"Terimakasih, Pak Suami." Zahra menyeru dengan semangat, memeluk Zein sembari tersenyum lebar pada sang suami. Zein begitu kaget, tak percaya jika istrinya memeluknya. Saking kagetnya Zein, dia beberapa kali mengerjap. Setelah sekian lama, istrinya memeluknya–inisiatif sendiri. Melihat wajah kaku Zein, Zahra menyadari apa yang dia lakukan. Dia langsung melepas pelukan itu, buru-buru meminta maaf pada Zein dengan raut muka tak enak. "Ma-maafkan aku. A--aku tidak bermaksud apa-apa," ucap Zahra kemudian. Ekspresi suaminya terlihat datar, sepertinya Zein tak suka karena Zahra tiba-tiba memeluknya. 'Jangan-jangan Suami berpikir jika aku sangat agresif. Suami rusak suka perempuan agresif, sepertinya.' batin Zahra, melihat Zein hanya diam saja Zahra memilih beranjak dari sana. "Aku pe-pergi dulu." Zahra pamit pergi. Zein seketika tersadar dari kebengongan, berniat ingin menghentikan Zahra akan tetapi perempuan itu lebih dulu pergi. "Sweet …- ah, shit!" umpat Zein di akhir kalimat, kesa
Zein mendengar ke arah Zahra, menyerahkan sebuah kotak hadiah ke arah sang istri. "Buka setelah kita di rumah," ucapnya sembari mengacak pucuk kepala sang istri secara senang. Zahra nyengir lebar, salah tingkah sekaligus gugup secara bersamaan. 'Ya Tuhan, aku juga diberi hadiah oleh Suami. Padahal bantuan darinya juga sudah lebih dari cukup. Aku tidak sabar pulang, aku ingin melihat hadiah apa yang Suami berikan padaku.' batin Zahra senang. Tok tok tok Pintu diketuk dan Zein pergi untuk membuka. Melihat siapa yang datang, raut muka Zein mendadak kusut. Sial! Dia Raka! "Zahra." Raka menyeru senang ke arah Zahra, masuk dalam ruangan Zein tanpa peduli dengan sosok keponakannya yang terlihat memasang air muka tak suka. "Wow! Hadiah dari siapa? Dari kotaknya sudah sangat mewah, pasti isinya adalah sesuatu yang berharga. Menakjubkan," celetuk Raka saat melihat kotak hadiah di pangkuan Zahra. "Hehehe …." Zahra menyengir lebar dan cengengesan, dia sedang tersipu malu, "ini dari Pak Sua
"A--aku tidak nyaman menggunakan pakaian ini, Suami. Ini terlalu terbuka," protes Zahra, yang saat ini sudah mengenakan dress pendek nan seksi berwarna merah menggoda tersebut. Dipadu dengan heels runcing berwarna senada dengan derasnya, penampilan Zahra semakin menantang dan seksi. Zein menetap lekat ke arah sang istri, bahkan matanya tak berkedip karena takjub oleh keindahan sang istri. Zahra begitu cantik, mempesona dan seksi. Zein hanya diam, duduk di pinggir ranjang sembari mengamati Zahra. "Suami," panggil Zahra, semakin tak nyaman karena Zein terus menatapnya. Zahra tahu apa arti tatapan itu, dan tatapan Zein semakin membuat Zahra tidak nyaman. Namun, mengingat terakhir kali sentuhan Zein berhasil membuatnya merasa lebih baik, Zahra berusaha menepis kegugupan tersebut. "Kemarilah," ucap Zein yang telah tersadar dari lamunannya. Zahra menurut, berjalan mendekat pada sang suami. Langkahnya begitu anggun, semakin menambah kesan keindahan dalam dirinya. Zahra tak pernah mengena
Zein memperhatikan Zahra secara lekat, menatap istrinya dengan cara yang indah. Dia tersenyum tipis lalu menganggukkan kepala. 'Istriku sedang mengidam sepertinya,' batinnya, masih tersenyum tetapi kali ini sembari mengacak pucuk kepala Zahra. "Aku temani, Wife," ucap Zein lembut. Zahra terdiam sejenak, mendongak dan memperhatikan Zein secara teliti. 'Kalau senyum begini, suami sangat tampan. Sikapnya juga mendadak manis.' batinnya. "Kau ingin memasak apa, Sweetheart?" tanya Zein, menoleh ke arah masakan istinya lalu memangut tiba-tiba walau Zahra belum menjawab apapun. "Aku membuat sup. Setelah ini ingin membuat ayam goreng," jawab Zahra pelan. "Aku akan bantu," ucap Zein, segera beranjak dari sana untuk menyiapkan bahan membuat ayam goreng bumbu spesial. Namun, dia kembali ke hadapan Zahra. "Sweetheart, katakan apa yang harus kusiapkan?" tanyanya kemudian. Hampir saja Zein lupa jika dia tidak pandai memasak l, sok-sokan ingin menyiapkan bahan. Ini saja Zein khawatir tak mengen
