Saat Vivi pergi ke dapur, Juned tetap duduk di sofa, mencoba menenangkan pikirannya. Novi, yang kini sudah sepenuhnya terbangun, duduk bersila di sofa sambil mengusap matanya.“Mas Juned,” panggil Novi tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit ragu.“Iya, Novi? Kenapa?” jawab Juned santai, menoleh ke arahnya.“Aku tadi mimpi, deh,” kata Novi sambil menatap Juned dengan wajah serius.“Mimpi apa? Seram, ya?” Juned tersenyum kecil, berpikir Novi akan cerita sesuatu yang biasa saja.Novi menggeleng. “Enggak seram, sih... tapi aneh. Dalam mimpi itu aku...” Ia menggantungkan kalimatnya, tampak ragu melanjutkan.“Aku apa, Nov? Kok malah jadi gantung gitu?” Juned mengerutkan keningnya, penasaran.Novi menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara cepat, “Aku mimpi kita pacaran, Mas!”Juned langsung terdiam selama beberapa detik, sebelum akhirnya tertawa keras. “Hahaha, apa-apaan, Nov? Pacaran sama aku? Kamu serius mimpi kayak gitu?”“Iya, Mas!” Novi bersikeras, wajahnya sedikit memerah. “Aku mimpi ki
Mereka bertiga duduk dengan santai, Lalu tiba-tiba Vivi berdiri dari tempat duduknya dan menuju ke kamar. Tak lama kemudian Vivi muncul dari arah kamar sambil membawa sebuah papan permainan ular tangga. Ia meletakkannya di meja ruang tamu dan tersenyum penuh semangat. “Daripada bosan nunggu, gimana kalau kita main ular tangga aja?” tanyanya sambil menatap Juned dan Novi.Juned yang sedang bersandar di sofa mengangkat alis. “Ular tangga? Seriusan, Vi? Sudah lama banget enggak main beginian.”Novi justru terlihat antusias. “Wah, seru tuh, Mbak Vivi! Aku setuju, deh. Tapi... apa cuma main biasa aja?”Vivi tersenyum jahil. “Tentu enggak, dong. Kita kasih hukuman buat yang kalah. Biar lebih menantang.”Juned langsung menggeleng cepat. “Hah? Hukuman? Enggak, enggak. Aku ogah, Vi. Kalau kalah terus dihukum, enggak asyik.”“Ah, Mas Juned penakut banget sih,” balas Novi sambil terkekeh. “Hukumannya kan bisa lucu-lucuan aja. Kayak nyanyi, atau joget aneh.”Vivi mengangguk setuju. “Enggak juga,
Permainan kedua dimulai dengan suasana yang lebih seru. Novi tampak penuh semangat, sedangkan Vivi terlihat serius, bertekad untuk tidak kalah lagi. Juned, di sisi lain, bermain dengan santai meskipun terus digoda oleh kedua lawannya.“Oke, giliran aku!” kata Novi sambil mengambil dadu. Ia menggoyangkannya dengan penuh semangat, lalu melemparkannya ke papan permainan. “Enam lagi! Yes!” serunya dengan penuh kemenangan.Juned hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Kamu curang, ya? Masa bisa dapat enam terus?”“Mana ada curang, Mas Juned. Aku Cuma beruntung,” balas Novi sambil memindahkan pionnya ke depan dan, lagi-lagi, mendarat di kotak tangga. “Lihat, aku naik lagi! Mbak Vivi, Mas Juned, kalian bakal kalah lagi nih!”Vivi mendesah kesal. “Kamu emang ratu keberuntungan, Novi. Tapi tunggu aja, kali ini aku enggak mau kalah!”Ia mengambil dadu dan melemparkannya. Dadu menunjukkan angka empat. “Oke, lumayan,” katanya sambil memindahkan pionnya. Namun, ia mendarat di kotak biasa, ta
