Kata-kata itu seperti petir di siang bolong baginya. Hatinya langsung terasa seperti dihantam batu besar. Ia menelan ludah, berusaha meredam perasaannya yang tiba-tiba bergejolak.“Mas Juned, serius?” tanya Novi dengan suara bergetar, meskipun ia mencoba menutupi emosinya.Juned mengangguk perlahan. “Aku enggak lihat cara lain, Novi. Mungkin dengan aku menikahinya, keluarganya enggak bisa memaksa dia menikah dengan Sugeng.”Novi menatap Juned dengan tatapan campur aduk. Antara kaget, kecewa, dan khawatir. Ia mencoba bersikap realistis meski hatinya hancur mendengar keputusan itu. “Tapi, mas… apa Kamu enggak mikir panjang? Menikahi mbak Lastri itu seperti... seperti bunuh diri. Keluarganya pasti enggak akan terima. Sugeng juga enggak akan tinggal diam. Dia bisa lebih nekat untuk menyakitimu.”Juned terdiam sejenak, menatap lantai dengan mata yang terlihat bimbang. “Aku akan pikirkan lagi, Novi. Semoga saja aku akan dapat menemukan cara lain.”Percakapan Juned dan Novi terhenti ketika b
Juned, yang merasa penasaran dan tak tenang dengan siapa wanita yang bersama Anton, memutuskan untuk mengikuti mobil Anton dari kejauhan. Ia memastikan jaraknya cukup aman agar Anton tidak menyadari dirinya diikuti. Akhirnya mobil Anton berhenti di depan sebuah rumah Anton, Juned memarkir motornya di sudut jalan, lalu berjalan pelan menuju pagar rumah Anton memilih tempat yang cukup tersembunyi untuk mengintip ke dalam. Di sana, ia melihat Anton keluar dari mobil bersama wanita itu. Anton dengan santainya merangkul bahu wanita tersebut, sementara wanita itu tertawa kecil, tampak nyaman dengan kedekatan mereka.“Aku tak tahu apa yang dirasakan tante Lilis kalau melihat ini.” Gumam Juned.Juned mengendap-endap mendekati jendela ruang tamu. Dari celah tirai, ia melihat Anton dan wanita itu duduk di sofa di mana Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Anton, sementara tangan Anton membelai rambutnya dengan mesra. Mereka tampak begitu intim, seolah tidak ada yang salah dengan perbuatan
Sesampainya di rumah, suasana terasa begitu sunyi. Vivi dan Lastri masih belum terlihat. Juned masuk ke dalam rumah sambil menyalakan lampu ruang tamu, mencoba mengusir kegelisahannya.Namun, meski sudah berada di tempat yang seharusnya nyaman, pikiran Juned tetap tak tenang. Ia duduk di sofa, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata pria tua itu terus terngiang di kepalanya, seolah mengingatkan Juned akan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.“Kalau memang dia bukan manusia… apa dia tadi mencoba menolongku?” gumam Juned pelan. Ia merasa merinding lagi, namun kali ini bukan karena takut, melainkan karena sebuah rasa aneh yang sulit dijelaskan.Juned berpindah tempat duduk ke kursi depan rumah, mencoba menenangkan pikirannya setelah semua kejadian hari itu, dikejutkan oleh suara sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumahnya. Ia mengangkat wajah, melihat pintu taksi terbuka, dan keluar Lilis serta Vivi bersama seorang wanita bercadar.Juned mengerutkan alis, bingung. Ia bangkit d
Lilis bangkit dari sofa sambil merapikan bajunya. Ia menatap Juned dan Vivi dengan senyuman tipis. “Aku pamit dulu ya. Hari ini Anton suda pulang, jadi aku harus buru-buru balik,” katanya sambil mengambil tasnya.Juned tampak ragu sejenak, ingin mengatakan sesuatu. “Tante Lilis, tunggu. Ada yang mau aku bicarakan denganmu...” ucap Juned dengan nada mendesak.Namun Lilis mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia sempat melanjutkan. “Juned, lain kali aja ya. Aku benar-benar harus pulang sekarang,” katanya dengan cepat sebelum bergegas menuju pintu.Juned hanya bisa menatap punggung Lilis yang semakin menjauh. Ia menghela napas panjang, rasa khawatir jelas terpancar di wajahnya. Sementara itu Lastri menuju ke dapur sambil membawa beberapa kantong belanjaan. Vivi, yang memperhatikan ekspresi Juned, akhirnya membuka suara. “Juned, tadi mau bicara apa dengan mbak Lilis?”Juned menatap Vivi sejenak, lalu memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Aku tadi sempat bertemu Anton d
