Juned segera bangkit dari kursinya dan menghampiri pria tersebut. “Silakan duduk di sini dulu, Pak,” katanya sambil membantu pria itu duduk di kursi tunggu dengan hati-hati.Pria itu mengerang pelan sambil memegangi kakinya yang tampak bengkak. “Aduh... sakit sekali, Juned,” katanya, Juned menenangkan pria itu. “Bapak tenang dulu, ya. Saya akan periksa sebentar.” Ia langsung memeriksa kondisi kaki pasien. Sementara itu, Novi segera mencatat identitas pasien dan membawakan segelas air untuk istri pria tersebut.Juned berjongkok di depan pasien, dengan hati-hati menyentuh kaki yang cedera. “Kaki kanan ini ya, Pak, yang sakit?” tanyanya sambil memeriksa area yang bengkak.Pria itu mengangguk sambil mengernyit. “Iya, aku tadi terpeleset waktu mau turun tangga. Rasanya ada yang ‘krek’ di sini,” katanya, menunjuk bagian tulang keringnya.Juned mengangguk sambil mengamati lebih dekat. “Sepertinya ini patah tulang tertutup, Pak. Tapi untuk memastikan, Bapak perlu rontgen ke rumah sakit supay
Ucapan itu membuat Juned terdiam sejenak. Ia menatap Novi dengan ekspresi bingung, seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Novi, kamu serius? Jangan bercanda, ya.”“Aku serius, Kak,” Novi menegaskan, suaranya bergetar namun tetap tegas. “Sejak kamu datang ke rumah untuk menawarkan pekerjaan, sejak itu pula aku selalu memikirkanmu, tapi aku enggak pernah berani bilang. Mas Juned itu... beda dari laki-laki lain. Kamu perhatian, sabar, dan... aku merasa aman kalau dekat Mas Juned.”Juned menghela napas panjang. Ia menatap Novi dengan lembut, namun ada nada penolakan dalam suaranya. “Novi, dengar ya. Aku menghargai perasaan kamu, tapi Aku enggak bisa. Aku menganggap kamu seperti adikku sendiri. Kamu juga orang yang menyenangkan.”Novi menunduk, wajahnya tampak kecewa. “Tapi kenapa, mas? Apa karena aku lebih muda? Atau karena Kamu sudah suka sama orang lain?”Juned tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana. “Bukan begitu, Novi. Kadang, rasa nyaman itu enggak selalu berart
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong baginya. Hatinya langsung terasa seperti dihantam batu besar. Ia menelan ludah, berusaha meredam perasaannya yang tiba-tiba bergejolak.“Mas Juned, serius?” tanya Novi dengan suara bergetar, meskipun ia mencoba menutupi emosinya.Juned mengangguk perlahan. “Aku enggak lihat cara lain, Novi. Mungkin dengan aku menikahinya, keluarganya enggak bisa memaksa dia menikah dengan Sugeng.”Novi menatap Juned dengan tatapan campur aduk. Antara kaget, kecewa, dan khawatir. Ia mencoba bersikap realistis meski hatinya hancur mendengar keputusan itu. “Tapi, mas… apa Kamu enggak mikir panjang? Menikahi mbak Lastri itu seperti... seperti bunuh diri. Keluarganya pasti enggak akan terima. Sugeng juga enggak akan tinggal diam. Dia bisa lebih nekat untuk menyakitimu.”Juned terdiam sejenak, menatap lantai dengan mata yang terlihat bimbang. “Aku akan pikirkan lagi, Novi. Semoga saja aku akan dapat menemukan cara lain.”Percakapan Juned dan Novi terhenti ketika b
Juned, yang merasa penasaran dan tak tenang dengan siapa wanita yang bersama Anton, memutuskan untuk mengikuti mobil Anton dari kejauhan. Ia memastikan jaraknya cukup aman agar Anton tidak menyadari dirinya diikuti. Akhirnya mobil Anton berhenti di depan sebuah rumah Anton, Juned memarkir motornya di sudut jalan, lalu berjalan pelan menuju pagar rumah Anton memilih tempat yang cukup tersembunyi untuk mengintip ke dalam. Di sana, ia melihat Anton keluar dari mobil bersama wanita itu. Anton dengan santainya merangkul bahu wanita tersebut, sementara wanita itu tertawa kecil, tampak nyaman dengan kedekatan mereka.“Aku tak tahu apa yang dirasakan tante Lilis kalau melihat ini.” Gumam Juned.Juned mengendap-endap mendekati jendela ruang tamu. Dari celah tirai, ia melihat Anton dan wanita itu duduk di sofa di mana Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Anton, sementara tangan Anton membelai rambutnya dengan mesra. Mereka tampak begitu intim, seolah tidak ada yang salah dengan perbuatan
