menutupi tubuh Novi dengan santai. “Tuh, aman kan sekarang?.”Juned menghela napas panjang. “Ya, tapi tetap aja, dia harusnya lebih peka. Kalau ada cowok di rumah, kan enggak enak dilihat.”“Juned, Novi itu sudah 18 tahun tapi masih polos. Dia enggak punya maksud aneh-aneh. Kamu aja yang mikirnya kelewat jauh,” ujar Vivi sambil tersenyum geli.Juned hanya mendesah, tidak ingin memperpanjang argumen. Ia melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air, mencoba menenangkan pikirannya. Vivi kembali duduk di kursinya, menatap Juned sambil menahan tawa kecil.“Juned,” panggil Vivi dengan nada menggoda.“Apa lagi, Vi?” sahut Juned sambil membuka kulkas.“Kamu tuh lucu banget kalau lagi panik. Novi cuma tidur, lho. Kamu tuh yang bikin drama kayak ada kejadian besar,” Vivi tertawa kecil.Juned hanya menggelengkan kepala sambil menyeruput air dinginnya. “Aku cuma enggak mau ada hal yang biki
Saat Vivi pergi ke dapur, Juned tetap duduk di sofa, mencoba menenangkan pikirannya. Novi, yang kini sudah sepenuhnya terbangun, duduk bersila di sofa sambil mengusap matanya.“Mas Juned,” panggil Novi tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit ragu.“Iya, Novi? Kenapa?” jawab Juned santai, menoleh ke arahnya.“Aku tadi mimpi, deh,” kata Novi sambil menatap Juned dengan wajah serius.“Mimpi apa? Seram, ya?” Juned tersenyum kecil, berpikir Novi akan cerita sesuatu yang biasa saja.Novi menggeleng. “Enggak seram, sih... tapi aneh. Dalam mimpi itu aku...” Ia menggantungkan kalimatnya, tampak ragu melanjutkan.“Aku apa, Nov? Kok malah jadi gantung gitu?” Juned mengerutkan keningnya, penasaran.Novi menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara cepat, “Aku mimpi kita pacaran, Mas!”Juned langsung terdiam selama beberapa detik, sebelum akhirnya tertawa keras. “Hahaha, apa-apaan, Nov? Pacaran sama aku? Kamu serius mimpi kayak gitu?”“Iya, Mas!” Novi bersikeras, wajahnya sedikit memerah. “Aku mimpi ki
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di
Alisa mengangguk mantap. “Iya, Kak. Dari yang aku baca di pikirannya, Mas Juned punya kebiasaan ini saat masih normal. Jadi mungkin dengan melakukan sesuatu yang familiar, memorinya bisa kembali.”Tania menghela napas panjang. “Tapi ini tetap terasa aneh…”“Kakak sendiri yang bilang ini terapi, kan?” Alisa tersenyum penuh arti. “Lagipula, Kakak percaya sama aku, kan?”Tania menatap adiknya sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan coba.”Ia kemudian berjalan ke kamar dan mulai mengganti pakaiannya dengan selembar handuk yang melilit tubuhnya. Setelah memastikan semuanya rapi, ia keluar dari kamar dan melihat Juned masih duduk di lantai dengan tatapan kosong.Alisa menyenggol lengan kakaknya. “Ayo, Kak. Mulai aja.”Setelah berhasil mengatur nafasnya, Tania mengibaskan tangannya memberi isyarat agar Alisa meninggalkan ruang tamu.Alisa menatap kakaknya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kakak yakin mau aku keluar?” tanyanya, meski sudah bisa menebak jawaban Tania.Tania
Alisa menatap kakaknya dengan khawatir, tapi dia juga tahu Tania adalah orang yang tak mudah menyerah. "Baiklah... kita coba."Tania lalu menoleh ke Juned dan tersenyum lembut. "Juned... kamu masih ingat caranya memijat, kan?"Alisa kembali mendekati Juned, lalu dengan lembut menyentuh kepalanya. Matanya sedikit terpejam, mencoba meresapi ingatan yang masih tersisa dalam benak pria itu. Tania menatap mereka dengan penuh harap.Beberapa detik kemudian, Alisa membuka matanya dan menatap Tania. “Aku melihatnya.”“Apa yang kamu lihat?” tanya Tania cepat.Alisa menarik napas dalam. “Saat Mas Juned memijat seseorang, dia selalu memulainya dengan perlahan. Dia akan meraba bagian tubuh yang sakit atau pegal dengan tangannya terlebih dahulu, lalu dia menekan dengan lembut untuk mencari titik yang paling membutuhkan pijatan.”Tania mengangguk, mencatat dalam pikirannya. “Lalu?”“Setelah menemukan titik yang tepat, dia akan menggunakan ibu jari dan telapak tangannya untuk memberikan tekanan. Di
