Juned, yang merasa penasaran dan tak tenang dengan siapa wanita yang bersama Anton, memutuskan untuk mengikuti mobil Anton dari kejauhan. Ia memastikan jaraknya cukup aman agar Anton tidak menyadari dirinya diikuti. Akhirnya mobil Anton berhenti di depan sebuah rumah Anton, Juned memarkir motornya di sudut jalan, lalu berjalan pelan menuju pagar rumah Anton memilih tempat yang cukup tersembunyi untuk mengintip ke dalam. Di sana, ia melihat Anton keluar dari mobil bersama wanita itu. Anton dengan santainya merangkul bahu wanita tersebut, sementara wanita itu tertawa kecil, tampak nyaman dengan kedekatan mereka.“Aku tak tahu apa yang dirasakan tante Lilis kalau melihat ini.” Gumam Juned.Juned mengendap-endap mendekati jendela ruang tamu. Dari celah tirai, ia melihat Anton dan wanita itu duduk di sofa di mana Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Anton, sementara tangan Anton membelai rambutnya dengan mesra. Mereka tampak begitu intim, seolah tidak ada yang salah dengan perbuatan
Sesampainya di rumah, suasana terasa begitu sunyi. Vivi dan Lastri masih belum terlihat. Juned masuk ke dalam rumah sambil menyalakan lampu ruang tamu, mencoba mengusir kegelisahannya.Namun, meski sudah berada di tempat yang seharusnya nyaman, pikiran Juned tetap tak tenang. Ia duduk di sofa, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata pria tua itu terus terngiang di kepalanya, seolah mengingatkan Juned akan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.“Kalau memang dia bukan manusia… apa dia tadi mencoba menolongku?” gumam Juned pelan. Ia merasa merinding lagi, namun kali ini bukan karena takut, melainkan karena sebuah rasa aneh yang sulit dijelaskan.Juned berpindah tempat duduk ke kursi depan rumah, mencoba menenangkan pikirannya setelah semua kejadian hari itu, dikejutkan oleh suara sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumahnya. Ia mengangkat wajah, melihat pintu taksi terbuka, dan keluar Lilis serta Vivi bersama seorang wanita bercadar.Juned mengerutkan alis, bingung. Ia bangkit d
Lilis bangkit dari sofa sambil merapikan bajunya. Ia menatap Juned dan Vivi dengan senyuman tipis. “Aku pamit dulu ya. Hari ini Anton suda pulang, jadi aku harus buru-buru balik,” katanya sambil mengambil tasnya.Juned tampak ragu sejenak, ingin mengatakan sesuatu. “Tante Lilis, tunggu. Ada yang mau aku bicarakan denganmu...” ucap Juned dengan nada mendesak.Namun Lilis mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia sempat melanjutkan. “Juned, lain kali aja ya. Aku benar-benar harus pulang sekarang,” katanya dengan cepat sebelum bergegas menuju pintu.Juned hanya bisa menatap punggung Lilis yang semakin menjauh. Ia menghela napas panjang, rasa khawatir jelas terpancar di wajahnya. Sementara itu Lastri menuju ke dapur sambil membawa beberapa kantong belanjaan. Vivi, yang memperhatikan ekspresi Juned, akhirnya membuka suara. “Juned, tadi mau bicara apa dengan mbak Lilis?”Juned menatap Vivi sejenak, lalu memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Aku tadi sempat bertemu Anton d