Sesampainya di rumah, suasana terasa begitu sunyi. Vivi dan Lastri masih belum terlihat. Juned masuk ke dalam rumah sambil menyalakan lampu ruang tamu, mencoba mengusir kegelisahannya.Namun, meski sudah berada di tempat yang seharusnya nyaman, pikiran Juned tetap tak tenang. Ia duduk di sofa, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata pria tua itu terus terngiang di kepalanya, seolah mengingatkan Juned akan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.“Kalau memang dia bukan manusia… apa dia tadi mencoba menolongku?” gumam Juned pelan. Ia merasa merinding lagi, namun kali ini bukan karena takut, melainkan karena sebuah rasa aneh yang sulit dijelaskan.Juned berpindah tempat duduk ke kursi depan rumah, mencoba menenangkan pikirannya setelah semua kejadian hari itu, dikejutkan oleh suara sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumahnya. Ia mengangkat wajah, melihat pintu taksi terbuka, dan keluar Lilis serta Vivi bersama seorang wanita bercadar.Juned mengerutkan alis, bingung. Ia bangkit d
Lilis bangkit dari sofa sambil merapikan bajunya. Ia menatap Juned dan Vivi dengan senyuman tipis. “Aku pamit dulu ya. Hari ini Anton suda pulang, jadi aku harus buru-buru balik,” katanya sambil mengambil tasnya.Juned tampak ragu sejenak, ingin mengatakan sesuatu. “Tante Lilis, tunggu. Ada yang mau aku bicarakan denganmu...” ucap Juned dengan nada mendesak.Namun Lilis mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia sempat melanjutkan. “Juned, lain kali aja ya. Aku benar-benar harus pulang sekarang,” katanya dengan cepat sebelum bergegas menuju pintu.Juned hanya bisa menatap punggung Lilis yang semakin menjauh. Ia menghela napas panjang, rasa khawatir jelas terpancar di wajahnya. Sementara itu Lastri menuju ke dapur sambil membawa beberapa kantong belanjaan. Vivi, yang memperhatikan ekspresi Juned, akhirnya membuka suara. “Juned, tadi mau bicara apa dengan mbak Lilis?”Juned menatap Vivi sejenak, lalu memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Aku tadi sempat bertemu Anton d
Setelah makan malam selesai, Juned, Lastri, dan Vivi duduk santai di ruang tengah. Lastri menata sisa makanan yang belum dibereskan, sementara Vivi menyalakan kipas angin agar udara lebih sejuk. Juned bersandar di sofa dengan wajah puas, merasa kenyang setelah diperlakukan seperti raja oleh kedua wanita itu.“Eh, Juned,” Lastri tiba-tiba memecah kesunyian, “Masih ingat enggak waktu kecil dulu, kita sering main di sungai dekat sawah? Kamu selalu yang paling takut kalau diajak lompat dari batu besar ke air.” Lastri tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan.June langsung menimpali dengan senyum yang agak malu. “Habisnya, kalian tuh nekat banget! Batu itu kan licin. Kalau terpeleset gimana? Aku enggak mau jatuh dan jadi bahan ketawaan kalian.”Vivi terkekeh mendengar celotehan mereka. “Iya, aku ingat banget. Juned selalu berdiri di tepi sungai, mukanya tegang banget, sementara aku sama Lastri sudah lompat duluan. Tapi anehnya, kamu selalu mau ikut kalau diajak. Padahal sudah tahu bak
“Aaaaah!!!” Vivi dan Lastri langsung menjerit bersamaan. Mereka berdua melompat dari tempat duduk dan memeluk tubuh Juned dari kedua sisi dengan tiba-tiba.“Jun! Itu tadi suara apa?!” tanya Lastri dengan suara gemetar.Juned, yang sebenarnya juga terkejut, mencoba tenang. “Ssst, kalian tenang dulu. Mungkin itu hanya suara kucing atau apa.”“Kucing dari mana, Jun?! Kamu enggak pelihara kucing!” Vivi masih memeluk erat lengan Juned, wajahnya penuh ketakutan.Kedua gundukan Vivi begitu terasa menyenggol lengan Juned.Juned menghela napas panjang dan mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka. “Ya sudah kalau begitu, biar aku cek dulu. Kalian tunggu di sini.”“Jun, jangan pergi sendiri! Nanti kalau ada apa-apa gimana?” Vivi memegang tangan Juned erat, menahan agar Juned tidak beranjak dari duduknya.Lastri mengangguk, suaranya masih gemetar. “Iya, Jun, kita lihat bareng-bareng aja. Kami enggak berani kalau di sini berdua.”Juned menatap mereka berdua, yang kini terlihat seperti anak keci