Setelah Novi pergi, suasana di rumah menjadi lebih tenang. Vivi membereskan papan permainan yang tadi sempat diacak-acak Novi sebelum pergi, lalu melirik ke arah Juned yang sedang duduk santai di sofa tanpa kaos."Juned," panggil Vivi sambil mengangkat papan permainan ular tangga. "Mau lanjut main berdua enggak?"Juned menoleh, senyumnya sedikit menggoda. "Boleh, tapi nggak usah pakai hukuman aneh-aneh lagi, ya. Enggak ada Novi yang bisa jadi kambing hitam kalau aku kalah."Vivi tertawa kecil dan mulai menyusun papan permainan lagi di lantai. "Tenang aja. Tapi siapa tahu kamu tetap kalah lagi, kan?" ucapnya sambil menyengir.Mereka mulai bermain, bergantian melempar dadu. Namun kali ini, Vivi tampak sedikit gelisah. Matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah tubuh Juned yang masih terbuka, menunjukkan otot dada dan lengannya yang terlihat atletis. Vivi berusaha keras untuk fokus pada permainan, tetapi pikirannya terus terganggu."Giliran kamu, Vivi," kata Juned, membuyarkan lamunan
Malam semakin larut. Vivi membantu Sulastri membereskan beberapa barangnya yang ia bawa seadanya dari rumah. Meski perasaan canggung masih ada, Vivi mulai merasa bahwa ia dan Sulastri memiliki nasib yang tak terlalu berbeda.Saat Juned mengeluarkan bantal dan selimut untuk dirinya sendiri di sofa, Vivi memandanginya sejenak. Ia tak bisa memungkiri, Juned memang memiliki sisi yang peduli dan bertanggung jawab. Namun, dalam situasi ini, Vivi merasa ia juga harus membantu, meski tak tahu bagaimana caranya.“Juned,” panggil Vivi tiba-tiba. “Kalau kamu butuh bantuan, kasih tahu aku, ya. Aku enggak mau cuma diam dan enggak berbuat apa-apa.”Juned tersenyum kecil. “Tenang aja, Vivi. Kita kerja sama buat bantu Sulastri. Tapi malam ini, coba kamu juga istirahat. Besok pasti butuh energi buat memikirkan langkah berikutnya.”Malam semakin larut, dan keheningan menyelimuti rumah Juned. Vivi telah masuk ke kamarnya, sementara Juned sudah tertidur pulas di sofa ruang tengah.Sulastri duduk di dekat
Beberapa saat Sulastri terdiam, ia kembali mendekati Juned. Kini dia terlalu takut untuk menyentuh tubuh Juned setelah hampir saja pria itu bangun.Sulastri memutuskan untuk menyandarkan kepalanya di tepian sofa."Maaf... aku hanya ingin berada di dekatmu walau sebentar aja," katanya pelan, hampir seperti meminta izin pada pria kembali tertidur pulas.Rasa kantuk yang luar biasa menerjang Sulastri seketika hingga akhirnya dia tertidur dalam posisi duduk di lantai, kepalanya bersandar di dekat tubuh Juned. Mereka berdua tenggelam dalam mimpi mereka sendiri-sendiri.Pagi harinya Juned terbangun. Ia merasakan sesuatu bersandar di bahunya dan mendapati Sulastri yang sedang tertidur lelap."Sulastri?" bisik Juned sambil melirik ke arahnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Juned mengusap wajahnya, mencoba mengusir kantuk. Ia menatap Sulastri yang terlihat rapuh dan kelelahan."Ya ampun... kamu pasti kecapekkan," gumam Juned sambil menggeleng. "Tapi enggak bisa dibiarkan tidur di sini."June
Juned keluar dari kamar dengan langkah tergesa membayangkan wajah Sulastri yang memerah karena marah masih terbayang jelas di pikirannya. “Aduh, kenapa aku tadi bisa sampai segitunya? Bodoh banget, Juned!” gumam Juned sambil menepuk keningnya sendiri.Tanpa pikir panjang, ia berjalan ke ruang tengah untuk mengambil pakaian. Setelah mengenakan kaos dan celana seadanya, ia meraih tas kecilnya yang berisi barang-barang penting. “Semoga di klinik bisa menemukan suasana yang tenang. Biar pikiran ini enggak terus