Setelah makan malam selesai, Juned, Lastri, dan Vivi duduk santai di ruang tengah. Lastri menata sisa makanan yang belum dibereskan, sementara Vivi menyalakan kipas angin agar udara lebih sejuk. Juned bersandar di sofa dengan wajah puas, merasa kenyang setelah diperlakukan seperti raja oleh kedua wanita itu.“Eh, Juned,” Lastri tiba-tiba memecah kesunyian, “Masih ingat enggak waktu kecil dulu, kita sering main di sungai dekat sawah? Kamu selalu yang paling takut kalau diajak lompat dari batu besar ke air.” Lastri tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan.June langsung menimpali dengan senyum yang agak malu. “Habisnya, kalian tuh nekat banget! Batu itu kan licin. Kalau terpeleset gimana? Aku enggak mau jatuh dan jadi bahan ketawaan kalian.”Vivi terkekeh mendengar celotehan mereka. “Iya, aku ingat banget. Juned selalu berdiri di tepi sungai, mukanya tegang banget, sementara aku sama Lastri sudah lompat duluan. Tapi anehnya, kamu selalu mau ikut kalau diajak. Padahal sudah tahu bak
“Aaaaah!!!” Vivi dan Lastri langsung menjerit bersamaan. Mereka berdua melompat dari tempat duduk dan memeluk tubuh Juned dari kedua sisi dengan tiba-tiba.“Jun! Itu tadi suara apa?!” tanya Lastri dengan suara gemetar.Juned, yang sebenarnya juga terkejut, mencoba tenang. “Ssst, kalian tenang dulu. Mungkin itu hanya suara kucing atau apa.”“Kucing dari mana, Jun?! Kamu enggak pelihara kucing!” Vivi masih memeluk erat lengan Juned, wajahnya penuh ketakutan.Kedua gundukan Vivi begitu terasa menyenggol lengan Juned.Juned menghela napas panjang dan mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka. “Ya sudah kalau begitu, biar aku cek dulu. Kalian tunggu di sini.”“Jun, jangan pergi sendiri! Nanti kalau ada apa-apa gimana?” Vivi memegang tangan Juned erat, menahan agar Juned tidak beranjak dari duduknya.Lastri mengangguk, suaranya masih gemetar. “Iya, Jun, kita lihat bareng-bareng aja. Kami enggak berani kalau di sini berdua.”Juned menatap mereka berdua, yang kini terlihat seperti anak keci
Di ruang tengah kini terasa sunyi hanya terdengar suara jangkrik yang bernyanyi dari luar rumah. Juned terlelap di tengah kedua wanita itu, sama dengan Vivi sudah terlelap dalam tidurnya, napasnya teratur dan tenang. Sementara itu, Lastri melirik ke arah Juned yang tidur di sebelah kanannya. Wajah Juned terlihat lelah, dengan napas berat yang terdengar teratur. Lastri menggigit bibir, ragu-ragu, tapi akhirnya memberanikan diri untuk memanggil Juned. “Juned… Jun…” panggilnya dengan suara pelan nyaris seperti bisikan, sambil menyenggol lengan Juned perlahan.Namun, Juned tetap tidak bergerak. Ia tertidur terlalu lelap untuk mendengar panggilan pelan Lastri. Merasa panggilannya tidak cukup, Lastri mencoba lagi, kali ini lebih keras.“Juned! Bangun, dong.”Tetap tidak ada reaksi. Lastri mulai kesal. Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan dan mengarahkan tangannya ke barang milik Juned dengan perlahan. Tangannya bergerilya di area itu tapi Juned tidak menunjukkan tanda-tanda bangun.“J
Setelah beberapa saat bergulat dengan perasaannya sendiri, Vivi akhirnya mengambil keputusan. Dengan hati-hati, ia berpindah posisi, mendekat ke arah Juned yang sudah tertidur. Tanpa berpikir panjang, Vivi menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Juned.Barang milik Juned yang masih terlihat besar setelah dipakai membuat tubuh Vivi semakin bergejolak. Tanpa menunggu persetujuan dari Juned, Vivi membuka baju dan langsung memainkan barang milik pria itu dengan tangan beserta mulutnya yang mungil.Saat itu Juned yang sudah lelap tidak merasakan apa-apa. Tapi, seiring dengan semakin intens permainan Vivi di sekitar barangnya, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ia membuka matanya perlahan, sedikit bingung. “Lastri, kamu lagi ngapain sih? Sudah cepat tidur aja,” gumam Juned setengah sadar mengira itu adalah Lastri.Namun, ketika ia menoleh ke bawah, matanya membelalak kaget. “Vivi?! Apa yang kamu lakukan?”Vivi tidak menjawab pertanyaan Juned malah semakin menjadi jadi.“Vivi, aku moh
