"Ahh, kenapa badanku terasa begitu panas?" Vania bertanya-tanya sambil mengibaskan tangannya di depan wajah.
Rasa panas kian menjalari seluruh tubuhnya, membuatnya gelisah tidak karuan. Ia lantas meraih minuman yang ada di depannya dan meneguknya sekaligus.
Namun, bukannya merasa lega, Vania semakin merasa gerah. Kepalanya berdenyut-denyut, membuat ia mengernyitkan kening saat pandangannya mulai mengabur.
Gadis itu mengangkat gelas yang berada di depannya dan menatapnya lekat. Ada sisa butiran bubuk di dasar gelas yang seketika membuatnya membelalak.
"Minuman ini pasti sudah dimasukkan sesuatu!” desis Vania panik.
Pandangannya langsung tertuju pada laki-laki yang berada di depannya. Pria itu menatap dirinya dengan sebuah senyum congkak tercetak di wajahnya yang keriput karena usia.
“Apa yang kau masukkan ke dalam minumanku?!” geram Vania dengan mata memerah.
Pria itu malah tertawa kencang. Ia memajukan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa senti dari Vania. “Aku tidak memasukkan apapun ke dalam minumanmu, Cantik,” katanya masih dengan senyuman mesum.
Vania langsung menarik diri dan berusaha berdiri dari kursinya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Instingnya mengatakan ia harus pergi dari sana sekarang juga.
“Hey, mau ke mana?” Pria paruh baya itu berusaha meraih tangan Vania, tapi gadis itu lekas menepisnya dan berjalan sempoyongan keluar dari restoran dengan cahaya remang-remang itu.
"Ah, sial!” gerutunya saat menabrak dinding lorong yang gelap. Gadis itu mempercepat langkah saat mendengar suara pria asing yang tadi bersamanya di dalam ruangan privat restoran.
"Mau ke mana kau?!"
Vania terperanjat saat suara itu semakin dekat.
“Hey, jalang! Aku sudah membayarmu mahal!” Pria itu memaki kesal sambil tergopoh-gopoh mengejar Vania. Tetapi karena kesadarannya sudah menurun jauh akibat alkohol, ia kalah cepat dari gadis itu.
"Berhenti! Jika tidak berhenti, aku akan menghabisimu!" ancam laki-laki paruh baya itu. Tapi Vania tidak peduli. Ia terus berlari tergesa menghindari bahaya.
Dalam hati ia menangis kesal karena ibunya telah tega menjualnya pada lelaki hidung belang.
“Pasti Ibu yang memasukkan obat sialan itu ke dalam minumanku!” gerutunya dengan napas terengah. Ia menoleh ke belakang dan mendapati pria itu ternyata masih berusaha mengejarnya.
Vania akhirnya melepas sepatu hak tingginya agar bisa berlari lebih cepat. Nafasnya sudah tak beraturan, bibirnya terus saja mendesis, namun dia harus tetap bisa menghilangkan jejak dari tua bangka itu.
"Aku sudah tidak kuat lagi..." lirihnya sambil berlari tak tentu arah, tak tahu harus pergi ke mana. Rasanya semua lorong yang ia lewati tidak menemukan jalan keluar.
Saat itu lah pandangannya tertuju pada pintu yang sedikit terbuka di ujung lorong. Vania segera membawa langkahnya ke sana.
Gadis itu langsung mendorong pintu lebih lebar dan masuk ke dalam. “Maaf!” serunya sambil menutup pintu dengan cepat.
Nafasnya tersengal. Sekujur tubuhnya terasa panas dan lengket karena keringat. Sesuatu dalam dirinya seolah baru saja meledak, membuat Vania kehilangan akal.
"Siapa kamu?” tanya sebuah suara bariton yang langsung membuat Vania menoleh. “Kenapa masuk kamarku?" tanyanya lagi, tampak terkejut melihat wanita asing yang masuk sembarangan ke ranah pribadinya.
Pria itu, Hans, adalah tamu yang sedang menginap di kamar hotel bernomor 1433 itu.
“Ma-maaf…” lirih Vania dengan suara bergetar, nyaris kehilangan fokus. Tatapan mata tampak sayu seolah tak memiliki kekuatan.
Bibirnya tak henti-hentinya mendesah tanpa bisa dikontrol. Ia menatap Hans sayu. “Maafkan saya Tuan… bolehkah saya bersembunyi di sini se-sebentar?” tanyanya terbata-bata, tampak berusaha mengumpulkan fokusnya yang telah buyar. Akan tetapi, kesadarannya sudah di ambang batas. Kepalanya terasa begitu berat, dan pada detik berikutnya, Vania terjatuh ke lantai.
