Zein menganggukkan kepala, menuruti ucapan Zahra untuk tak melakukan hal lebih buruk pada Anita dan Deana. "Suruh Marcus untuk mengusir mereka," titah Zein pada Alana, setelah itu menarik Zahra untuk ikut dengannya. Zein membawa Zahra ke kamar, mendudukkan istrinya di tepi ranjang. Zein menghela nafas sejenak, lalu beralih duduk di sebelah Zahra."Jangan terpengaruh oleh perkataan mereka." Zein berucap lembut, mengusap lembut pipi istrinya. Zein tentu khawatir, ucapan kedua wanita brengsek itu akan mempengaruhi istrinya. Zahra sedang amnesia, dan hal seperti tadi bisa merusak memori baik istrinya. Zahra bisa tertekan jika terus memikirkan ucapan Anita dan Deana, mungkin bisa berakhir fatal hingga menyerang kejiawan. Zahra tiba-tiba nyengir, membuat Zein cukup kaget. Lalu perempuan itu menggelengkan kepala secara antusias. "Tidak kok, Suami. Aku tidak terpengaruh dengan perkataan mereka. Sejak awal mereka sudah memperlihatkan karakter buruk di hadapanku jadi aku sama sekali tidak t
Zein menaikkan sebelah alis, tersenyum geli lalu berakhir menyentil kening Zahra. "Kabur?" Zein terkekeh, saking tak percaya secara gemas dengan ucapan istrinya. Hell! Tidak mungkin dia kabur, yang ada sebaliknya. Zein yang takut Zahra kabur! Oh, Tuhan. Istrinya memang sangat menggemaskan! Dia lucu! "Kenapa aku harus kabur?" Zein mendekatkan wajah ke arah Zahra, nadanya lebih rendah sehingga terkesan menggoda bagi Zahra. "Aku terus mengejar dan mengemis cintamu, aku sudah melewati karma terberat untuk bisa memilikimu kembali. Bahkan saking ingin mendapatkanmu, aku ingin mengejarmu--menyusulmu ke akhirat," ucap Zein, di mana suaranya semakin pelan di akhir kalimat. Zahra terdiam, mengerjap-erjap. Dia tertegun mendengar ucapan sang suami. "Karma terberatku adalah kehilangan dirimu, dan karma termanisku adalah hanya bisa mencintaimu," lanjut Zein. Cup'Dia mengecup bibir istrinya lembut, perlahan menyesap dan melumatnya. Zahra yang hanyut oleh sentuhan serta kata-kata manis suaminy
"Siapa Nolan dan apa hubungannya denganku?" Zein menaikkan sebelah alis, menatap istrinya cukup kaget. Jujur saja, Zein tak ingin memberitahu Zahra. Dia belum siap! Namun, Zein takut seseorang mencemari pikiran Zahra, sehingga perempuan ini kembali pergi darinya. "Nolan, dia saudara satu ibu denganku." Zein menjawab datar. Mengingat kejahatan Nolan, yang bukan hanya memisahkan dirinya dengan Zahra, tetapi juga melenyapkan ibu mereka sendiri, Zein rasanya marah. Meskipun Nolan telah tiada, kejahatan Nolan selalu berhasil membuat Zein mendidih. "Hubungannya denganku?" tanya Zahra penasaran. Benarkah Nolan selingkuhnya dan Zahra memilih kabur dengan pria itu? "Dia menyukaimu dan berusaha merebutmu dariku. Dia bekerja sama dengan Belle untuk memisahkan kita lalu terakhir kali dia menculikmu." Zahra mendongak, melototkan mata ke arah Zein. Dia menatap seperti tak mempercayai ucapan Zein tersebut. 'Hah! Nolan menculikku? Jangan-jangan kecelakaan yang menimpaku adalah ulah dia.' Zahra
"Ini adalah dokumen yang Pak suami harus tanda tangani," ucap Zahra sembari menyerahkan sebuah dokumen pada Zein. "Hum." Zein berdehem singkat, meraih dokumen tersebut lalu segera menandatanganinya. "Kau sedang hamil, apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Zein tiba-tiba. Zahra mengerjap beberapa kali, pria ini menunjukkan perhatian padanya. Entah kenapa itu membuat jantung Zahra berdebar kencang. "Tidak, Pak." Zahra menggelengkan kepala. Sebenarnya dia menginginkan sesuatu, bukan karena kehamilannya. Karena keinginan Zahra tak ada sangkut pautnya dengan kondisinya yang hamil. Namun, mereka sedang di kantor, Zahra tak enak meminta. Zein menarik Zahra, menyentak tangan perempuan itu sehingga Zahra berakhir jatuh di pangkuannya. Zahra buru-buru beranjak, akan tetapi Zein lebih dulu melilitkan tangan di pinggang Zahra–membuat Zahra tak bisa kemana-mana, berakhir pasrah duduk dipangkuan Zein. "Aku tahu kau menginginkan sesuatu. Katakan saja," bisik Zein tepat di daun telinga Zahra, me