Setelah makan malam selesai, Juned, Lastri, dan Vivi duduk santai di ruang tengah. Lastri menata sisa makanan yang belum dibereskan, sementara Vivi menyalakan kipas angin agar udara lebih sejuk. Juned bersandar di sofa dengan wajah puas, merasa kenyang setelah diperlakukan seperti raja oleh kedua wanita itu.“Eh, Juned,” Lastri tiba-tiba memecah kesunyian, “Masih ingat enggak waktu kecil dulu, kita sering main di sungai dekat sawah? Kamu selalu yang paling takut kalau diajak lompat dari batu besar ke air.” Lastri tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan.June langsung menimpali dengan senyum yang agak malu. “Habisnya, kalian tuh nekat banget! Batu itu kan licin. Kalau terpeleset gimana? Aku enggak mau jatuh dan jadi bahan ketawaan kalian.”Vivi terkekeh mendengar celotehan mereka. “Iya, aku ingat banget. Juned selalu berdiri di tepi sungai, mukanya tegang banget, sementara aku sama Lastri sudah lompat duluan. Tapi anehnya, kamu selalu mau ikut kalau diajak. Padahal sudah tahu bak
“Aaaaah!!!” Vivi dan Lastri langsung menjerit bersamaan. Mereka berdua melompat dari tempat duduk dan memeluk tubuh Juned dari kedua sisi dengan tiba-tiba.“Jun! Itu tadi suara apa?!” tanya Lastri dengan suara gemetar.Juned, yang sebenarnya juga terkejut, mencoba tenang. “Ssst, kalian tenang dulu. Mungkin itu hanya suara kucing atau apa.”“Kucing dari mana, Jun?! Kamu enggak pelihara kucing!” Vivi masih memeluk erat lengan Juned, wajahnya penuh ketakutan.Kedua gundukan Vivi begitu terasa menyenggol lengan Juned.Juned menghela napas panjang dan mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka. “Ya sudah kalau begitu, biar aku cek dulu. Kalian tunggu di sini.”“Jun, jangan pergi sendiri! Nanti kalau ada apa-apa gimana?” Vivi memegang tangan Juned erat, menahan agar Juned tidak beranjak dari duduknya.Lastri mengangguk, suaranya masih gemetar. “Iya, Jun, kita lihat bareng-bareng aja. Kami enggak berani kalau di sini berdua.”Juned menatap mereka berdua, yang kini terlihat seperti anak keci
Di ruang tengah kini terasa sunyi hanya terdengar suara jangkrik yang bernyanyi dari luar rumah. Juned terlelap di tengah kedua wanita itu, sama dengan Vivi sudah terlelap dalam tidurnya, napasnya teratur dan tenang. Sementara itu, Lastri melirik ke arah Juned yang tidur di sebelah kanannya. Wajah Juned terlihat lelah, dengan napas berat yang terdengar teratur. Lastri menggigit bibir, ragu-ragu, tapi akhirnya memberanikan diri untuk memanggil Juned. “Juned… Jun…” panggilnya dengan suara pelan nyaris seperti bisikan, sambil menyenggol lengan Juned perlahan.Namun, Juned tetap tidak bergerak. Ia tertidur terlalu lelap untuk mendengar panggilan pelan Lastri. Merasa panggilannya tidak cukup, Lastri mencoba lagi, kali ini lebih keras.“Juned! Bangun, dong.”Tetap tidak ada reaksi. Lastri mulai kesal. Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan dan mengarahkan tangannya ke barang milik Juned dengan perlahan. Tangannya bergerilya di area itu tapi Juned tidak menunjukkan tanda-tanda bangun.“J
Setelah beberapa saat bergulat dengan perasaannya sendiri, Vivi akhirnya mengambil keputusan. Dengan hati-hati, ia berpindah posisi, mendekat ke arah Juned yang sudah tertidur. Tanpa berpikir panjang, Vivi menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Juned.Barang milik Juned yang masih terlihat besar setelah dipakai membuat tubuh Vivi semakin bergejolak. Tanpa menunggu persetujuan dari Juned, Vivi membuka baju dan langsung memainkan barang milik pria itu dengan tangan beserta mulutnya yang mungil.Saat itu Juned yang sudah lelap tidak merasakan apa-apa. Tapi, seiring dengan semakin intens permainan Vivi di sekitar barangnya, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ia membuka matanya perlahan, sedikit bingung. “Lastri, kamu lagi ngapain sih? Sudah cepat tidur aja,” gumam Juned setengah sadar mengira itu adalah Lastri.Namun, ketika ia menoleh ke bawah, matanya membelalak kaget. “Vivi?! Apa yang kamu lakukan?”Vivi tidak menjawab pertanyaan Juned malah semakin menjadi jadi.“Vivi, aku moh
