Home / CEO / Tuan Presdir, Jangan Kejar Aku! / Bab 2. Pergi Menjauh

Share

Bab 2. Pergi Menjauh

"Ma—”

“Sudah berani melawan mama?!" sergah Lita, ibu tirinya, tanpa membiarkan Vania menyelesaikan kalimat terlebih dahulu. 

Mendengar itu, Vania mendengus sinis, tak menjawab apa yang dikatakan oleh ibunya.

"Begitu caramu balas budi pada orang tua?!” tanya Lita dengan suara semakin meninggi. “Mama cuma meminta tolong agar kamu menemani klien mama makan malam, tapi kenapa kamu malah kabur tanpa pamit?!" cecar wanita paruh baya itu. Amarahnya sudah meledak-ledak.

Vania hanya bisa menganga mendengar cecaran Lita. Sepasang matanya yang sembab menatap tajam ke arah wanita itu. 

“Menemani klien Mama makan?” ulang Vania dengan nada tak percaya. Ia menyergah napas kasar, berusaha menekan amarah yang ikut terpancing. “Bukannya Mama ingin menjualku pada pria hidung belang itu?” 

Lita membelalak kaget, tidak menduga Vania akan menentangnya seperti itu. 

“Apa katamu? Berani-beraninya—”

“Mama yang memasukkan obat perangsang ke dalam minumanku kan?” sela Vania dengan suara bergetar. “Mama sengaja melakukan itu untuk menjual tubuhku kepada tua bangka itu!" 

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Vania, membuat tubuhnya limbung karena tidak mengantisipasi serangan mendadak itu. 

“Anak tak tahu diuntung!” sergah Lita penuh amarah. “Kamu pikir Mama serendah itu, hah?!” 

Belum sempat memproses apa yang baru saja terjadi, tubuh Vania kembali limbung ke samping saat Sheila tiba-tiba mendorongnya. 

“Ngomong apa kamu barusan?!” sentak saudari tirinya itu marah. “Coba ulang sekali lagi!" teriak Sheila dengan amarah menggebu. 

Vania terdiam. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Percuma melawan, ia tak akan pernah menang menghadapi ibu dan anak di hadapannya ini. 

Melihat Vania yang diam seribu bahasa, Sheila merasa tertantang. Ia langsung meraih rambut Vania dan menjambaknya. Ia menyeret Vania untuk masuk ke ruang tengah. 

“Akh, sakit, Sheila! Lepaskan aku!” Vania meronta-ronta. 

Sheila menyentak tangannya, melepas jambakan pada rambut Vania dengan kasar. "Dasar bebal! Harusnya kamu tinggal nurut sama kita supaya hidupmu enak!"

Lita melangkahkan kakinya untuk mendekati Vania yang tersungkur di lantai. 

"Gara-gara kamu, klien mama marah besar dan meminta ganti rugi. Puas kamu membuat mama malu, hah?!" 

Vania sebenarnya sudah terlalu lelah untuk sekadar merespon ucapan ibu tirinya itu. Tapi ia sudah tidak tahan lagi diperlakukan semena-mena seperti ini. Lita dan Sheila sudah keterlaluan.

"Bukankah kalian yang seharusnya tahu diri?” tanya Vania dengan suara bergetar. “Kalian sudah mengambil semua harta peninggalan Papa, seharusnya kalian berbalas budi dengan memperlakukanku lebih baik, bukan malah menjualku kepada laki-laki hidung belang!" katanya dengan lantang.

Plak!

Sekali lagi, Lita menampar pipi Vania tanpa belas kasihan. Dia tak menyangka jika anak tirinya sudah mulai berani melawannya.

"Selama ini aku sudah memberimu makan, sudah memberimu pakaian yang bagus dan juga tempat tinggal! Apa itu masih kurang?!” sentak Lita marah. 

Setelah itu, wanita paruh baya itu seolah kehilangan akal. Ia mengeluarkan semua kekesalannya dengan kekerasan. 

Sedangkan Vania tidak bisa menolong dirinya sendiri. Ia kalah kekuatan karena Sheila ikut menyiksanya. 

"Vania, Vania …” kata Sheila sambil berdecak pura-pura bersimpati melihat Vania yang terkulai tak berdaya. “Seandainya kamu nurut, hidup kamu pasti enak. Duit kamu juga akan banyak, kamu bisa beli apapun. Tapi sayangnya kamu bebal!" 

Setelahnya, ibu dan anak itu berlalu begitu saja. Vania tidak bergerak dari posisinya. Ia sudah kehabisan tenaga. Wajahnya sembab berlinang air mata, tampak memerah karena tamparan bertubi dari ibu dan saudara tirinya. 

“Ternyata selama ini mereka hanya berpura-pura baik …” lirih Vania. Ia tertawa sinis. Tak menyangka akan berada di posisi rendah seperti ini. 

**

Keesokan harinya, meski tubuhnya penuh dengan lebam dan terasa nyeri, Vania tetap dipaksa untuk membereskan rumah. 

Rumah yang tadinya menjadi tempat nyaman berubah menjadi seperti neraka karena Lita dan Sheila memperlakukannya layaknya pembantu. 

Tapi Vania hanya bisa menelan semua keluhannya. Ia tidak punya tempat tujuan yang lebih baik, jadi mau tidak mau ia harus tetap bertahan di rumah ini. 

Vania mengepel lantai di ruang keluarga, dimana ibu dan anak itu sedang menonton acara televisi. Keduanya sangat antusias melihat siaran yang menyiarkan sebuah berita yang tengah gempar.

“Mama, dia tampan sekali!” pekik Sheila heboh saat melihat sosok di layar televisi. 

“Kamu harus mencari pria seperti itu, Sheila,” ujar Lita. “Hidupmu pasti akan terjamin tujuh turunan!” 

“Mama tenang saja, aku akan mencari cara untuk bisa mendekatinya!” sahut Sheila antusias. 

“Mama yakin kamu bisa mendapatkan dia. Siapa yang bisa menolak pesona anak cantik mama?” kata Lita percaya diri, membuat Sheila terkikik senang. 

Vania hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan ibu dan anak yang kompak berhalusinasi seperti itu. Ia menghentikan aktivitasnya sejenak untuk melihat siapa yang telah membuat mereka begitu gembira. 

Meski jaraknya dengan televisi cukup jauh, tapi Vania langsung membeku saat mengenali sosok di layar persegi itu. 

Berita itu menyiarkan seorang pengusaha tampan yang tengah naik daun karena produk terbarunya merambah hingga ke kancah internasional. 

Vania mengerjapkan mata, mulutnya menganga tidak percaya. 

Jadi, pria yang tidur dengannya malam itu adalah seorang pengusaha kaya raya?! 

"Tidak mungkin…” lirih Vania, menolak untuk percaya. “Bagaimana ini? Bagaimana kalau ia mencariku untuk meminta ganti rugi?” 

Vania segera menyudahi kegiatannya dan melangkahkan kakinya ke kamar. Hatinya sangat gelisah dan ketakutan.

“Orang sepertinya pasti akan mudah mencariku kan?” Vania bertanya pada diri sendiri sambil mondar-mandir di dalam kamar. “Tidak, tidak! Dia pasti tidak mengingatku karena terlalu mabuk!” 

Vania menggigiti kukunya untuk meredam rasa panik. 

Vania khawatir kejadian itu diketahui publik dan menjadi skandal yang bisa merusak reputasi pria itu… lalu dirinya yang akan disalahkan. Entah apa yang akan dilakukan pria itu kepadanya sebagai balasan. Bisa saja ia dituntut, tapi bagaimana kalau nyawanya diambil sebagai gantinya?! 

"Aku harus pergi dari tempat ini!” kata Vania tiba-tiba. 

Ya, itu adalah satu-satunya jalan supaya pria itu tidak dapat menemukannya.

Selain itu, Vania juga bisa terhindar dari ibu dan saudari tirinya. Ia tidak mau dijual lagi kepada pria hidung belang!

“Tapi aku harus pergi ke mana?” desah Vania frustasi. 

Tepat saat itu, ponselnya berdering. Ia menatap nama pada layar dan sepasang matanya langsung membelalak. Sebuah ide cemerlang terlintas dalam benaknya. 

“Ini dia!” pekik Vania tertahan. Dengan antusias ia menerima panggilan dari sahabatnya yang sedang berada di luar negeri itu… 

Di sisi lain, berpuluh-puluh kilometer dari kediaman Vania, seorang pria tengah duduk di singgasananya dengan wajah mengeras setelah menerima informasi dari asistennya. 

“Kau tidak menemukannya?!” 

“Maafkan saya, Tuan. Tapi wanita itu pergi di tengah pagi buta, tidak ada yang melihat ke mana dia pergi. CCTV hanya memperlihatkan saat ia pergi meninggalkan hotel. Setelah itu, tidak ada jejak sama sekali.” 

Hans menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi dengan kesal. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. 

Sudah lebih dari 24 jam saat terakhir kali ia melihat wanita itu dan ia belum menemukan identitasnya sama sekali. Ia bahkan tidak mengetahui namanya! 

Hans membuka mata dan memijat pelipis. Terbayang olehnya malam panas yang tak terlupakan. Sentuhan dan suara desahan gadis itu masih terngiang-ngiang. 

Pria itu tampak resah. Apalagi, malam itu ia tidak mengenakan pengaman sama sekali. 

Hans lantas menatap sebuah gelang dengan ukiran rumit tapi indah yang berada dalam genggamannya. Ia mengusap gelang itu dengan jarinya. 

Ia menghela napas, dengan lirih berkata, “Aku pasti akan menemukanmu…”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status