Beberapa saat Sulastri terdiam, ia kembali mendekati Juned. Kini dia terlalu takut untuk menyentuh tubuh Juned setelah hampir saja pria itu bangun.Sulastri memutuskan untuk menyandarkan kepalanya di tepian sofa."Maaf... aku hanya ingin berada di dekatmu walau sebentar aja," katanya pelan, hampir seperti meminta izin pada pria kembali tertidur pulas.Rasa kantuk yang luar biasa menerjang Sulastri seketika hingga akhirnya dia tertidur dalam posisi duduk di lantai, kepalanya bersandar di dekat tubuh Juned. Mereka berdua tenggelam dalam mimpi mereka sendiri-sendiri.Pagi harinya Juned terbangun. Ia merasakan sesuatu bersandar di bahunya dan mendapati Sulastri yang sedang tertidur lelap."Sulastri?" bisik Juned sambil melirik ke arahnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Juned mengusap wajahnya, mencoba mengusir kantuk. Ia menatap Sulastri yang terlihat rapuh dan kelelahan."Ya ampun... kamu pasti kecapekkan," gumam Juned sambil menggeleng. "Tapi enggak bisa dibiarkan tidur di sini."June
Juned keluar dari kamar dengan langkah tergesa membayangkan wajah Sulastri yang memerah karena marah masih terbayang jelas di pikirannya. “Aduh, kenapa aku tadi bisa sampai segitunya? Bodoh banget, Juned!” gumam Juned sambil menepuk keningnya sendiri.Tanpa pikir panjang, ia berjalan ke ruang tengah untuk mengambil pakaian. Setelah mengenakan kaos dan celana seadanya, ia meraih tas kecilnya yang berisi barang-barang penting. “Semoga di klinik bisa menemukan suasana yang tenang. Biar pikiran ini enggak terus ke mana-mana,” katanya sambil melangkah keluar dari rumah.Di luar, udara pagi terasa sejuk. Langit yang mulai cerah tidak cukup untuk meredakan perasaan kalutnya. “Kenapa harus serumit ini, sih?” pikirnya. Ia terus mengingat bagaimana Sulastri memergokinya dalam jarak dekat tadi. “Aku enggak salah apa-apa, tapi kok malah jadi kayak orang bersalah?”Sampai di depan klinik, Juned berhenti sejenak. Ia mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. “Oke, fokus. Ini cuma pagi yang bur
Juned memperlakukan Lastri dengan sangat berhati-hati saat mereka berhubungan badan untuk pertama kalinya. Lastri menunjukkan kesakitan, saat itu Juned akan berhenti.“Apa kamu baik-baik saja?” Tanya Juned kepada perempuan itu.Lastri tidak bisa untuk tidak terenyuh karena tidak menyangka Juned akan memperlakukannya dengan sangat lembut seakan tidak mau menyakitinya. Lastri tak mampu untuk menahan air mata karena merasa ngilu yang luar biasa di bawah sanaPerempuan itu bahkan bisa dengan jelas melihat wajah memuja Juned saat mereka berdua bergelung dalam gairah yang berkobar.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya hingga Lastri merasa hampir gila saat mereka mencapai puncak kenikmatan yang membuat Lastri menggeletar. Pelepasan yang sungguh menakjubkan, walaupun harus dibarengi dengan perih yang menggila.Juned dan Lastri saling merengkuh, menormalkan debaran jantung dan deru napas yang berkejaran, lalu saling berebut oksigen yang menipis di antaranya. Juned berkali-kali menciumi