"Kau tidak apa-apa?" tanya Zein, mengusap pucuk kepala Zahra secara lembut dan penuh kasih sayang. Zein juga mengecup hangat pucuk kepala istrinya, berupaya menenangkan Zahra yang terlihat ketakutan. "Tidak apa-apa." Zahra melepas pelukannya pada Zein, memalingkan wajah juga–merasa malu dengan tindakannya yang tiba-tiba memeluk Zein. Zahra menghela napas lalu melirik Zein sejenak. "Pak Suami kenapa ada di sini?" tanya Zahra kemudian, sebelah dia merasa dirinya lebih tenang. Zein menaikkan sebelah alis, memperhatikan Zahra secara lekat. Perempuan ini tadi memeluknya dengan erat, sekarang terlihat cuek dan terkesan menghindar."Terserah ku, ini perusahaanku," jawab Zein santai, meraih pergelangan Zahra lalu menarik perempuan tersebut. "Entah kenapa kau terlihat sangat seksi hari ini, Wife," ucap Zein serak, mengalungkan tangan di pinggang Zahra. Dia mendekatkan wajah lalu berniat mengecup bibir sang istri, akan tetapi Zahra dengan cepat memalingkan wajah. "Pak, ini di kantor. Tolon
"Syutttt … jangan menangis, Sweetheart." "Aku menginginkanmu, aku sangat menginginkanmu," ucap Zein hangat. Dia mengganti posisi, duduk di kursi Zahra sedangkan istrinya ia dudukkan di atas pangkuannya. "Menginginkan Zahra Aurelia." Zahra meralat. "Berdamai." Zein berkata serak, menatap dalam pada istrinya. Dengan penuh kasih sayang, Zein mengusap air mata sang istri. Zahra mengerutkan kening, tak padam dengan ucapan suaminya. "Hah?""Zahra Aurelia adalah kau sendiri. Berdamai dengan dirimu, terima semua yang telah terjadi," ucap Zein, beralih mengusap pucuk kepala Zahra. Sebisa mungkin Zein melakukan sentuhan-sentuhan hangat untuk menenangkan istrinya yang sedang berperang dengan diri sendiri. Zein tak menyangka hal ini akan terjadi, amnesia yang istrinya alami membuat Zahra bertengkar dengan diri sendiri. "Tapi …-" Mata Zahra kembali memanas, bulir kristal telah berkumpul di pelupuk, "tapi … kalian tidak menerima ku yang seperti ini. Kalian terus menekanku supaya seperti Zahra
"Jika kamu tidak percaya yah sudah." Deana berkata santai, berjalan ke arah sofa lalu duduk dengan santai di sana. "Kamu sangat tidak sopan." Zahra mengkritik, menatap tak suka pada Deana. Perempuan ini seorang tamu, dia belum dipersilahkan duduk tetapi sudah duduk. Masalahnya, dia bahkan bersikap angkuh pada tuan rumah. "Kenapa?" Deana menatap sini pada Zahra, dia duduk melipat kaki lalu bersedekap di dada–menunjukkan keangkuhan secara terang-terangan pada Zahra. "Kamu merasa telah menjadi pemilik rumah ini? Ahahaha …." Deana tertawa dengan anggun di akhir kalimat. "Setelah aku menikah dengan Kak Zein, aku lah yang akan menjadi nyonya di rumah ini. Kalau kamu tetap bersikeras menjadi istri Kak Zein, kamu bisa tinggal di lantai khusus maid. Bawa putramu yang bisu itu juga untuk tinggal bersamamu dan pelayan. Satu lagi, mulai sekarang bersikap baik padaku, karena setelah aku menjadi istri dari Zein Melviano, bisa saja aku mengusirmu dari sini." Syurrr'Tiba-tiba saja Zein muncul, l
Hari ini Zahra ke kantor, dia berangkat dengan Alana karena suatu hal. Saat sudah di kantor, Zahra bertemu dengan Raka. Pria itu mendakinya lalu memberikan sebuah permen coklat untuk Zahra. Hari ini Zahra akan memperlihatkan desain pada semua orang, menjelekan desain secara detail. Zahra sangat gugup tetapi karena Zein menyukai desain yang dia buat, Zahra juga sangat percaya diri."Semangat!" ucap Raka, masih mengukir senyuman indah di bibirnya, "aku yakin presentase mu akan berhasil, desainmu akan menyita semua perhatian orang. Kamu terbaik, Zahra," lanjutnya memberikan dukungan untuk Zahra. "Terimakasih, Paman Raka," ucap Zahra, tersenyum manis pada Raka. 'Dia pria yang hangat dan sangat baik. Sama-sama seorang Melviano tetapi dia dan Suami sangat berbeda.' batin Zahra, kagum pada pribadi Raka yang sangat hangat. Alana menatap coklat di tangan Zahra, lalu senyuman tipis–terlihat getir muncul di bibir. Sepertinya Raka masih menyimpan rasa pada Nona-nya, padahal sudah sekian lama.
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka