“Terus pakai apa kalau enggak pakai tangan?” Tanya Lilis dengan wajah bingung.Juned terdiam sejenak mencoba berpikir. “Aku mau Tante menyuapiku pakai mulut Tante.” Kata Juned sambil menunjuk bibirnya.Lilis kaget dengan permintaan Juned tersebut. Awalnya dia ingin menolak tapi entah apa yang dirasakan saat itu membuatnya harus menuruti ucapan Juned.“Baiklah untuk kali ini, tante biarkan kamu merasa senang.” Lilis menaruh sosis di mulutnya.Juned langsung tersenyum semringah melihat hal itu. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke arah sosis yang ada di mulut Lilis.“Maaf ya tante, aku ingin tahu rasanya seperti apa untuk pertama kalinya.” Kata Juned yang terdengar ambigu.Juned melahap sosis itu, menggigitnya sedikit demi sedikit hingga bibirnya kian dekat dengan bibir Lilis. Sementara Lilis menutup matanya membiarkan bibir Juned yang sudah berjarak 5 cm darinya.“Oh, aku enggak tahu ada tamu di sini,” ujar Vivi dengan nada datar, meski matanya menyiratkan rasa yang lebih dari sekadar
Di perjalanan pulang, suasana terasa canggung. Vivi duduk di belakang Juned dengan tasnya disampirkan di bahunya. Mereka hanya diam, angin siang yang hangat menyelimuti perjalanan mereka. Juned merasa harus mengatakan sesuatu untuk mengurangi ketegangan.“Vivi,” panggilnya pelan sambil tetap fokus pada jalan di depannya.“Iya?” jawab Vivi singkat, tanpa intonasi yang jelas.“Tadi di rumah, aku harap kamu enggak salah paham, ya. Aku sama Tante Lilis tadi cuma bercanda, enggak ada maksud apa-apa.” Juned mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati.Vivi terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku enggak marah, kok, Juned. Cuma kaget aja. Lagipula, itu urusan kalian. Aku enggak punya hak buat komentar.”Jawaban itu terdengar datar, tapi Juned bisa merasakan ada sesuatu yang tertahan. “Aku tahu kamu bilang enggak marah, tapi aku tetap enggak enak, Vi..”Vivi akhirnya menghela napas panjang. “Juned, aku mengerti. Kamu enggak perlu terlalu memikirkan itu. Aku cuma butuh waktu buat melupakan ap
“Duh, ya sudah, aku yang tutup deh, biar kamu enggak ribet,” kata Vivi sambil mengambil selimut tipis. Ia menutupi tubuh Novi dengan santai. “Tuh, aman kan sekarang?.”Juned menghela napas panjang. “Ya, tapi tetap aja, dia harusnya lebih peka. Kalau ada cowok di rumah, kan enggak enak dilihat.”“Juned, Novi itu sudah 18 tahun tapi masih polos. Dia enggak punya maksud aneh-aneh. Kamu aja yang mikirnya kelewat jauh,” ujar Vivi sambil tersenyum geli.Juned hanya mendesah, tidak ingin memperpanjang argumen. Ia melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air, mencoba menenangkan pikirannya. Vivi kembali duduk di kursinya, menatap Juned sambil menahan tawa kecil.“Juned,” panggil Vivi dengan nada menggoda.“Apa lagi, Vi?” sahut Juned sambil membuka kulkas.“Kamu tuh lucu banget kalau lagi panik. Novi cuma tidur, lho. Kamu tuh yang bikin drama kayak ada kejadian besar,” Vivi tertawa kecil.Juned hanya menggelengkan kepala sambil menyeruput air dinginnya. “Aku cuma enggak mau ada hal yang biki