"Aku sudah memeriksa tempat ini. Lokasinya di pinggir jalan besar, mudah diakses, dan sudah memiliki izin usaha. Aku yakin ini akan cocok untuk klinik pijatmu."Juned menatap foto-foto itu dengan mata berbinar, namun juga ada keraguan yang muncul. "Marina, ini terlihat... sangat bagus. Tapi apakah aku bisa mengelola tempat seperti ini?"Marina menatapnya tajam namun penuh kepercayaan. "Juned, aku tidak memilih tempat ini tanpa alasan. Kamu punya kemampuan, dan aku percaya kamu bisa mengelolanya. Selain itu, aku akan membantumu di awal. Kamu hanya perlu fokus pada apa yang kamu kuasai, yaitu memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan."Juned terdiam, merenungkan kata-kata Marina. Tempat itu terlihat seperti impian, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan bisa ia miliki. "Tapi, Marina, ini pasti sangat mahal. Aku..."Marina mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia melanjutkan. "Biarkan itu urusanku. Anggap saja ini adalah bentuk kepercayaanku padamu. Yang perlu kamu lakukan
Marina membuka pembicaraan dengan nada tenang tetapi tegas. “Aku sudah memutuskan sesuatu untuk kalian semua. Aku ingin kalian mulai hidup baru tanpa harus takut atau khawatir tentang masa lalu. Untuk itu, aku telah menyediakan rumah untuk kalian masing-masing.”Semua orang yang mendengarnya tampak terkejut. Lilis, yang duduk paling dekat dengan Juned, langsung bertanya, “Rumah? Maksudmu Marina, kita akan tinggal di kota ini?”Marina tersenyum. “Iya. Aku sudah membeli beberapa rumah sederhana di satu kompleks perumahan. Juned, Rini, Lastri, Vivi, dan kamu, Lilis, masing-masing akan mendapatkan satu rumah dariku.”Lilis tampak tidak puas mendengar itu. “Tunggu dulu! Berarti aku tidak akan tinggal bersama keponakanku, Juned. Padahal Kami selalu hidup bersama. Kenapa kamu tak berikan satu saja untukku dan Juned, aku bisa merawatnya seperti biasanya.”Marina menggeleng lembut tetapi tetap tegas. "Aku tahu kamu peduli pada Juned, Lilis. Tapi aku ingin kalian berdua mulai hidup mandiri. J
Marina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir."Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma
Pria itu tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Perwakilan dari Anton Perkasa memang sudah tiba pagi ini, lebih awal dari jadwal semula. Dan mereka langsung diterima oleh Ibu Ratna.”Mendengar penjelasan itu, wajah Marina berubah. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Sementara Juned, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi, tak sepenuhnya memahami situasi.Tepat saat itu, Marina dan Juned melihat Ibu Ratna keluar dari ruangannya, berjalan menuju pintu utama bersama seorang pria muda. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dengan senyum penuh percaya diri. Sosoknya begitu kharismatik, membuat siapa pun yang melihatnya langsung terkesan.Marina memperhatikan pria itu dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian, dia berbisik kepada Juned, “Itu perwakilan dari Anton Perkasa. Tapi... sesuatu tidak beres di sini.”“Apa maksudmu?” tanya Juned bingung.“Seharusny
Mata para wanita—Marina, Lilis, Lastri, Vivi, dan Rini—tertumbuk pada Juned. Mereka terdiam sejenak, lalu hampir serentak menunjukkan ekspresi kagum.“Ya ampun, Juned! Keponakanku Ganteng banget!” ujar Lilis dengan suara riang, tangannya menutup mulut seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Vivi mengangguk setuju. “Aku sampai nggak kenal tadi. Serius ini kamu Juned? Kayak model yang mau pergi ke gala dinner aja,” katanya sambil tersenyum lebar.Lastri menambahkan dengan nada menggoda. “Juned, kayaknya kalau ada perempuan yang lihat kamu kayak gini, mereka langsung naksir, deh.”Juned hanya tersenyum canggung, merasa sedikit kikuk dengan perhatian yang begitu besar dari mereka. “Ah, jangan bercanda kalian. Ini cuma karena pakaian yang terlihat bagus,” ucapnya merendah sambil menggaruk belakang kepalanya.Namun Marina, yang duduk di sofa dengan anggun, memberikan komentar yang berbeda. “Lihatlah, ini yang aku maksud. Penamp