Juned menegakkan tubuhnya, menatap Novi dengan ekspresi datar. “Kenapa tanya begitu?”“Ya, soalnya tadi aku lihat kalian keluar dari ruang pijat, dan juga kelihatan agak… ya, berantakan,” jawab Novi sambil mengamati Juned dengan saksama.Juned menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Novi, aku Cuma bantu Sulastri. Dia lagi ada masalah besar, dan butuh tempat untuk menenangkan diri.”“Masalah besar? Apa maksud Mas Juned?” Novi semakin penasaran, matanya membulat.Juned akhirnya bersandar di kursi, menatap Novi dengan serius. “Sulastri dipaksa menikah sama Sugeng. Orang tuanya enggak mau dengar penolakannya. Jadi dia kabur dari rumah.”Novi terdiam sejenak, terkejut dengan jawaban itu. “Dipaksa menikah? Itu serius banget, Mas… Jadi dia kabur ke sini?”Juned mengangguk. “Iya. Dia minta tolong sama aku untuk sembunyi sementara waktu. Aku enggak tega menolaknya, Novi. Lagipula sepertinya dia enggak punya tempat lain untuk pergi.”“Mas Juned benar-benar baik, ya…” Novi
Juned berjalan cepat menuju rumahnya, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya. Ia harus segera memberitahu Lastri bahwa ayahnya dan Sugeng sedang mencarinya. Saat memasuki rumah, Juned langsung memanggil, “Lastri! Kamu di mana?”Vivi yang sedang membereskan meja makan, menoleh dengan wajah bingung. “Juned, kenapa kok teriak-teriak begitu? Ada apa emangnya?“Mana Lastri?” tanya Juned dengan nada panik. “Barusan ayahnya dan Sugeng datang ke klinik, mereka mencari Lastri sambil marah-marah.”Vivi mengernyit, merasa ikut khawatir. “Lastri lagi mandi, Jun. Tadi dia bilang badannya gerah, jadi dia mau bersihin diri dulu.”Juned menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. “Oh, ya sudah. Kalau dia keluar, bilang aku mau bicara. Ini penting.”Vivi menatap kakaknya dengan raut serius. “Jun, apa orang-orang tahu Lastri ada di sini?”Juned menggeleng. “Sejauh ini, tidak ada yang tahu. Tapi mereka curiga. Apalagi tadi Sugeng yang ikut ke klinik juga menuduhku menyembunyikannya.”Vivi menghela n
“Kalau begitu, aku mau ke dapur. Kalian lanjutin aja obrolannya,” kata Vivi singkat sebelum berdiri dan berjalan menjauh.Setelah Vivi berlalu ke dapur, suasana di ruang tengah terasa lebih tenang. Juned duduk kembali di kursinya, sementara Lastri tersenyum kecil, seperti ingin memulai pembicaraan yang lebih santai.“Jun, kelihatannya tegang banget sih?” tanya Lastri sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai, menambah kesan seksi dan menggoda.Juned mencoba tersenyum, meski rasa cemas masih ada di pikirannya. “Ya, gimana enggak tegang? Kalau sampai ayahmu tahu kamu di sini, bisa gawat juga.”Lastri tertawa kecil, nada suaranya ringan seolah masalah itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. “Sudah, Jun. Enggak usah dipikirkan terlalu. Lagian, aku enggak mau kamu jadi stres gara-gara aku.”Juned menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Aku cuma enggak mau ada hal buruk terjadi. Aku enggak mau lihat kamu terluka atau.”Last
Tanpa menunggu jawaban dari mereka, Juned segera keluar rumah dan menuju kliniknya. Setibanya di sana, ia mendapati Novi, sedang duduk di meja depan, tampak sibuk dengan ponselnya.Saat di klinik, Juned duduk di kursinya dengan ekspresi suntuk. Tangannya menopang dagu, sementara tatapan matanya kosong menatap meja di depannya. Novi yang duduk di meja resepsionis memperhatikan sikap Juned yang berbeda dari biasanya.“Mas Juned, ada apa? Kok kelihatan murung banget?” tanya Novi dengan nada prihatin, sembari meletakkan ponsel di depannya.Juned mendongak, menatap Novi sejenak sebelum menghela napas panjang. “Enggak apa-apa, Novi. Cuma lagi pusing aja.”Novi mengerutkan kening, lalu berdiri dari kursinya dan mendekati Juned. “Pusing kenapa, mas? Kalau Mas Juned mau cerita, mungkin aku bisa bantu.”Juned sempat ragu, tapi akhirnya ia membuka suara. “Di rumah barusan, Lastri dan Vivi ribut. Mereka kayak enggak akur, saling sindir, bahkan bikin suasana jadi enggak nyaman.”“Oh, jadi itu seba