Alisa menggigit bibirnya sebelum akhirnya bercerita. “Sebelum kecelakaan itu, aku pernah menemukan jamur yang tumbuh di dekat sekolahku. Aku membawanya pulang, namun setelah aku sadar dari kecelakaan. Di hadapan Mas Juned dan Pembantunya, mereka tak sengaja melihat jamur itu di kantongku. Lalu mereka bercerita tentang jamur ajaib. Aku penasaran, terus aku nekat coba makan.”Tania semakin terkejut. “Kamu makan jamur itu?! Terus, apa yang terjadi?”Alisa terlihat ragu sebelum akhirnya berkata, “Setelah makan jamur itu... aku mulai merasa kepalaku pusing lalu kembali pingsan. Mas Juned panik lalu membawa ke rumah temannya yang kaya. Setelah sadar kepalaku menjadi ringan, kayak semua hal jadi lebih gampang dipahami. Aku jadi ngerti pelajaran tanpa perlu belajar keras, aku bisa ingat sesuatu yang cuma kulihat sekilas... Bahkan aku bisa menyelesaikan puzzle yang belum pernah aku lihat, kak.”Tania terdiam, menyusun potongan-potongan informasi di kepalanya.“Berarti jamur yang kamu makan
“Alisa?” gumam Tania pelan.Tania menatap Alisa dengan heran saat adiknya itu masih berdiri di depan pagar.Alisa mengangguk kecil, masih terlihat ragu-ragu. “Kak...”Tania menghela napas, melirik sekilas ke arah Juned. “Kamu kenapa tiba-tiba ke sini?”Alisa menunduk sebentar sebelum menatap kakaknya lagi. “Aku Cuma ingin ketemu Kakak.”Tania terdiam. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu, sejak masalah besar yang terjadi antara dirinya dan ayah mereka.“Setelah semua yang terjadi... kamu masih mau datang ke sini?” suara Tania terdengar lebih hati-hati.“Aku tetap adikmu, Kak,” jawab Alisa. “Aku Cuma ingin tahu kabarmu, aku juga rindu... meskipun aku tahu kita sudah lama nggak seperti dulu lagi.”Tania menggigit bibirnya, lalu melirik sekilas ke dalam rumahnya yang sederhana.“Masuklah. Kita bicara di dalam.”Alisa mengangguk, melangkah masuk melewati Juned yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. Namun, saat dia berjalan, tiba-tiba Juned meraih pergelangan tangannya.“Kamu Jamur
Tania berlari ke kamarnya, dia membongkar rak berisi buku. Tangannya dengan cepat menyibak beberapa buku yang tersusun rapi.Setelah menemukan sebuah buku yang dicari, ia membuka kembali catatan kuno yang selama ini dia teliti. Di dalamnya, tertulis hubungan unik antara empat jamur ajaib yang konon memiliki kekuatan luar biasa:“Kekuatan mengalahkan Kekayaan, Kekayaan mengalahkan Kekuasaan, Kekuasaan mengalahkan Kecerdasan, Kecerdasan mengalahkan Kekuatan.” Tania duduk di sebuah meja sambil telunjuknya dengan perlahan menyusuri setiap tulisan dalam buku.Tania mendongak menatap langit kamarnya sambil masih bergumam sendiri. “Jadi hal itu seperti Siklus yang membentuk rantai keseimbangan, seolah-olah masing-masing jamur saling mengimbangi satu sama lain.”Tania menyadari sesuatu—Juned memiliki kekuatan, sementara Marina memiliki kekayaan. Jika benar teori ini berlaku, maka seharusnya Marina akan lemah dengan Juned.Namun, ada satu masalah besar. Juned kehilangan efek jamurnya. “