Namun ketika pagi harinya semua tampak normal saja, Vivi adalah orang pertama yang terbangun ketika matahari mulai mengintip dari balik jendela, menciptakan bayangan lembut di dinding ruang tengah. Vivi duduk perlahan, membenahi rambutnya yang sedikit berantakan, lalu melirik Juned yang tidur di sebelahnya. Vivi perlahan bangkit dan mengenakan pakaiannya tak lupa dia menutupi tubuh Lastri dan Juned dengan selimut, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan yang lain. “Kamu sudah bangun, Vi?” tanya Juned, suaranya serak khas pagi.Ternyata yang dilakukan Vivi justru membuat Juned terbangun.Vivi menoleh dan tersenyum kecil. “Iya, Jun. Sudah pagi. Kamu gimana? Apakah tidurmu nyenyak?”“Ya, lumayan,” jawab Juned sambil duduk dan merenggangkan badannya. Ia melirik Lastri yang masih tertidur pulas. “Lastri masih nyenyak banget, ya.”Vivi tersenyum geli. “Iya, kayaknya dia mimpi indah bersamamu.”Juned mengangguk kecil, lalu mengingat pembicaraan mereka semalam. “Oh ya, apakah ki
Marina berbalik ke arah Juned dengan tertawa kecil sambil memandangnya. “Juned, aku dan suamiku punya hubungan yang... cukup unik. Kami menikah bukan karena cinta, tapi karena urusan bisnis keluarga. Jadi, baik aku maupun dia nggak pernah terlalu peduli soal kesetiaan atau urusan seperti ini.”Juned tampak bingung dengan jawaban itu. “Jadi... suamimu akan tahu kalau kamu...”Marina mengangguk sambil memotong ucapannya. “Aku yakin dia tahu, Juned. Lagipula, aku juga tahu pasti dia melakukan hal yang sama. Dia sering ke luar negeri untuk urusan bisnis, dan aku tahu dia punya wanita lain di sana. Kami tidak pernah mempermasalahkan itu.”Juned hanya terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Tapi... kenapa kamu tetap bertahan dalam pernikahan seperti itu?”Marina menarik napas panjang sebelum menjawab. “Karena aku nggak menikah untuk cinta, Juned. Pernikahan ini hanya sebuah perjanjian antara dua keluarga besar. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh untukmu, tapi begitul
Suara mereka menggema di tengah ruangan itu, diredam oleh kebisingan aktivitas di luar. Hingga waktu berlalu tanpa terasa, mereka mencapai puncak kenikmatan yang seolah mampu menggenggam lautan.“Juned bagaimana kalau kita pergi ke taman hiburan hari ini?” Tanya Marina lirih sambil menutup keindahan tubuhnya dengan pakaiannya.Juned hanya mengangguk perlahan sambil memakai pakaiannya.“Nanti malam aku akan menemukanmu dengan Bu Ratna, pemilik PT Cakra Buana.” Lanjut ucap Marina.Juned langsung menoleh ke arah Marina dengan tatapan tajam. “Kenapa ada agenda bertemu dengan Bu Ratna?” Juned menunjukkan wajah bingungnya.Marina yang melihat wajah Juned justru malah tersenyum. “Dia ingin mencoba sesuatu dari kamu, untuk memastikan apa kamu layak membuka usaha di tempat ini.”Juned semakin bingung dia berdiri sambil menatap sekeliling ruangan di sana. “Aku tak mengerti maksudmu, Marina.”“Sudahlah jangan terlalu di pikirkan, kamu nikmati saja semua yang ada di depanmu. Yang penting s