Juned segera bangkit dari kursinya dan menghampiri pria tersebut. “Silakan duduk di sini dulu, Pak,” katanya sambil membantu pria itu duduk di kursi tunggu dengan hati-hati.Pria itu mengerang pelan sambil memegangi kakinya yang tampak bengkak. “Aduh... sakit sekali, Juned,” katanya, Juned menenangkan pria itu. “Bapak tenang dulu, ya. Saya akan periksa sebentar.” Ia langsung memeriksa kondisi kaki pasien. Sementara itu, Novi segera mencatat identitas pasien dan membawakan segelas air untuk istri pria tersebut.Juned berjongkok di depan pasien, dengan hati-hati menyentuh kaki yang cedera. “Kaki kanan ini ya, Pak, yang sakit?” tanyanya sambil memeriksa area yang bengkak.Pria itu mengangguk sambil mengernyit. “Iya, aku tadi terpeleset waktu mau turun tangga. Rasanya ada yang ‘krek’ di sini,” katanya, menunjuk bagian tulang keringnya.Juned mengangguk sambil mengamati lebih dekat. “Sepertinya ini patah tulang tertutup, Pak. Tapi untuk memastikan, Bapak perlu rontgen ke rumah sakit supay
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di
Alisa mengangguk mantap. “Iya, Kak. Dari yang aku baca di pikirannya, Mas Juned punya kebiasaan ini saat masih normal. Jadi mungkin dengan melakukan sesuatu yang familiar, memorinya bisa kembali.”Tania menghela napas panjang. “Tapi ini tetap terasa aneh…”“Kakak sendiri yang bilang ini terapi, kan?” Alisa tersenyum penuh arti. “Lagipula, Kakak percaya sama aku, kan?”Tania menatap adiknya sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan coba.”Ia kemudian berjalan ke kamar dan mulai mengganti pakaiannya dengan selembar handuk yang melilit tubuhnya. Setelah memastikan semuanya rapi, ia keluar dari kamar dan melihat Juned masih duduk di lantai dengan tatapan kosong.Alisa menyenggol lengan kakaknya. “Ayo, Kak. Mulai aja.”Setelah berhasil mengatur nafasnya, Tania mengibaskan tangannya memberi isyarat agar Alisa meninggalkan ruang tamu.Alisa menatap kakaknya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kakak yakin mau aku keluar?” tanyanya, meski sudah bisa menebak jawaban Tania.Tania
Alisa menatap kakaknya dengan khawatir, tapi dia juga tahu Tania adalah orang yang tak mudah menyerah. "Baiklah... kita coba."Tania lalu menoleh ke Juned dan tersenyum lembut. "Juned... kamu masih ingat caranya memijat, kan?"Alisa kembali mendekati Juned, lalu dengan lembut menyentuh kepalanya. Matanya sedikit terpejam, mencoba meresapi ingatan yang masih tersisa dalam benak pria itu. Tania menatap mereka dengan penuh harap.Beberapa detik kemudian, Alisa membuka matanya dan menatap Tania. “Aku melihatnya.”“Apa yang kamu lihat?” tanya Tania cepat.Alisa menarik napas dalam. “Saat Mas Juned memijat seseorang, dia selalu memulainya dengan perlahan. Dia akan meraba bagian tubuh yang sakit atau pegal dengan tangannya terlebih dahulu, lalu dia menekan dengan lembut untuk mencari titik yang paling membutuhkan pijatan.”Tania mengangguk, mencatat dalam pikirannya. “Lalu?”“Setelah menemukan titik yang tepat, dia akan menggunakan ibu jari dan telapak tangannya untuk memberikan tekanan. Di