Saat Vivi pergi ke dapur, Juned tetap duduk di sofa, mencoba menenangkan pikirannya. Novi, yang kini sudah sepenuhnya terbangun, duduk bersila di sofa sambil mengusap matanya.“Mas Juned,” panggil Novi tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit ragu.“Iya, Novi? Kenapa?” jawab Juned santai, menoleh ke arahnya.“Aku tadi mimpi, deh,” kata Novi sambil menatap Juned dengan wajah serius.“Mimpi apa? Seram, ya?” Juned tersenyum kecil, berpikir Novi akan cerita sesuatu yang biasa saja.Novi menggeleng. “Enggak seram, sih... tapi aneh. Dalam mimpi itu aku...” Ia menggantungkan kalimatnya, tampak ragu melanjutkan.“Aku apa, Nov? Kok malah jadi gantung gitu?” Juned mengerutkan keningnya, penasaran.Novi menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara cepat, “Aku mimpi kita pacaran, Mas!”Juned langsung terdiam selama beberapa detik, sebelum akhirnya tertawa keras. “Hahaha, apa-apaan, Nov? Pacaran sama aku? Kamu serius mimpi kayak gitu?”“Iya, Mas!” Novi bersikeras, wajahnya sedikit memerah. “Aku mimpi ki
Mereka bertiga duduk dengan santai, Lalu tiba-tiba Vivi berdiri dari tempat duduknya dan menuju ke kamar. Tak lama kemudian Vivi muncul dari arah kamar sambil membawa sebuah papan permainan ular tangga. Ia meletakkannya di meja ruang tamu dan tersenyum penuh semangat. “Daripada bosan nunggu, gimana kalau kita main ular tangga aja?” tanyanya sambil menatap Juned dan Novi.Juned yang sedang bersandar di sofa mengangkat alis. “Ular tangga? Seriusan, Vi? Sudah lama banget enggak main beginian.”Novi justru terlihat antusias. “Wah, seru tuh, Mbak Vivi! Aku setuju, deh. Tapi... apa cuma main biasa aja?”Vivi tersenyum jahil. “Tentu enggak, dong. Kita kasih hukuman buat yang kalah. Biar lebih menantang.”Juned langsung menggeleng cepat. “Hah? Hukuman? Enggak, enggak. Aku ogah, Vi. Kalau kalah terus dihukum, enggak asyik.”“Ah, Mas Juned penakut banget sih,” balas Novi sambil terkekeh. “Hukumannya kan bisa lucu-lucuan aja. Kayak nyanyi, atau joget aneh.”Vivi mengangguk setuju. “Enggak juga,
Permainan kedua dimulai dengan suasana yang lebih seru. Novi tampak penuh semangat, sedangkan Vivi terlihat serius, bertekad untuk tidak kalah lagi. Juned, di sisi lain, bermain dengan santai meskipun terus digoda oleh kedua lawannya.“Oke, giliran aku!” kata Novi sambil mengambil dadu. Ia menggoyangkannya dengan penuh semangat, lalu melemparkannya ke papan permainan. “Enam lagi! Yes!” serunya dengan penuh kemenangan.Juned hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Kamu curang, ya? Masa bisa dapat enam terus?”“Mana ada curang, Mas Juned. Aku Cuma beruntung,” balas Novi sambil memindahkan pionnya ke depan dan, lagi-lagi, mendarat di kotak tangga. “Lihat, aku naik lagi! Mbak Vivi, Mas Juned, kalian bakal kalah lagi nih!”Vivi mendesah kesal. “Kamu emang ratu keberuntungan, Novi. Tapi tunggu aja, kali ini aku enggak mau kalah!”Ia mengambil dadu dan melemparkannya. Dadu menunjukkan angka empat. “Oke, lumayan,” katanya sambil memindahkan pionnya. Namun, ia mendarat di kotak biasa, ta
