"Ma—”
“Sudah berani melawan mama?!" sergah Lita, ibu tirinya, tanpa membiarkan Vania menyelesaikan kalimat terlebih dahulu.
Mendengar itu, Vania mendengus sinis, tak menjawab apa yang dikatakan oleh ibunya.
"Begitu caramu balas budi pada orang tua?!” tanya Lita dengan suara semakin meninggi. “Mama cuma meminta tolong agar kamu menemani klien mama makan malam, tapi kenapa kamu malah kabur tanpa pamit?!" cecar wanita paruh baya itu. Amarahnya sudah meledak-ledak.
Vania hanya bisa menganga mendengar cecaran Lita. Sepasang matanya yang sembab menatap tajam ke arah wanita itu.
“Menemani klien Mama makan?” ulang Vania dengan nada tak percaya. Ia menyergah napas kasar, berusaha menekan amarah yang ikut terpancing. “Bukannya Mama ingin menjualku pada pria hidung belang itu?”
Lita membelalak kaget, tidak menduga Vania akan menentangnya seperti itu.
“Apa katamu? Berani-beraninya—”
“Mama yang memasukkan obat perangsang ke dalam minumanku kan?” sela Vania dengan suara bergetar. “Mama sengaja melakukan itu untuk menjual tubuhku kepada tua bangka itu!"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Vania, membuat tubuhnya limbung karena tidak mengantisipasi serangan mendadak itu.
“Anak tak tahu diuntung!” sergah Lita penuh amarah. “Kamu pikir Mama serendah itu, hah?!”
Belum sempat memproses apa yang baru saja terjadi, tubuh Vania kembali limbung ke samping saat Sheila tiba-tiba mendorongnya.
“Ngomong apa kamu barusan?!” sentak saudari tirinya itu marah. “Coba ulang sekali lagi!" teriak Sheila dengan amarah menggebu.
Vania terdiam. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Percuma melawan, ia tak akan pernah menang menghadapi ibu dan anak di hadapannya ini.
Melihat Vania yang diam seribu bahasa, Sheila merasa tertantang. Ia langsung meraih rambut Vania dan menjambaknya. Ia menyeret Vania untuk masuk ke ruang tengah.
“Akh, sakit, Sheila! Lepaskan aku!” Vania meronta-ronta.
Sheila menyentak tangannya, melepas jambakan pada rambut Vania dengan kasar. "Dasar bebal! Harusnya kamu tinggal nurut sama kita supaya hidupmu enak!"
Lita melangkahkan kakinya untuk mendekati Vania yang tersungkur di lantai.
"Gara-gara kamu, klien mama marah besar dan meminta ganti rugi. Puas kamu membuat mama malu, hah?!"
Vania sebenarnya sudah terlalu lelah untuk sekadar merespon ucapan ibu tirinya itu. Tapi ia sudah tidak tahan lagi diperlakukan semena-mena seperti ini. Lita dan Sheila sudah keterlaluan.
"Bukankah kalian yang seharusnya tahu diri?” tanya Vania dengan suara bergetar. “Kalian sudah mengambil semua harta peninggalan Papa, seharusnya kalian berbalas budi dengan memperlakukanku lebih baik, bukan malah menjualku kepada laki-laki hidung belang!" katanya dengan lantang.
Plak!
Sekali lagi, Lita menampar pipi Vania tanpa belas kasihan. Dia tak menyangka jika anak tirinya sudah mulai berani melawannya.
"Selama ini aku sudah memberimu makan, sudah memberimu pakaian yang bagus dan juga tempat tinggal! Apa itu masih kurang?!” sentak Lita marah.
Setelah itu, wanita paruh baya itu seolah kehilangan akal. Ia mengeluarkan semua kekesalannya dengan kekerasan.
Sedangkan Vania tidak bisa menolong dirinya sendiri. Ia kalah kekuatan karena Sheila ikut menyiksanya.
"Vania, Vania …” kata Sheila sambil berdecak pura-pura bersimpati melihat Vania yang terkulai tak berdaya. “Seandainya kamu nurut, hidup kamu pasti enak. Duit kamu juga akan banyak, kamu bisa beli apapun. Tapi sayangnya kamu bebal!"
Setelahnya, ibu dan anak itu berlalu begitu saja. Vania tidak bergerak dari posisinya. Ia sudah kehabisan tenaga. Wajahnya sembab berlinang air mata, tampak memerah karena tamparan bertubi dari ibu dan saudara tirinya.
“Ternyata selama ini mereka hanya berpura-pura baik …” lirih Vania. Ia tertawa sinis. Tak menyangka akan berada di posisi rendah seperti ini.
**
Keesokan harinya, meski tubuhnya penuh dengan lebam dan terasa nyeri, Vania tetap dipaksa untuk membereskan rumah.