"Tenanglah, Wife. Aku bukan ingin mengganggumu," ucap Zein sembari menahan tangan Zahra yang berniat lari saat melihat Zein muncul dihadapannya. Karena insiden tadi, Zahra malu-malu kucing, bahkan menolak makan siang bersama. Zein greget sekaligus gemas, entah dulu Zahra pernah malu-malu kucing atau tidak akan tetapi Zahra sekarang malu-malu kucing dengan cara yang sangat lucu. Istrinya seperti anak kecil yang tengah terpesona pada seseorang, kagum tetapi tidak berani mendekat. "Aku sedang belajar membuat tas, aku tidak fokus jika ada Pak suami," ucap Zahra pelan dan malu-malu, melirik Zein singkat kemudian buru-buru seolah fokus pada pekerjaannya. Ini pekerjaan baru bagi Zahra, akan tetapi entah kenapa dia mudah memahami. Baru tetapi dia seperti orang lama di bidang ini. Mungkin ingatan yang mulai muncul atau alam bawah sadar yang memberi isyarat pada Zahra. Namun, Zahra tak bohong! Zein sangat mengganggu karena sejak tadi pria ini mengikutinya dan terus memperhatikan apa yang Za
"Zahra sayang." Zahra menatap Alana sesaat kemudian menatap perempuan di hadapannya dengan bingung. Lagi-lagi perempuan ini datang dan bersikap baik. Zahra tak ingin berpikiran buruk, akan tetapi dia sangat mencurigakan bagi Zahra. "Aku membawakan makan siang untukmu." Anita meletakkan rantang di sebuah meja putih yang ada di ruangan tersebut. "Apa kamu ingin langsung makan siang? Tante bisa siapkan sekarang," lanjutnya. Zahra lagi-lagi mengerutkan kening. "Aku akan makan siang dengan Pak Zein," jawab Zahra hati-hati, "dan aku membawa bekal dari rumah.""Kamu bisa memakan makanan yang Tante bawakan. Bekalmu bisa diberikan pada orang lain," ucap Anita, membujuk agar Zahra makan dari bekal yang dia bawa. Zahra menggelengkan kepala, tidak setuju dengan perkataan Anita. "Maaf-- tapi aku bangun jam empat pagi, khusus untuk menyiapkan bekal untukku dan suamiku. Tidak semudah itu aku memberikannya pada orang lain hanya demi memakan bekal darimu. Sekali lagi, maaf, kita tidak sedekat itu
"Ayah jatuh cinta serta ingin menikahi Anita, tetapi jika kamu tidak setuju, Ayah tidak akan melakukannya." Zahra menatap nanar ke arah ayahnya. Tak dapat dipungkiri jika hatinya terluka mendengar ucapan sang ayah. Bukan hanya itu, dia sedih karena memikirkan nasib ibunya. Tak ada kenangan di kepala Zahra tentang ibunya, dia lupa akan hal itu karena kondisi saat ini, akan tetapi Zahra tetap merasa hancur oleh permintaan ayahnya untuk menikah lagi. Apalagi pada sosok perempuan yang pernah merendahkan Zahra. Namun, Zahra tak ingin membuat ayahnya terluka karena keegoisan semata. 'Aku harus bagaimana, Tuhan? Aku bingung dengan kondisi seperti ini.' batin Zahra, menunduk sejenak untuk merenung. "Bagaimana, Nak?" Lucas menatap penuh permohonan pada Zahra, berharap putrinya mau menyetujui. Zahra mendongak, tersenyum getir ke arah ayahnya lalu menjawab, "Ayah, aku tidak bisa memutuskan apapun dalam kondisi lupa ingatan begini. Tunggulah ingatanku pulih, Ayah.""Hah." Lucas menghela napa
"Darimana?"Zahra takut-takut pada suaminya, dia meneguk saliva kasar sembari mengerjap beberapa kali–akibat perasaan tidak tenang dan terancam. "Jawab," dingin Zein, mendekat ke arah Zahra–semakin mengikis jarak antara keduanya. "Aku … ke makam Nenek," cicit Zahra pada akhirnya, menatap ragu pada Zein. "Ditemani oleh Raka?" dingin Zein. Dia tidak bertanya, melainkan menyindir sang istri. Zahra menggelengkan kepala. "Paman datang sendiri. Bukan aku yang meminta." "Tidak mungkin dia tahu kau ke makam kalau kau tidak menghubunginya." Zein berkata dengan nada rendah tetapi menggeram halus, tatapannya semakin dingin–tajam seolah belati yang siap mengiris-iris daging Zahra, "kau semakin dekat dengannya dan kuperhatikan kau lebih nyaman bersama Raka dibandingkan denganku. Apa kau jatuh cinta padanya?" Zahra kembali menggelengkan kepala, begitu kuat dengan mata melebar karena kaget sekaligus tak percaya pada perkataan Zein. "Aku-- aku tidak jatuh cinta pada Paman. Sungguh, dia datang k
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s