Hans memaksa dirinya untuk tetap sadar meskipun kadar alkohol dalam darahnya tak bisa berbohong. Kepalanya berdenyut dengan pandangan yang mengabur.
Namun, pemandangan di hadapannya tak dapat terelakkan. Posisi Vania yang ambigu membuat Hans dapat melihat pahanya putih mulusnya terekspos, belum lagi gaun mininya itu membuat belahan dadanya terlihat jelas.
Hans menelan ludah.
“Tu-Tuan tolong … panas ….” lirih Vania yang masih tergeletak di lantai. “Saya sudah tidak tahan lagi ….”
Hans lantas menggendong Vania dan meletakkannya di atas kasur dengan susah payah karena ia sendiri mulai kehilangan kontrol.
Tanpa diduga, Vania tiba-tiba melepas tali gaun yang menempel di bahunya begitu saja, memperlihatkan bagian atas tubuhnya yang terbalut bra putih. "Ahh, panas!"
Hans memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia melihat AC yang terpasang di kamar yang menunjukkan suhu 16 derajat.
"Yang benar saja?” tanya Hans bingung.
Tidak berhenti sampai di sana, Vania tampak berusaha melepaskan gaun yang membalut tubuhnya.
Pria itu seketika panik dan berusaha menahan tangan Vania agar tidak berbuat nekat. Namun, Vania langsung berontak dan berusaha mendorong Hans dengan tenaga seadanya.
“Lepas!” lirihnya di sela desahan tak menentu.
Melihat Vania yang menggeliat-geliut di atas kasur membuat jiwa kelelakian Hans bangkit. Tapi ia berusaha keras mengabaikan gadis asing di hadapannya.
Kesadaran Vania sudah di ambang batas. Saat Hans hendak beranjak dari kasur, Vania segera menarik tangannya, membuat pria itu kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas Vania.
Dengan jarak yang begitu dekat, keduanya dapat merasakan hangat napas menerpa wajah satu sama lain. Entah siapa yang memulai duluan, tapi bibir keduanya akhirnya bertemu dan saling berpagut mesra.
Lumatan demi lumatan mengikiskan akal sehat masing-masing. Keduanya bergerak liar, melucuti pakaian satu sama lain seiring dengan memanasnya suasana di kamar hotel tersebut.
Vania lepas kendali. Ia tidak dapat menahan hasrat yang bergelora, apalagi Hans dengan lihai menyentuh titik-titik sensitifnya, memanjakannya dengan begitu banyak kenikmatan yang membuat ia melayang.
“Ah…”
Desahan demi desahan memenuhi kamar itu. Mereka tanpa sadar menikmati setiap momen panas yang tercipta dari penyatuan mereka.
Sampai akhirnya, sepasang insan yang tidak saling mengenal itu tertidur dalam satu selimut dan satu bantal yang sama menikmati malam yang panjang.
Menjelang pagi, Vania terbangun dari tidurnya.
Ia tampak linglung menatap seluruh isi ruangan yang asing, lalu mengalihkan pandangannya kepada seorang laki-laki yang berada di sampingnya.
Laki-laki berumur matang berwajah tampan, dengan alis yang tebal serta hidung mancung itu membuat Vania terbelalak.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Astaga! Apa yang telah kulakukan?!” Vania mendesis panik, mencoba mengingat-ingat kejadian semalam.
Takut, ia melihat ke bawah selimut dan membelalak ngeri. Mereka berdua tidak mengenakan sehelai benang pun!
Sambil berusaha menenangkan diri, Vania akhirnya memutuskan untuk beranjak. Ia menatap laki-laki yang masih terlelap itu, mencatat raut wajah tampannya ke dalam memori, sebelum turun dari kasur dan memungut pakaian yang berceceran di lantai.
Ia segera mengenakan pakaiannya dengan cepat. Sebelum membuka pintu, ia menatap ke arah kasur sekal lagi.
"Terima kasih telah menolongku,” gumam Vania lirih. Matanya tampak berair. “Tapi kamu juga telah merenggut kehormatanku…”
Wanita itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menutup pintu.
Vania keluar dari hotel dengan langkah yang gontai. Air matanya tiada henti mengalir ke kedua pipinya.
Hampir dijual kepada pria hidung belang, lalu tidur bersama pria asing … benar-benar malam yang panjang dan tidak terduga.
Vania tidak tahu harus marah ke siapa. Kepada ibu tirinya, kepada semesta, atau kepada diri sendiri?
"Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya lirih.
Ia terus berjalan, menuntunkan langkah kakinya yang mau tak mau harus pulang ke rumah ibu tirinya beberapa tahun terakhir. Meskipun sangat ingin pergi jauh, tapi Vania tidak punya tempat tujuan lain.
Baru saja membuka pintu, sebuah suara yang melengking langsung menghadang langkah Vania.
“Anak sialan! Dari mana saja kamu!?”
"Ma—”“Sudah berani melawan mama?!" sergah Lita, ibu tirinya, tanpa membiarkan Vania menyelesaikan kalimat terlebih dahulu. Mendengar itu, Vania mendengus sinis, tak menjawab apa yang dikatakan oleh ibunya."Begitu caramu balas budi pada orang tua?!” tanya Lita dengan suara semakin meninggi. “Mama cuma meminta tolong agar kamu menemani klien mama makan malam, tapi kenapa kamu malah kabur tanpa pamit?!" cecar wanita paruh baya itu. Amarahnya sudah meledak-ledak.Vania hanya bisa menganga mendengar cecaran Lita. Sepasang matanya yang sembab menatap tajam ke arah wanita itu. “Menemani klien Mama makan?” ulang Vania dengan nada tak percaya. Ia menyergah napas kasar, berusaha menekan amarah yang ikut terpancing. “Bukannya Mama ingin menjualku pada pria hidung belang itu?” Lita membelalak kaget, tidak menduga Vania akan menentangnya seperti itu. “Apa katamu? Berani-beraninya—”“Mama yang memasukkan obat perangsang ke dalam minumanku kan?” sela Vania dengan suara bergetar. “Mama sengaja
Akhirnya pun Vania memutuskan pergi ke luar negeri, Di luar negeri dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk meraih cita-citanya yang tertunda,Hari-harinya di isi dengan kerja untuk mengembangkan bakatnya. Meskipun perjuangannya begitu amatlah berat dan sulit.Kali ini dewi fortuna sedang menghampiri dirinya, takdirnya sangat begitu mulus itu semua karena yang semangat yang luar biasa dan didukung dengan kemauan yang sangat tinggi membuat dirinya sangat begitu dipercaya oleh beberapa perusahaan yang menaungi dirinya,Kini wanita yang berusia 23 tahun bisa berdiri sendiri, menghidupi dirinya sendiri dengan kekutaan dan kemauan yang sangat tinggi."Sekarang aku bisa berdiri di kaki ku sendiri." ujar Vania si wanita yang pantang menyerah. "Aku sudah sangat tak sabar menjemput kesuksesan ku." lanjutnya sambil tersenyum sinis di bibirnya dengan tangan kanan membawa sebuah gelas.Tak di pungkiri Vania berjuang sangat keras itu semua di karenakan dendam yang sangat membara di hatinya,Denda
Dia kembali dengan segudang prestasi, menjadikan seorang wanita yang sudah berubah jauh dari sebelumnya Menjadi wanita yang mandiri yang bisa mengurus dua anak sekaligus,Yang pasti Vania menjadi wanita yang lebih cantik dengan pribadi yang lebih kuat.Wanita single mom yang memiliki pesona yang nampak luar biasa.Kini Vania sudah sampai di negara asalnya, Sekarang dirinya kini berada di sebuah bandara bersama kedua anaknya, Saat Vania sedang berjalan sambil bertelepon, dia tak sengaja menabrak seorang laki-laki yang sedang berdiri yang juga sambil melihat ponselnya"Ahhh." teriak Vania yang terkejut,Vania pun spontan langsung memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Maaf pak." Vania pun menganggukan badannya sebagai permohonan maaf karena tak sengaja menabrak. "Maafkan saya saya teledor." lanjut ucap Vania.Dan laki-laki yang sedang berdiri sambil memakai sebuah kacamata hitam yang menempel di batang hidungnya itu terdiam.Dia pun mengalihkan pandangannya ke arah wanita cantik yang
Keesokan harinya.Wanita dua anak tersebut harus langsung bekerja.Dia memakai sebuah setelan jas berwarna hitam dengan dalaman memakai kemeja berwarna putih, dengan bawahan rok selutut."Anak-anak kalian di rumah ya, mama harus bekerja. Jika kalian ingin makan ambil sendiri, mama sudah siapin di dapur." teriak Vania yang sedang memasang sepatu yang hendak pergi bekerja.Vero dan Vino lekas keluar dari kamar mereka, untuk melepas kepergian mama mereka pergi bekerja."Ma nanti pulang jam berapa?" tanya Vino yang merasa sedikit susah di tinggal Vania.Maklumlah ini adalah hari pertama mereka di tinggal bekerja karena selama di luar negeri Vania selalu kerja di rumah.Vania pun menatap kedua anaknya."Kalian gak usah khawatir, jika nanti mama pulang, mama akan langsung pulang." ujar ibu dua anak itu.Vero pun memeluk Vania, "Ya sudah mama berangkat kerja, mama gak usah khawatir aku akan menjaga Vino kok ma." sahut Vero sang anak pertama Vania.Mereka adalah anak yang selalu berpikir dewas