Rumah yang tadinya menjadi tempat nyaman berubah menjadi seperti neraka karena Lita dan Sheila memperlakukannya layaknya pembantu.
Tapi Vania hanya bisa menelan semua keluhannya. Ia tidak punya tempat tujuan yang lebih baik, jadi mau tidak mau ia harus tetap bertahan di rumah ini.
Vania mengepel lantai di ruang keluarga, dimana ibu dan anak itu sedang menonton acara televisi. Keduanya sangat antusias melihat siaran yang menyiarkan sebuah berita yang tengah gempar.
“Mama, dia tampan sekali!” pekik Sheila heboh saat melihat sosok di layar televisi.
“Kamu harus mencari pria seperti itu, Sheila,” ujar Lita. “Hidupmu pasti akan terjamin tujuh turunan!”
“Mama tenang saja, aku akan mencari cara untuk bisa mendekatinya!” sahut Sheila antusias.
“Mama yakin kamu bisa mendapatkan dia. Siapa yang bisa menolak pesona anak cantik mama?” kata Lita percaya diri, membuat Sheila terkikik senang.
Vania hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan ibu dan anak yang kompak berhalusinasi seperti itu. Ia menghentikan aktivitasnya sejenak untuk melihat siapa yang telah membuat mereka begitu gembira.
Meski jaraknya dengan televisi cukup jauh, tapi Vania langsung membeku saat mengenali sosok di layar persegi itu.
Berita itu menyiarkan seorang pengusaha tampan yang tengah naik daun karena produk terbarunya merambah hingga ke kancah internasional.
Vania mengerjapkan mata, mulutnya menganga tidak percaya.
Jadi, pria yang tidur dengannya malam itu adalah seorang pengusaha kaya raya?!
"Tidak mungkin…” lirih Vania, menolak untuk percaya. “Bagaimana ini? Bagaimana kalau ia mencariku untuk meminta ganti rugi?”
Vania segera menyudahi kegiatannya dan melangkahkan kakinya ke kamar. Hatinya sangat gelisah dan ketakutan.
“Orang sepertinya pasti akan mudah mencariku kan?” Vania bertanya pada diri sendiri sambil mondar-mandir di dalam kamar. “Tidak, tidak! Dia pasti tidak mengingatku karena terlalu mabuk!”
Vania menggigiti kukunya untuk meredam rasa panik.
Vania khawatir kejadian itu diketahui publik dan menjadi skandal yang bisa merusak reputasi pria itu… lalu dirinya yang akan disalahkan. Entah apa yang akan dilakukan pria itu kepadanya sebagai balasan. Bisa saja ia dituntut, tapi bagaimana kalau nyawanya diambil sebagai gantinya?!
"Aku harus pergi dari tempat ini!” kata Vania tiba-tiba.
Ya, itu adalah satu-satunya jalan supaya pria itu tidak dapat menemukannya.
Selain itu, Vania juga bisa terhindar dari ibu dan saudari tirinya. Ia tidak mau dijual lagi kepada pria hidung belang!
“Tapi aku harus pergi ke mana?” desah Vania frustasi.
Tepat saat itu, ponselnya berdering. Ia menatap nama pada layar dan sepasang matanya langsung membelalak. Sebuah ide cemerlang terlintas dalam benaknya.
“Ini dia!” pekik Vania tertahan. Dengan antusias ia menerima panggilan dari sahabatnya yang sedang berada di luar negeri itu…
Di sisi lain, berpuluh-puluh kilometer dari kediaman Vania, seorang pria tengah duduk di singgasananya dengan wajah mengeras setelah menerima informasi dari asistennya.
“Kau tidak menemukannya?!”
“Maafkan saya, Tuan. Tapi wanita itu pergi di tengah pagi buta, tidak ada yang melihat ke mana dia pergi. CCTV hanya memperlihatkan saat ia pergi meninggalkan hotel. Setelah itu, tidak ada jejak sama sekali.”
Hans menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi dengan kesal. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
Sudah lebih dari 24 jam saat terakhir kali ia melihat wanita itu dan ia belum menemukan identitasnya sama sekali. Ia bahkan tidak mengetahui namanya!
Hans membuka mata dan memijat pelipis. Terbayang olehnya malam panas yang tak terlupakan. Sentuhan dan suara desahan gadis itu masih terngiang-ngiang.
Pria itu tampak resah. Apalagi, malam itu ia tidak mengenakan pengaman sama sekali.
Hans lantas menatap sebuah gelang dengan ukiran rumit tapi indah yang berada dalam genggamannya. Ia mengusap gelang itu dengan jarinya.