Juned duduk di salah satu kursi di ruko itu, memandangi ruang kosong yang akan diubah menjadi tempat pijat. Wajahnya tampak penuh keraguan. Dia menghela napas panjang, mencoba mencerna semuanya.Marina yang memperhatikan raut wajah Juned langsung mendekat dan duduk di sampingnya. “Kamu masih ragu, ya?” tanyanya dengan nada lembut.Juned menunduk, mengangguk pelan. “Aku nggak tahu, Marina. Apa aku benar-benar bisa menjalankan tempat ini? Aku memang tahu cara memijat, tapi mengelola usaha seperti ini... aku nggak pernah punya pengalaman.”Marina tersenyum, menepuk bahunya dengan penuh keyakinan. “Dengar, Juned. Keahlian memijatmu itu luar biasa. Aku yakin banyak orang yang akan datang ke sini kalau kita buat tempat ini nyaman dan profesional. Yang penting kamu percaya diri dulu.”Juned mengangkat wajahnya, menatap Marina yang begitu yakin. “Tapi... semua ini terlalu besar buat aku. Bagaimana kalau aku gagal?”“Kalau gagal, kita bangkit lagi,” jawab Marina tegas. “Tapi aku yakin kamu ngg
Marina tersenyum tipis, mencoba tetap tenang. “Kami sedang melihat kemungkinan untuk menyewa ruko ini. Kamu siapa, ya?”Marko tertawa kecil, seolah mengejek. “Aku salah satu manajer di PT Cakra Buana, pemilik properti ini. Jadi, aku berhak tahu siapa yang tertarik untuk menggunakan tempat ini,” katanya dengan nada arogan.Juned memperhatikan Marko dengan tatapan datar. Dia tahu sifat Marko yang sombong dan suka meremehkan orang lain, tapi dia memilih untuk tidak menanggapi.Marko melanjutkan dengan nada sinis, “Jujur saja, aku nggak yakin kalian bisa bikin sesuatu yang sukses di tempat ini. Tempat ini butuh manajemen yang profesional, bukan... ya, kalian paham maksudku, kan?”Marina tetap tenang, meski nada Marko jelas-jelas merendahkan mereka. “Terima kasih atas masukannya. Kami sudah punya rencana yang jelas untuk tempat ini, dan kami yakin itu akan berhasil,” jawab Marina dengan tegas namun sopan.Marko mengangkat alis, seolah terkejut mendengar ketegasan Marina. “Oh, jadi kam
Marina tersenyum tipis. “Aku akan jelaskan nanti saat kita di jalan. Sekarang, habiskan makananmu dulu. Aku tunggu di luar.”Juned mulai memasukkan nasi ke dalam mulutnya, “Kamu gak ikut makan dulu, Mar. Biar aku bilang ke Siti untuk mengambilkan makanan buat kamu.”“Gak usah, Juned. Aku sudah sarapan tadi di rumah.” Kata Marina menolak dengan halus.Juned menatap Marina yang bangkit dari kursinya dan berjalan keluar rumah tanpa menjelaskan lebih jauh. Rasa penasaran mulai menguasai pikirannya, tetapi ia memilih untuk tidak banyak bertanya untuk saat ini.Setelah menghabiskan nasi gorengnya, Juned bergegas menuju kamar untuk bersiap-siap. Saat keluar, ia melihat Marina sedang berdiri di dekat mobilnya, menunggunya dengan sabar.“Kamu yakin ini penting?” tanya Juned saat ia menghampirinya.“Percaya saja padaku, Juned,” jawab Marina sambil membuka pintu mobil. “Ayo, masuk.”Juned masuk ke dalam mobil, dan Marina langsung menginjak pedal gas. Di sepanjang perjalanan, Marina tetap
“Mas, apa yang terjadi?” tanya Ratih sambil duduk di ranjang, kini Ratih mulai cemas.Juned menutup jendela kembali dan menatap Ratih. “Tadi aku lihat seseorang mengintip dari luar. Tapi sekarang dia sudah nggak ada.”Wajah Ratih langsung memucat. “Mas, jangan-jangan ada yang melihat kita berdua begituan tadi.”Juned menggeleng, masih mencoba memikirkan kemungkinan lain. "Aku nggak tahu. Bisa jadi seperti itu.”Ratih terlihat ketakutan, namun ia mengangguk pelan. “Mas, bagaimana kalau itu Mbak Siti atau Pak Darma?”Juned mendekat ke arah Ratih, lalu memeluk tubuh wanita itu dengan lembut. “Kamu tenang saja, aku yang akan menyelesaikan semua ini.”Dalam pelukan Juned, tubuh Ratih mulai tenang. Setelah mengetahui ada yang mengintip mereka berdua memilih untuk menghiraukan hal itu.“Mas Juned.” Kata Ratih dengan lirih.Juned menatap wajah manis Ratih dengan tatapan yang teduh. “Ada apa, Ratih?”“Barang kamu enak banget, Mas. Bolehkah aku tidur di kamarmu malam ini?” tanya Ratih y