ke mana-mana,” katanya sambil melangkah keluar dari rumah.Di luar, udara pagi terasa sejuk. Langit yang mulai cerah tidak cukup untuk meredakan perasaan kalutnya. “Kenapa harus serumit ini, sih?” pikirnya. Ia terus mengingat bagaimana Sulastri memergokinya dalam jarak dekat tadi. “Aku enggak salah apa-apa, tapi kok malah jadi kayak orang bersalah?”Sampai di depan klinik, Juned berhenti sejenak. Ia mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. “Oke, fokus. Ini cuma pagi yang bur
Juned memperlakukan Lastri dengan sangat berhati-hati saat mereka berhubungan badan untuk pertama kalinya. Lastri menunjukkan kesakitan, saat itu Juned akan berhenti.“Apa kamu baik-baik saja?” Tanya Juned kepada perempuan itu.Lastri tidak bisa untuk tidak terenyuh karena tidak menyangka Juned akan memperlakukannya dengan sangat lembut seakan tidak mau menyakitinya. Lastri tak mampu untuk menahan air mata karena merasa ngilu yang luar biasa di bawah sanaPerempuan itu bahkan bisa dengan jelas melihat wajah memuja Juned saat mereka berdua bergelung dalam gairah yang berkobar.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya hingga Lastri merasa hampir gila saat mereka mencapai puncak kenikmatan yang membuat Lastri menggeletar. Pelepasan yang sungguh menakjubkan, walaupun harus dibarengi dengan perih yang menggila.Juned dan Lastri saling merengkuh, menormalkan debaran jantung dan deru napas yang berkejaran, lalu saling berebut oksigen yang menipis di antaranya. Juned berkali-kali menciumi
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di
Alisa mengangguk mantap. “Iya, Kak. Dari yang aku baca di pikirannya, Mas Juned punya kebiasaan ini saat masih normal. Jadi mungkin dengan melakukan sesuatu yang familiar, memorinya bisa kembali.”Tania menghela napas panjang. “Tapi ini tetap terasa aneh…”“Kakak sendiri yang bilang ini terapi, kan?” Alisa tersenyum penuh arti. “Lagipula, Kakak percaya sama aku, kan?”Tania menatap adiknya sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan coba.”Ia kemudian berjalan ke kamar dan mulai mengganti pakaiannya dengan selembar handuk yang melilit tubuhnya. Setelah memastikan semuanya rapi, ia keluar dari kamar dan melihat Juned masih duduk di lantai dengan tatapan kosong.Alisa menyenggol lengan kakaknya. “Ayo, Kak. Mulai aja.”Setelah berhasil mengatur nafasnya, Tania mengibaskan tangannya memberi isyarat agar Alisa meninggalkan ruang tamu.Alisa menatap kakaknya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kakak yakin mau aku keluar?” tanyanya, meski sudah bisa menebak jawaban Tania.Tania
Alisa menatap kakaknya dengan khawatir, tapi dia juga tahu Tania adalah orang yang tak mudah menyerah. "Baiklah... kita coba."Tania lalu menoleh ke Juned dan tersenyum lembut. "Juned... kamu masih ingat caranya memijat, kan?"Alisa kembali mendekati Juned, lalu dengan lembut menyentuh kepalanya. Matanya sedikit terpejam, mencoba meresapi ingatan yang masih tersisa dalam benak pria itu. Tania menatap mereka dengan penuh harap.Beberapa detik kemudian, Alisa membuka matanya dan menatap Tania. “Aku melihatnya.”“Apa yang kamu lihat?” tanya Tania cepat.Alisa menarik napas dalam. “Saat Mas Juned memijat seseorang, dia selalu memulainya dengan perlahan. Dia akan meraba bagian tubuh yang sakit atau pegal dengan tangannya terlebih dahulu, lalu dia menekan dengan lembut untuk mencari titik yang paling membutuhkan pijatan.”Tania mengangguk, mencatat dalam pikirannya. “Lalu?”“Setelah menemukan titik yang tepat, dia akan menggunakan ibu jari dan telapak tangannya untuk memberikan tekanan. Di