Ia menghela napas, dengan lirih berkata, “Aku pasti akan menemukanmu…”
Akhirnya pun Vania memutuskan pergi ke luar negeri, Di luar negeri dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk meraih cita-citanya yang tertunda,Hari-harinya di isi dengan kerja untuk mengembangkan bakatnya. Meskipun perjuangannya begitu amatlah berat dan sulit.Kali ini dewi fortuna sedang menghampiri dirinya, takdirnya sangat begitu mulus itu semua karena yang semangat yang luar biasa dan didukung dengan kemauan yang sangat tinggi membuat dirinya sangat begitu dipercaya oleh beberapa perusahaan yang menaungi dirinya,Kini wanita yang berusia 23 tahun bisa berdiri sendiri, menghidupi dirinya sendiri dengan kekutaan dan kemauan yang sangat tinggi."Sekarang aku bisa berdiri di kaki ku sendiri." ujar Vania si wanita yang pantang menyerah. "Aku sudah sangat tak sabar menjemput kesuksesan ku." lanjutnya sambil tersenyum sinis di bibirnya dengan tangan kanan membawa sebuah gelas.Tak di pungkiri Vania berjuang sangat keras itu semua di karenakan dendam yang sangat membara di hatinya,Denda
Dia kembali dengan segudang prestasi, menjadikan seorang wanita yang sudah berubah jauh dari sebelumnya Menjadi wanita yang mandiri yang bisa mengurus dua anak sekaligus,Yang pasti Vania menjadi wanita yang lebih cantik dengan pribadi yang lebih kuat.Wanita single mom yang memiliki pesona yang nampak luar biasa.Kini Vania sudah sampai di negara asalnya, Sekarang dirinya kini berada di sebuah bandara bersama kedua anaknya, Saat Vania sedang berjalan sambil bertelepon, dia tak sengaja menabrak seorang laki-laki yang sedang berdiri yang juga sambil melihat ponselnya"Ahhh." teriak Vania yang terkejut,Vania pun spontan langsung memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Maaf pak." Vania pun menganggukan badannya sebagai permohonan maaf karena tak sengaja menabrak. "Maafkan saya saya teledor." lanjut ucap Vania.Dan laki-laki yang sedang berdiri sambil memakai sebuah kacamata hitam yang menempel di batang hidungnya itu terdiam.Dia pun mengalihkan pandangannya ke arah wanita cantik yang
Keesokan harinya.Wanita dua anak tersebut harus langsung bekerja.Dia memakai sebuah setelan jas berwarna hitam dengan dalaman memakai kemeja berwarna putih, dengan bawahan rok selutut."Anak-anak kalian di rumah ya, mama harus bekerja. Jika kalian ingin makan ambil sendiri, mama sudah siapin di dapur." teriak Vania yang sedang memasang sepatu yang hendak pergi bekerja.Vero dan Vino lekas keluar dari kamar mereka, untuk melepas kepergian mama mereka pergi bekerja."Ma nanti pulang jam berapa?" tanya Vino yang merasa sedikit susah di tinggal Vania.Maklumlah ini adalah hari pertama mereka di tinggal bekerja karena selama di luar negeri Vania selalu kerja di rumah.Vania pun menatap kedua anaknya."Kalian gak usah khawatir, jika nanti mama pulang, mama akan langsung pulang." ujar ibu dua anak itu.Vero pun memeluk Vania, "Ya sudah mama berangkat kerja, mama gak usah khawatir aku akan menjaga Vino kok ma." sahut Vero sang anak pertama Vania.Mereka adalah anak yang selalu berpikir dewas
Dan wanita cantik itu yang jantungnya berdebar, dia pun melangkahkan kakinya untuk kembali ke ruangannya,Dia kembali bekerja dengan perasaan yang tak menentu.Ini adalah hari pertamanya bekerja namun sayang dia bertemu kembali pria yang di temuinya di bandara.Dia yang tak lain pria yang merenggut kesuciannya.Dan Vania pun kembali ke meja kerjanya, dia pun melanjutkan kerjanya yang tertunda.Dia pun memulai menggambar desain sebuah kalung, Vania yang memiliki desain ciri khasnya yang simpel sederhana namun terlihat sangat indah yang jelas dalam rancangannya semua harus memiliki nilai seni."Hemm enaknya ini harus di bagaimana ya? Kenapa aku tak bisa konsentrasi?" tanyanya sendirisambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal itu.Rasanya otaknya seketika tidak bisa berfikir.Dan dia pun mendengus kesal pada dirinya, "Aghhh kenapa aku kurang fokus sih?" lanjutnya sambil menghembuskan nafas panjangnya untuk menetralkan pikirannya.Dan Vania pun beranjak dari duduknya dan dia membuat