Setelah Novi pergi, suasana di rumah menjadi lebih tenang. Vivi membereskan papan permainan yang tadi sempat diacak-acak Novi sebelum pergi, lalu melirik ke arah Juned yang sedang duduk santai di sofa tanpa kaos."Juned," panggil Vivi sambil mengangkat papan permainan ular tangga. "Mau lanjut main berdua enggak?"Juned menoleh, senyumnya sedikit menggoda. "Boleh, tapi nggak usah pakai hukuman aneh-aneh lagi, ya. Enggak ada Novi yang bisa jadi kambing hitam kalau aku kalah."Vivi tertawa kecil dan mulai menyusun papan permainan lagi di lantai. "Tenang aja. Tapi siapa tahu kamu tetap kalah lagi, kan?" ucapnya sambil menyengir.Mereka mulai bermain, bergantian melempar dadu. Namun kali ini, Vivi tampak sedikit gelisah. Matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah tubuh Juned yang masih terbuka, menunjukkan otot dada dan lengannya yang terlihat atletis. Vivi berusaha keras untuk fokus pada permainan, tetapi pikirannya terus terganggu."Giliran kamu, Vivi," kata Juned, membuyarkan lamunan
Malam semakin larut. Vivi membantu Sulastri membereskan beberapa barangnya yang ia bawa seadanya dari rumah. Meski perasaan canggung masih ada, Vivi mulai merasa bahwa ia dan Sulastri memiliki nasib yang tak terlalu berbeda.Saat Juned mengeluarkan bantal dan selimut untuk dirinya sendiri di sofa, Vivi memandanginya sejenak. Ia tak bisa memungkiri, Juned memang memiliki sisi yang peduli dan bertanggung jawab. Namun, dalam situasi ini, Vivi merasa ia juga harus membantu, meski tak tahu bagaimana caranya.“Juned,” panggil Vivi tiba-tiba. “Kalau kamu butuh bantuan, kasih tahu aku, ya. Aku enggak mau cuma diam dan enggak berbuat apa-apa.”Juned tersenyum kecil. “Tenang aja, Vivi. Kita kerja sama buat bantu Sulastri. Tapi malam ini, coba kamu juga istirahat. Besok pasti butuh energi buat memikirkan langkah berikutnya.”Malam semakin larut, dan keheningan menyelimuti rumah Juned. Vivi telah masuk ke kamarnya, sementara Juned sudah tertidur pulas di sofa ruang tengah.Sulastri duduk di dekat
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga
Juned menopang tubuh Bu Ningsih yang limbung di pelataran klub, angin malam menerbangkan ujung gaun anggurnya.“Aku tak bisa pulang seperti ini,” ucap Bu Ningsih dengan bibir yang sudah tak jelas pengucapannya.“Di sebelah... ada hotel. Aku akan menginap saja.”Juned mengamati bangunan hotel sederhana yang berdiri tepat di samping klub. Lampu neon di depannya berkedip-kedip menampilkan tulisan “Hotel Mawar”. “Baik, Bu. Saya antar ke sana,” jawab Juned perlahan. Di lobi hotel yang sempit, resepsionis setengah baya mengangkat alis melihat mereka masuk. “Kamar untuk satu malam,” pinta Juned sambil menopang Bu Ningsih yang mulai mengantuk. Resepsionis itu mengeluarkan kunci kamar. “Nomor 204. Lantai dua. Lift di sebelah kanan.”Di dalam lift yang reyot, Bu Ningsih bersandar di dinding, matanya setengah terpejam. “Terima kasih... sudah menemaniku malam ini,” ucapnya dengan suara serak. Kamar hotel itu sederhana namun bersih. Juned menuntun Bu Ningsih yang limbung ke arah tempat t
Taksi berhenti di depan klub dengan lampu neon berwarna ungu yang berkedip-kedip. Suara musik yang menggelegar sudah terdengar dari luar. “Kita benar-benar akan masuk ke sini, Bu?” tanya Juned ragu, menatap kerumunan orang berpakaian modis di depan pintu. Bu Ningsih tersenyum girang seperti gadis muda. “Ayo, Juned! Aku ingin merasakan lagi bagaimana jadi orang bebas. Malam ini, lupakan semua masalah!”Dengan langkah mantap, Bu Ningsih menarik Juned yang masih ragu menuju pintu masuk. Penjaga pintu menyambut mereka dengan ramah sesuai prosedur yang diterapkan di tempat itu.“Selamat malam Tuan dan Nyonya, apakah anda sudah ada reservasi sebelumnya?” tanya penjaga. “Tidak, kami hanya ingin bersenang-senang sebentar,” jawab Bu Ningsih polos. Setelah membayar tiket masuk, mereka disambut gelombang musik yang mengguncang dada. Lampu laser berwarna-warni menyapu ruangan penulis orang menari. “Wah, sudah lama aku tidak ke tempat seperti ini!” teriak Bu Ningsih di telinga Juned agar