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga
Juned menopang tubuh Bu Ningsih yang limbung di pelataran klub, angin malam menerbangkan ujung gaun anggurnya.“Aku tak bisa pulang seperti ini,” ucap Bu Ningsih dengan bibir yang sudah tak jelas pengucapannya.“Di sebelah... ada hotel. Aku akan menginap saja.”Juned mengamati bangunan hotel sederhana yang berdiri tepat di samping klub. Lampu neon di depannya berkedip-kedip menampilkan tulisan “Hotel Mawar”. “Baik, Bu. Saya antar ke sana,” jawab Juned perlahan. Di lobi hotel yang sempit, resepsionis setengah baya mengangkat alis melihat mereka masuk. “Kamar untuk satu malam,” pinta Juned sambil menopang Bu Ningsih yang mulai mengantuk. Resepsionis itu mengeluarkan kunci kamar. “Nomor 204. Lantai dua. Lift di sebelah kanan.”Di dalam lift yang reyot, Bu Ningsih bersandar di dinding, matanya setengah terpejam. “Terima kasih... sudah menemaniku malam ini,” ucapnya dengan suara serak. Kamar hotel itu sederhana namun bersih. Juned menuntun Bu Ningsih yang limbung ke arah tempat t
Taksi berhenti di depan klub dengan lampu neon berwarna ungu yang berkedip-kedip. Suara musik yang menggelegar sudah terdengar dari luar. “Kita benar-benar akan masuk ke sini, Bu?” tanya Juned ragu, menatap kerumunan orang berpakaian modis di depan pintu. Bu Ningsih tersenyum girang seperti gadis muda. “Ayo, Juned! Aku ingin merasakan lagi bagaimana jadi orang bebas. Malam ini, lupakan semua masalah!”Dengan langkah mantap, Bu Ningsih menarik Juned yang masih ragu menuju pintu masuk. Penjaga pintu menyambut mereka dengan ramah sesuai prosedur yang diterapkan di tempat itu.“Selamat malam Tuan dan Nyonya, apakah anda sudah ada reservasi sebelumnya?” tanya penjaga. “Tidak, kami hanya ingin bersenang-senang sebentar,” jawab Bu Ningsih polos. Setelah membayar tiket masuk, mereka disambut gelombang musik yang mengguncang dada. Lampu laser berwarna-warni menyapu ruangan penulis orang menari. “Wah, sudah lama aku tidak ke tempat seperti ini!” teriak Bu Ningsih di telinga Juned agar
Bu Ningsih mengatupkan mata sejenak. “Tekanan dari mana-mana. Perusahaan tambang, warga yang terpecah... Aku khawatir dia tidak kuat.” Tangannya gemetar memegang lengan Juned. “Aku mengerti apa yang telah terjadi antara kamu dan suamiku.”Juned melempar pandangannya sesekali. Ingatannya kembali ke masa saat dia masih di kampung—Pak Kepala desa yang bersekongkol dengan Anton untuk menindas warga yang lemah.“Tapi Bu, saya sekarang sudah tak...”Bu Ningsih memandangnya tajam. “Kamu satu-satunya orang yang berani melawan Anton.” Juned menyeruput kopi hitam untuk menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bicara. “Hal yang di alami oleh Pak Kepala desa sudah menjadi konsekuensinya sebagai seorang pemimpin. Apa ibu mengerti kalau aku kehilangan banyak hal karena menentang mereka?”Bu Ningsih mengangkat wajahnya. Ada garis-garis air mata yang mengering di pipinya. “Ya, aku mengerti.”Juned sedikit merasa iba kepada Bu Ningsih. Namun untuk saat ini strategi melawan Anton tak bisa diseba
Juned berhenti sejenak, tangannya masih menempel di pundak Rizka. “Kenapa bertanya seperti itu, Mbak?” Rizka menggeleng, wajahnya memerah. Desakan hasrat dan rasa penasaran yang mulai menggerogoti moralitasnya. Sudah terlalu lama suaminya tak menyentuhnya, terlalu lama ia merasa diabaikan. Dan sekarang, di rumah sunyi ini, dengan Juned yang begitu dekat, rasanya sulit untuk tetap kuat. “Tidak... aku hanya...” Rizka tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Juned memandangnya, matanya membaca kegelisahan di wajah Rizka. Ia tahu apa yang terjadi, dan meski hatinya juga bergejolak, ia mencoba menahan diri. Tapi godaan itu terlalu besar. “Mbak Rizka...” ucapnya pelan, tangannya tanpa sadar bergerak ke pinggangnya. Rizka menahan napas. Detak jantungnya begitu kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seolah tak mau menurut. “Mas, aku...” Juned mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Rizka. Nafasnya hangat, membelai kulit Rizka yang sudah