Alisa menggigit bibirnya sebelum akhirnya bercerita. “Sebelum kecelakaan itu, aku pernah menemukan jamur yang tumbuh di dekat sekolahku. Aku membawanya pulang, namun setelah aku sadar dari kecelakaan. Di hadapan Mas Juned dan Pembantunya, mereka tak sengaja melihat jamur itu di kantongku. Lalu mereka bercerita tentang jamur ajaib. Aku penasaran, terus aku nekat coba makan.”Tania semakin terkejut. “Kamu makan jamur itu?! Terus, apa yang terjadi?”Alisa terlihat ragu sebelum akhirnya berkata, “Setelah makan jamur itu... aku mulai merasa kepalaku pusing lalu kembali pingsan. Mas Juned panik lalu membawa ke rumah temannya yang kaya. Setelah sadar kepalaku menjadi ringan, kayak semua hal jadi lebih gampang dipahami. Aku jadi ngerti pelajaran tanpa perlu belajar keras, aku bisa ingat sesuatu yang cuma kulihat sekilas... Bahkan aku bisa menyelesaikan puzzle yang belum pernah aku lihat, kak.”Tania terdiam, menyusun potongan-potongan informasi di kepalanya.“Berarti jamur yang kamu makan
“Alisa?” gumam Tania pelan.Tania menatap Alisa dengan heran saat adiknya itu masih berdiri di depan pagar.Alisa mengangguk kecil, masih terlihat ragu-ragu. “Kak...”Tania menghela napas, melirik sekilas ke arah Juned. “Kamu kenapa tiba-tiba ke sini?”Alisa menunduk sebentar sebelum menatap kakaknya lagi. “Aku Cuma ingin ketemu Kakak.”Tania terdiam. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu, sejak masalah besar yang terjadi antara dirinya dan ayah mereka.“Setelah semua yang terjadi... kamu masih mau datang ke sini?” suara Tania terdengar lebih hati-hati.“Aku tetap adikmu, Kak,” jawab Alisa. “Aku Cuma ingin tahu kabarmu, aku juga rindu... meskipun aku tahu kita sudah lama nggak seperti dulu lagi.”Tania menggigit bibirnya, lalu melirik sekilas ke dalam rumahnya yang sederhana.“Masuklah. Kita bicara di dalam.”Alisa mengangguk, melangkah masuk melewati Juned yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. Namun, saat dia berjalan, tiba-tiba Juned meraih pergelangan tangannya.“Kamu Jamur
Tania berlari ke kamarnya, dia membongkar rak berisi buku. Tangannya dengan cepat menyibak beberapa buku yang tersusun rapi.Setelah menemukan sebuah buku yang dicari, ia membuka kembali catatan kuno yang selama ini dia teliti. Di dalamnya, tertulis hubungan unik antara empat jamur ajaib yang konon memiliki kekuatan luar biasa:“Kekuatan mengalahkan Kekayaan, Kekayaan mengalahkan Kekuasaan, Kekuasaan mengalahkan Kecerdasan, Kecerdasan mengalahkan Kekuatan.” Tania duduk di sebuah meja sambil telunjuknya dengan perlahan menyusuri setiap tulisan dalam buku.Tania mendongak menatap langit kamarnya sambil masih bergumam sendiri. “Jadi hal itu seperti Siklus yang membentuk rantai keseimbangan, seolah-olah masing-masing jamur saling mengimbangi satu sama lain.”Tania menyadari sesuatu—Juned memiliki kekuatan, sementara Marina memiliki kekayaan. Jika benar teori ini berlaku, maka seharusnya Marina akan lemah dengan Juned.Namun, ada satu masalah besar. Juned kehilangan efek jamurnya. “