Dan wanita cantik itu yang jantungnya berdebar, dia pun melangkahkan kakinya untuk kembali ke ruangannya,Dia kembali bekerja dengan perasaan yang tak menentu.Ini adalah hari pertamanya bekerja namun sayang dia bertemu kembali pria yang di temuinya di bandara.Dia yang tak lain pria yang merenggut kesuciannya.Dan Vania pun kembali ke meja kerjanya, dia pun melanjutkan kerjanya yang tertunda.Dia pun memulai menggambar desain sebuah kalung, Vania yang memiliki desain ciri khasnya yang simpel sederhana namun terlihat sangat indah yang jelas dalam rancangannya semua harus memiliki nilai seni."Hemm enaknya ini harus di bagaimana ya? Kenapa aku tak bisa konsentrasi?" tanyanya sendirisambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal itu.Rasanya otaknya seketika tidak bisa berfikir.Dan dia pun mendengus kesal pada dirinya, "Aghhh kenapa aku kurang fokus sih?" lanjutnya sambil menghembuskan nafas panjangnya untuk menetralkan pikirannya.Dan Vania pun beranjak dari duduknya dan dia membuat
Dan laki-laki yang memiliki tinggi 183 cm itu membacanya dengan detail tanap melewatkan satu kata pun.Bola matanya mengikuti setiap kata demi kata yang di bacanya,Dan Hans menelan ludahnya membaca sebuah tulisan riwayat sekolah Vania."Ini adalah sebuah wilayah dimana malam itu terjadi." gumamnya dalam hati..Dan jantungnya pun semakin berdegup dengan kencang.Dan Hans beranjak dari duduknya.Dan dia mengalihkan pandangannya menuju langit yang membiru, untuk menetralkan gemuruh yang ada di dadanya."Sudah ada dua bukti yang mengerucut mengarah ke arah wanita yang bernama Vania Seisilia itu." lanjutnya dalam hati dengan perasaan entah senang atau justru canggung.Keesokan harinya.Di poisisi C3 lagi sedang ramai dengan sebuah rancangan Vita yang sangat fenomenal.Semua para desainer mengerubungi hasil karya Vita.Tak terkecuali Vania, dia sangat kagum dengan desain dari Vita, namun setelah tangannya menyentuh bahan kain yang di gunakan dalam karya Vita membuat Vania mengerutkan alisn
Saat Hans selesai menelepon entah mengapa rasa di dalam dadanya berdegub dengan kencang,Dan dia pun memgang dadanya dengan kedua tangannya."Kenapa jantung ku berdetak tak karuan." Dan dia pun menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkan kembali.Itu di lakukannya untuk menetralkan senam jantungnya yang lumayan cepat.Tok too tok..Suara orang yang mengetuk pintu."Masuk." seru Hans dari dalam rungannya.Dan ternyata yang masuk adalah Vania."Selamat siang bapak, ada apa bapak memanggil saya?" tanya Vania sambil berdiri di depan Hans.Hans pun yang tengah duduk dia pun menatap dari bawah tubuh Vania.Dia menatap kaki Vania lalu tatapan itu menjalar sampai atas."Apa kamu yang bernama Vania?" tanya Hans.Dan Vania pun menganggukan kepalanya.Dan Hans pun mempersilahkan duduk."Aku ingin mengetahui siapa kamu?" lanjut Hans.Dan Vania yang mendengar itu dia pun mengerutkan dahinya, "Mati aku, apa jangan-jangan dia sudah mengetahui siapa aku?" ujarnya dalam hati.Dan Vania berpura-pura
Keesokan harinya."Vero Vino mama berangkat dulu ya kalian kalau mau makan kalian bisa ambil di dapur mama sudah siapin semuanya di dapur," teriak Vania yang sedang memasang sepatunya dan akan bersiap berangkat pergi bekerja.Vero dan Vino pun melangkahkan kakinya mendekati Vania, untuk melepas kepergian mama untuk berangkat bekerja."Kita kapan masuk sekolah ma?" tanya Vero."Iya nih ma aku sudah bosen di rumah." sahut Vino.Vania menjelaskan kepada dua anaknya dengan nada yang amat luar biasa lembut dan mudah di pahami oleh kedua anaknya."Nanti mama ke sekolah kalian dulu, mama mau membayar perlengkapan yang belum mama bayar dan besok kalian bisa sekolah." ujar Vania yang menjelaskan kepada anaknya.Mereka pun berpelukan bersama, Vania pun pamit kepada kedua anaknya untuk bekerja. "Ya udah ini sudah siang, mama berangkat dulu ya anak-anak, jika ada apa-apa kalian bisa telepon mama." lanjutkan sambil membuka pintu apartemennya untuk keluar.Vania melambaikan kedua tangannya,"D