Ratih berdiri mematung sejenak, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, rasa penasaran dan sedikit gugup membuatnya tak bisa fokus pada pekerjaan membereskan meja makan. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin Juned bicarakan dengannya malam ini.Ratih masuk ke kamar Juned dengan langkah ragu. Wajahnya memancarkan kecemasan yang sulit ia sembunyikan. Pintu kamar terbuka sedikit, namun Juned yang duduk di tepi tempat tidur dengan santai segera berkata, “Tutup pintunya, Ratih. Jangan lupa dikunci.”Dengan tangan yang gemetar, Ratih mematuhi perintah itu. Ia merasa aneh, namun tidak punya keberanian untuk menolak. Setelah pintu terkunci, ia berdiri di tempatnya, tak berani mendekat.Juned menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, lalu berkata, “Coba kamu berdiri di tengah ruangan. Aku mau lihat sesuatu.”Meski hatinya penuh kebingungan, Ratih melangkah ke tengah ruangan. “Mas, ada apa? Apa ada yang salah dari saya?” tanyanya dengan nada gugup.“Tidak, kamu nggak salah
Juned yang awalnya terkejut lebih memilih untuk membiarkan saja.Sementara Siti terus memandang ke arah Ratih yang menunduk dengan raut wajah yang menunjukkan rasa sesal. “Nggak usah, Mas. Kami makan nanti aja di belakang,” jawab Ratih dengan nada pelan.Juned menggeleng. “Nggak ada nanti-nanti. Sekarang aja. Lagian, aku juga nggak nyaman makan sendirian. Biar lebih, panggil sekalian Pak Darma ke sini, ya.”Siti tersenyum tipis. “Pak Darma? Tapi—““Nggak pake tapi-tapian,” potong Juned sambil tertawa kecil. “Ayo, Ratih, panggil Pak Darma. Kalau nggak, saya yang manggil.”Setelah terus dipaksa, akhirnya Ratih dan Siti mengalah. “Baik, Mas. Kami panggil Pak Darma dulu,” kata Ratih sebelum menuju ke luar untuk memanggilnya.Tak lama, Pak Darma masuk ke ruang makan dengan wajah sedikit bingung. “Ada apa, Mas Juned?” tanyanya.Juned tersenyum dan menunjuk kursi di meja makan. “Pak Darma, duduk sini. Kita makan bareng. Jangan biarkan saya makan sendirian, dong.”Pak Darma tertawa kecil, t
Marina menatap Juned dengan mata yang sayu, “Maksudmu Siti, Ratih, dan Pak Darma? Kamu tenang saja Juned.”Saat Marina memeluk Juned dengan erat, suasana di dalam kamar semakin intens. Marina mendekatkan wajahnya ke Juned, dan mereka hampir berciuman. Namun tiba-tiba, pintu kamar terbuka.Ratih berdiri di ambang pintu dengan ekspresi kaget sambil membawa kain pel. "Astaga, maaf, Mas Juned... Bu Marina... Saya nggak sengaja!" katanya dengan gugup, langsung menutup pintu kembali.Juned melompat mundur, terkejut dengan situasi yang memalukan itu. Wajahnya memerah, sementara detak jantungnya berdegup kencang. Namun, reaksi Marina sangat berbeda.Dengan santai, Marina menghela napas panjang sambil mengusap rambutnya yang tergerai. "Ratih, tunggu sebentar," katanya dengan nada tenang, berjalan mendekati pintu.Ratih membuka pintu sedikit, wajahnya masih terlihat tegang. "Iya, Bu. Maaf banget tadi saya nggak sengaja masuk.""Sudah, nggak apa-apa. Daripada minta maaf terus, mending kamu