Bu Ningsih mengatupkan mata sejenak. “Tekanan dari mana-mana. Perusahaan tambang, warga yang terpecah... Aku khawatir dia tidak kuat.” Tangannya gemetar memegang lengan Juned. “Aku mengerti apa yang telah terjadi antara kamu dan suamiku.”Juned melempar pandangannya sesekali. Ingatannya kembali ke masa saat dia masih di kampung—Pak Kepala desa yang bersekongkol dengan Anton untuk menindas warga yang lemah.“Tapi Bu, saya sekarang sudah tak...”Bu Ningsih memandangnya tajam. “Kamu satu-satunya orang yang berani melawan Anton.” Juned menyeruput kopi hitam untuk menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bicara. “Hal yang di alami oleh Pak Kepala desa sudah menjadi konsekuensinya sebagai seorang pemimpin. Apa ibu mengerti kalau aku kehilangan banyak hal karena menentang mereka?”Bu Ningsih mengangkat wajahnya. Ada garis-garis air mata yang mengering di pipinya. “Ya, aku mengerti.”Juned sedikit merasa iba kepada Bu Ningsih. Namun untuk saat ini strategi melawan Anton tak bisa diseba
Juned berhenti sejenak, tangannya masih menempel di pundak Rizka. “Kenapa bertanya seperti itu, Mbak?” Rizka menggeleng, wajahnya memerah. Desakan hasrat dan rasa penasaran yang mulai menggerogoti moralitasnya. Sudah terlalu lama suaminya tak menyentuhnya, terlalu lama ia merasa diabaikan. Dan sekarang, di rumah sunyi ini, dengan Juned yang begitu dekat, rasanya sulit untuk tetap kuat. “Tidak... aku hanya...” Rizka tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Juned memandangnya, matanya membaca kegelisahan di wajah Rizka. Ia tahu apa yang terjadi, dan meski hatinya juga bergejolak, ia mencoba menahan diri. Tapi godaan itu terlalu besar. “Mbak Rizka...” ucapnya pelan, tangannya tanpa sadar bergerak ke pinggangnya. Rizka menahan napas. Detak jantungnya begitu kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seolah tak mau menurut. “Mas, aku...” Juned mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Rizka. Nafasnya hangat, membelai kulit Rizka yang sudah
Rizka langsung menunduk, tangannya bergetar. “Aku... aku masih belum tahu...”“Bagaimana kalau aku berikan sedikit terapi di tanganmu sekarang?” Juned langsung meraih tangan Rizka.Jantung dan aliran darah Rizka berdenyut lebih kencang saat tangan kasar Juned meraba telapak tangannya.Rizka mencoba menarik kembali tangannya. “Mas, jangan begini. Aku takut suamiku–”“Tidak akan, suami kamu pulang jam sembilan. Ini hanya pijatan tangan saja.” Juned tak melepaskan tangan Rizka yang halus.Rizka mengisap bibir bawahnya, merasakan sentuhan Juned yang terampil di bawah bahan kemejanya. “Pijatan... memang enak,” bisiknya, tanpa sadar membiarkan pergelangan tangannya lebih rileks. Juned menggeser posisi, memastikan tangannya tidak menyentuh bagian yang tidak pantas. “Teknik khusus untuk relaksasi. Coba fokus pada tarikan napas.”Jari-jarinya berpindah dengan presisi dari telapak tangan ke pergelangan, menekan titik-titik akupresur. Rizka menutup mata, tapi tiba-tiba membukanya lebar ke