Dan laki-laki yang memiliki tinggi 183 cm itu membacanya dengan detail tanap melewatkan satu kata pun.Bola matanya mengikuti setiap kata demi kata yang di bacanya,Dan Hans menelan ludahnya membaca sebuah tulisan riwayat sekolah Vania."Ini adalah sebuah wilayah dimana malam itu terjadi." gumamnya dalam hati..Dan jantungnya pun semakin berdegup dengan kencang.Dan Hans beranjak dari duduknya.Dan dia mengalihkan pandangannya menuju langit yang membiru, untuk menetralkan gemuruh yang ada di dadanya."Sudah ada dua bukti yang mengerucut mengarah ke arah wanita yang bernama Vania Seisilia itu." lanjutnya dalam hati dengan perasaan entah senang atau justru canggung.Keesokan harinya.Di poisisi C3 lagi sedang ramai dengan sebuah rancangan Vita yang sangat fenomenal.Semua para desainer mengerubungi hasil karya Vita.Tak terkecuali Vania, dia sangat kagum dengan desain dari Vita, namun setelah tangannya menyentuh bahan kain yang di gunakan dalam karya Vita membuat Vania mengerutkan alisn
Saat Hans selesai menelepon entah mengapa rasa di dalam dadanya berdegub dengan kencang,Dan dia pun memgang dadanya dengan kedua tangannya."Kenapa jantung ku berdetak tak karuan." Dan dia pun menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkan kembali.Itu di lakukannya untuk menetralkan senam jantungnya yang lumayan cepat.Tok too tok..Suara orang yang mengetuk pintu."Masuk." seru Hans dari dalam rungannya.Dan ternyata yang masuk adalah Vania."Selamat siang bapak, ada apa bapak memanggil saya?" tanya Vania sambil berdiri di depan Hans.Hans pun yang tengah duduk dia pun menatap dari bawah tubuh Vania.Dia menatap kaki Vania lalu tatapan itu menjalar sampai atas."Apa kamu yang bernama Vania?" tanya Hans.Dan Vania pun menganggukan kepalanya.Dan Hans pun mempersilahkan duduk."Aku ingin mengetahui siapa kamu?" lanjut Hans.Dan Vania yang mendengar itu dia pun mengerutkan dahinya, "Mati aku, apa jangan-jangan dia sudah mengetahui siapa aku?" ujarnya dalam hati.Dan Vania berpura-pura
Keesokan harinya."Vero Vino mama berangkat dulu ya kalian kalau mau makan kalian bisa ambil di dapur mama sudah siapin semuanya di dapur," teriak Vania yang sedang memasang sepatunya dan akan bersiap berangkat pergi bekerja.Vero dan Vino pun melangkahkan kakinya mendekati Vania, untuk melepas kepergian mama untuk berangkat bekerja."Kita kapan masuk sekolah ma?" tanya Vero."Iya nih ma aku sudah bosen di rumah." sahut Vino.Vania menjelaskan kepada dua anaknya dengan nada yang amat luar biasa lembut dan mudah di pahami oleh kedua anaknya."Nanti mama ke sekolah kalian dulu, mama mau membayar perlengkapan yang belum mama bayar dan besok kalian bisa sekolah." ujar Vania yang menjelaskan kepada anaknya.Mereka pun berpelukan bersama, Vania pun pamit kepada kedua anaknya untuk bekerja. "Ya udah ini sudah siang, mama berangkat dulu ya anak-anak, jika ada apa-apa kalian bisa telepon mama." lanjutkan sambil membuka pintu apartemennya untuk keluar.Vania melambaikan kedua tangannya,"D
Hans pun menelan ludahnya, dan dia pun menatap lekat-lekat dua anak yang berada di depannya.Dua anak yang tampan dengan wajah yang putih sediki kemerahan.Dan Hans mengangguk-nganggukan kepalanya sendiri mendengar cerita mereka."Iya sudah kalian makan dulu ya, kalau sudah selesai nanti kalian paman antar pulang." seru Hans.Dan kedua anak kembar yang berada di depannya makan begitu lahabnya, membuat hati Hans sangat teriris-iris."Paman gak udah antar kita pulang, kita bisa pulang sendiri nanti." iawab Vero sambil makan.Ya bagaimana tidak sakit hatinya Hans mengingat dirinya selama hidup tak pernah kekurangan makanan bahkan selalu makan-makan yang sehat dan tentunya gizinya selalu terpenuhi.Lalu melihat kedua anak di depannya yang makan seperti orang yang tak pernah makan."Paman kenapa tidak di makan?" sahut Vino.Hans yang sedang melamum dan berperang dengan pikirannya membuat dia terkejut, "Oh iya, paman akan makan." jawab Hans sambil menyendokan makanan dan memasukan kedalam