Rizka langsung menunduk, tangannya bergetar. “Aku... aku masih belum tahu...”“Bagaimana kalau aku berikan sedikit terapi di tanganmu sekarang?” Juned langsung meraih tangan Rizka.Jantung dan aliran darah Rizka berdenyut lebih kencang saat tangan kasar Juned meraba telapak tangannya.Rizka mencoba menarik kembali tangannya. “Mas, jangan begini. Aku takut suamiku–”“Tidak akan, suami kamu pulang jam sembilan. Ini hanya pijatan tangan saja.” Juned tak melepaskan tangan Rizka yang halus.Rizka mengisap bibir bawahnya, merasakan sentuhan Juned yang terampil di bawah bahan kemejanya. “Pijatan... memang enak,” bisiknya, tanpa sadar membiarkan pergelangan tangannya lebih rileks. Juned menggeser posisi, memastikan tangannya tidak menyentuh bagian yang tidak pantas. “Teknik khusus untuk relaksasi. Coba fokus pada tarikan napas.”Jari-jarinya berpindah dengan presisi dari telapak tangan ke pergelangan, menekan titik-titik akupresur. Rizka menutup mata, tapi tiba-tiba membukanya lebar ke
“Tapi kita butuh backup. Aku tidak bisa mengawasi pertemuanmu besok sendirian.”Juned meraih tangan Tania dengan lembut, membuka kepalan jarinya satu per satu. “Percayalah padaku,” bisiknya, matanya memancarkan keteguhan. “Aku hanya akan bersikap normal seperti biasa. Tidak lebih.”Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Yang lebih mengkhawatirkan aku justru keselamatanmu. Jika sampai ada yang tahu kau sedang menyelidiki mega proyek Anton Perkasa, Cakra Buana, dan Bumi Marina...”Tania menatap Juned, melihat bayangan ketakutan yang jarang terlihat di mata pasangannya itu. “Aku akan berhati-hati,” janjinya, memutar tangan sehingga kini dialami yang menggenggam Juned. “Tapi kau harus berjanji—”“Aku tahu,” Juned menyela dengan senyum kecil. “Tidak heroik. Tidak mengambil risiko. Jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung pergi.”Tania mengangkat tangan sambil menutup mulut yang menguap lebar. “Maaf ya, sayang. Aku mau tidur duluan. Lelah sekali hari ini,” ujarnya sambil berj
Tania tiba-tiba berdiri. “Kita harus segera kembali. Aku perlu memeriksa ulang semua dokumen tentang kasus yang melibatkan Anton Perkasa maupun Cakra Buana.”Juned mengangguk otomatis, tapi matanya kosong.Matahari tepat di atas kepala ketika mereka bersiap berpamitan dari warung tenda itu. Jam menunjukkan pukul 2 siang.“Tania... anakku,” Pak Samijo memegang bahu Tania erat-erat, matanya berkaca-kaca. “Kau tumbuh menjadi wanita hebat. Ibumu pasti bangga.”Tania tersenyum lembut, kali ini tanpa beban. “Terima kasih, Pak... Ayah.” Kata “ayah” diucapkannya dengan suara kecil, tapi penuh makna. Samijo kemudian memandang Juned, matanya berbinar. “Dan kau, Juned... ternyata lelaki yang jauh lebih baik dari yang pantas kudapatkan untuk menantuku.” Tangannya yang kasar menepuk bahu Juned dengan hangat. “Dulu aku salah menilaimu."Juned tersenyum, rasa dendamnya telah menguap digantikan kehangatan yang tak terduga. “Sudah lama berlalu, Pak." “Kalian berdua... sangat cocok," ujar Samij
Juned menatap bingung antara Tania dan Pak Samijo. "Tania, apa—" "Dia adalah ayah kandungku," bisik Tania tiba-tiba, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Pak Samijo terdorong bangkit dari kursinya, wajahnya pucat pasi. "Tidak mungkin... Mirna bilang bayinya—" "Bayinya meninggal?" Tania menyelesaikan kalimatnya dengan lembut. "Ibu berbohong karena Anda mengusirnya saat hamil."Juned ternganga, tangannya tanpa sadar meraih lengan Tania. "Tapi... selama ini kau tidak pernah—"Yang mengejutkan Juned, Tania justru tersenyum kecil - senyum yang penuh pengertian, bukan kemarahan. "Aku menemukan surat-surat ibu seminggu lalu," lanjut Tania dengan suara jernih. "Dia menulis bagaimana Anda sebenarnya menyesal, tapi tidak tahu cara menemukannya lagi setelah dia pindah ke kota." Pak Samijo jatuh berlutut, air matanya mengalir deras. "Aku... aku tidak pantas—" Tania tiba-tiba meraih tangan Pak Samijo yang keriput. "Tidak," bisiknya. "Kita semua punya kesalahan. Tapi darah tetap dara