“Tapi kita butuh backup. Aku tidak bisa mengawasi pertemuanmu besok sendirian.”Juned meraih tangan Tania dengan lembut, membuka kepalan jarinya satu per satu. “Percayalah padaku,” bisiknya, matanya memancarkan keteguhan. “Aku hanya akan bersikap normal seperti biasa. Tidak lebih.”Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Yang lebih mengkhawatirkan aku justru keselamatanmu. Jika sampai ada yang tahu kau sedang menyelidiki mega proyek Anton Perkasa, Cakra Buana, dan Bumi Marina...”Tania menatap Juned, melihat bayangan ketakutan yang jarang terlihat di mata pasangannya itu. “Aku akan berhati-hati,” janjinya, memutar tangan sehingga kini dialami yang menggenggam Juned. “Tapi kau harus berjanji—”“Aku tahu,” Juned menyela dengan senyum kecil. “Tidak heroik. Tidak mengambil risiko. Jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung pergi.”Tania mengangkat tangan sambil menutup mulut yang menguap lebar. “Maaf ya, sayang. Aku mau tidur duluan. Lelah sekali hari ini,” ujarnya sambil berj
Tania tiba-tiba berdiri. “Kita harus segera kembali. Aku perlu memeriksa ulang semua dokumen tentang kasus yang melibatkan Anton Perkasa maupun Cakra Buana.”Juned mengangguk otomatis, tapi matanya kosong.Matahari tepat di atas kepala ketika mereka bersiap berpamitan dari warung tenda itu. Jam menunjukkan pukul 2 siang.“Tania... anakku,” Pak Samijo memegang bahu Tania erat-erat, matanya berkaca-kaca. “Kau tumbuh menjadi wanita hebat. Ibumu pasti bangga.”Tania tersenyum lembut, kali ini tanpa beban. “Terima kasih, Pak... Ayah.” Kata “ayah” diucapkannya dengan suara kecil, tapi penuh makna. Samijo kemudian memandang Juned, matanya berbinar. “Dan kau, Juned... ternyata lelaki yang jauh lebih baik dari yang pantas kudapatkan untuk menantuku.” Tangannya yang kasar menepuk bahu Juned dengan hangat. “Dulu aku salah menilaimu."Juned tersenyum, rasa dendamnya telah menguap digantikan kehangatan yang tak terduga. “Sudah lama berlalu, Pak." “Kalian berdua... sangat cocok," ujar Samij
Juned menatap bingung antara Tania dan Pak Samijo. "Tania, apa—" "Dia adalah ayah kandungku," bisik Tania tiba-tiba, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Pak Samijo terdorong bangkit dari kursinya, wajahnya pucat pasi. "Tidak mungkin... Mirna bilang bayinya—" "Bayinya meninggal?" Tania menyelesaikan kalimatnya dengan lembut. "Ibu berbohong karena Anda mengusirnya saat hamil."Juned ternganga, tangannya tanpa sadar meraih lengan Tania. "Tapi... selama ini kau tidak pernah—"Yang mengejutkan Juned, Tania justru tersenyum kecil - senyum yang penuh pengertian, bukan kemarahan. "Aku menemukan surat-surat ibu seminggu lalu," lanjut Tania dengan suara jernih. "Dia menulis bagaimana Anda sebenarnya menyesal, tapi tidak tahu cara menemukannya lagi setelah dia pindah ke kota." Pak Samijo jatuh berlutut, air matanya mengalir deras. "Aku... aku tidak pantas—" Tania tiba-tiba meraih tangan Pak Samijo yang keriput. "Tidak," bisiknya. "Kita semua punya kesalahan. Tapi darah tetap dara