Alisa menggigit bibirnya sebelum akhirnya bercerita. “Sebelum kecelakaan itu, aku pernah menemukan jamur yang tumbuh di dekat sekolahku. Aku membawanya pulang, namun setelah aku sadar dari kecelakaan. Di hadapan Mas Juned dan Pembantunya, mereka tak sengaja melihat jamur itu di kantongku. Lalu mereka bercerita tentang jamur ajaib. Aku penasaran, terus aku nekat coba makan.”Tania semakin terkejut. “Kamu makan jamur itu?! Terus, apa yang terjadi?”Alisa terlihat ragu sebelum akhirnya berkata, “Setelah makan jamur itu... aku mulai merasa kepalaku pusing lalu kembali pingsan. Mas Juned panik lalu membawa ke rumah temannya yang kaya. Setelah sadar kepalaku menjadi ringan, kayak semua hal jadi lebih gampang dipahami. Aku jadi ngerti pelajaran tanpa perlu belajar keras, aku bisa ingat sesuatu yang cuma kulihat sekilas... Bahkan aku bisa menyelesaikan puzzle yang belum pernah aku lihat, kak.”Tania terdiam, menyusun potongan-potongan informasi di kepalanya.“Berarti jamur yang kamu makan
“Alisa?” gumam Tania pelan.Tania menatap Alisa dengan heran saat adiknya itu masih berdiri di depan pagar.Alisa mengangguk kecil, masih terlihat ragu-ragu. “Kak...”Tania menghela napas, melirik sekilas ke arah Juned. “Kamu kenapa tiba-tiba ke sini?”Alisa menunduk sebentar sebelum menatap kakaknya lagi. “Aku Cuma ingin ketemu Kakak.”Tania terdiam. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu, sejak masalah besar yang terjadi antara dirinya dan ayah mereka.“Setelah semua yang terjadi... kamu masih mau datang ke sini?” suara Tania terdengar lebih hati-hati.“Aku tetap adikmu, Kak,” jawab Alisa. “Aku Cuma ingin tahu kabarmu, aku juga rindu... meskipun aku tahu kita sudah lama nggak seperti dulu lagi.”Tania menggigit bibirnya, lalu melirik sekilas ke dalam rumahnya yang sederhana.“Masuklah. Kita bicara di dalam.”Alisa mengangguk, melangkah masuk melewati Juned yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. Namun, saat dia berjalan, tiba-tiba Juned meraih pergelangan tangannya.“Kamu Jamur
Tania berlari ke kamarnya, dia membongkar rak berisi buku. Tangannya dengan cepat menyibak beberapa buku yang tersusun rapi.Setelah menemukan sebuah buku yang dicari, ia membuka kembali catatan kuno yang selama ini dia teliti. Di dalamnya, tertulis hubungan unik antara empat jamur ajaib yang konon memiliki kekuatan luar biasa:“Kekuatan mengalahkan Kekayaan, Kekayaan mengalahkan Kekuasaan, Kekuasaan mengalahkan Kecerdasan, Kecerdasan mengalahkan Kekuatan.” Tania duduk di sebuah meja sambil telunjuknya dengan perlahan menyusuri setiap tulisan dalam buku.Tania mendongak menatap langit kamarnya sambil masih bergumam sendiri. “Jadi hal itu seperti Siklus yang membentuk rantai keseimbangan, seolah-olah masing-masing jamur saling mengimbangi satu sama lain.”Tania menyadari sesuatu—Juned memiliki kekuatan, sementara Marina memiliki kekayaan. Jika benar teori ini berlaku, maka seharusnya Marina akan lemah dengan Juned.Namun, ada satu masalah besar. Juned kehilangan efek jamurnya. “