Juned hanya bisa duduk terpaku, tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan bertindak kasar. Namun, sebelum Winda melanjutkan aksinya, tubuhnya tiba-tiba melemah, dan ia terjatuh ke samping, pingsan karena mabuk.Juned menghela napas lega, tapi matanya langsung tertuju pada Marina dan Tari yang kini juga tampak setengah sadar, mencoba bernyanyi dengan suara yang sudah tidak jelas. Tidak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai pingsan, termasuk Rini. Suasana yang tadi penuh dengan tawa dan nyanyian kini berubah menjadi hening.Melihat mereka semua terbaring di lantai dan sofa, Juned menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. "Ya Allah, ini benar-benar malam yang melelahkan," gumamnya sambil mengusap wajahnya.Dengan hati-hati, Juned mulai memindahkan mereka satu per satu ke kamar Marina yang besar. Ia mengangkat Winda lebih dulu, lalu kembali ke ruangan karaoke untuk membawa Marina, Tari, dan akhirnya Rini. Setelah memast
Juned tersentak, tapi ia tetap tenang. "Tari, kamu mabuk. Lebih baik kamu duduk di sana dan istirahat.""Aku nggak mabuk," balas Tari sambil terkekeh, meskipun jelas dari gerak-geriknya bahwa ia mulai kehilangan kendali. Ia memiringkan tubuhnya, kini kepalanya bersandar di bahu Juned. "Kamu itu terlalu kaku. Nggak apa-apa, rileks sedikit. Kita ini cuma bersenang-senang."Juned menoleh ke Marina yang duduk di sisi lain ruangan, berharap mendapatkan bantuan. Namun Marina hanya mengangkat gelas anggurnya sambil tersenyum tenang, seolah-olah tidak ingin ikut campur. Winda dan Rini juga tampak terlalu sibuk dengan tawa mereka sendiri."Tari, aku serius," Juned berkata dengan nada lebih tegas, tapi tetap menjaga suaranya rendah agar tidak mengganggu suasana pesta. "Kamu perlu menjaga sikapmu. Aku hanya di sini untuk membantu, bukan untuk hal lain."Namun Tari justru memeluk Juned, membuatnya semakin sulit untuk melepaskan diri tanpa menimbulkan keributan. "Juned, kamu baik sekali. Kamu bahk
Marina memimpin rombongan ke sebuah ruangan yang ada di lantai bawah rumahnya. Begitu pintu ruangan itu dibuka, Juned tertegun. Ruangan itu sangat mewah, penuh dengan lampu neon warna-warni yang berkedip, sofa besar empuk, dan layar besar di dinding yang memutar daftar lagu karaoke. Di sudut ruangan, terdapat meja yang dipenuhi dengan camilan, minuman, dan beberapa botol anggur.Marina melangkah masuk dengan percaya diri, diikuti oleh Winda, Tari, dan Rini. Tari segera mengambil remote kontrol dan mulai menjelajahi daftar lagu. "Tempat ini adalah tempat favoritku di rumah Marina," katanya sambil tertawa. "Aku nggak pernah bosan."Juned, di sisi lain, hanya berdiri di pintu, tampak kebingungan. Dia menggaruk kepala dan mendekati Rini. "Aku nggak bisa nyanyi, Rini. Jadi buat apa aku ada di sini?"Rini menahan senyum. "Sudah, santai saja, Juned. Nggak ada yang maksa kamu nyanyi kalau nggak mau. Nikmati saja suasananya."Namun, Marina yang mendengar percakapan itu langsung menoleh. "Jun
Rini yang sedari tadi hanya duduk di ruangan, akhirnya angkat bicara setelah hanya menjadi pendengar sejauh ini. Dengan nada yang penuh arti, ia menatap Juned sambil tersenyum. “Mas Juned, kamu nggak perlu khawatir soal ini. Tanpa kamu sadari, sebenarnya kamu punya kemampuan alami untuk membuat orang lain tertarik sama kamu.”Juned menoleh ke arah Rini dengan alis yang sedikit terangkat. “Apa maksudmu, Mbak Rini? Aku nggak pernah merasa seperti itu.”Rini tertawa kecil, lalu mendekati Juned. “Apa kamu lupa sudah banyak wanita yang mengagumimu saat ini?”Juned menghela napas, masih merasa skeptis. “Tapi aku gak merasa membuat mereka kagum. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa, jika mereka senang aku juga senang.”Marina menyela dengan santai, memanfaatkan momen itu untuk memperkuat keyakinan Juned. “Rini benar. Justru karena kamu nggak terlihat seperti pria korporat yang penuh tipu daya, itu akan menjadi keuntungan besar. Kamu akan terlihat tulus, dan itu yang akan membuat dia terta