"Darimana?"Zahra takut-takut pada suaminya, dia meneguk saliva kasar sembari mengerjap beberapa kali–akibat perasaan tidak tenang dan terancam. "Jawab," dingin Zein, mendekat ke arah Zahra–semakin mengikis jarak antara keduanya. "Aku … ke makam Nenek," cicit Zahra pada akhirnya, menatap ragu pada Zein. "Ditemani oleh Raka?" dingin Zein. Dia tidak bertanya, melainkan menyindir sang istri. Zahra menggelengkan kepala. "Paman datang sendiri. Bukan aku yang meminta." "Tidak mungkin dia tahu kau ke makam kalau kau tidak menghubunginya." Zein berkata dengan nada rendah tetapi menggeram halus, tatapannya semakin dingin–tajam seolah belati yang siap mengiris-iris daging Zahra, "kau semakin dekat dengannya dan kuperhatikan kau lebih nyaman bersama Raka dibandingkan denganku. Apa kau jatuh cinta padanya?" Zahra kembali menggelengkan kepala, begitu kuat dengan mata melebar karena kaget sekaligus tak percaya pada perkataan Zein. "Aku-- aku tidak jatuh cinta pada Paman. Sungguh, dia datang k
"Itu hukuman untukmu karena kau memilih pria lain yang menemanimu dibandingkan suamimu sendiri," dingin Zein, melirik ke arah Zahra yang berbaring membelakanginya. Dia bisa melihat punggung telanjang Zahra yang bergetar, sepertinya diam-diam menangis. Sejujurnya Zein kasihan, cukup tidak tega pada Zahra. Namun, dia tidak peduli, Zein terlanjur diselimuti oleh perasaan cemburu serta marah. Suami mana yang tak marah melihat istrinya pulang diantar pria lain?! Setidak percaya itukah Zahra padanya sehingga Zahra lebih memilih Raka untuk menemaninya ke makam neneknya dibandingkan dirinya. Zein tahu jika Zahra masih tak mencintainya, dia tak memaksa juga agar Zahra kembali mencintainya lalu bersikap seperti Zahra dahulu. Namun, bisakah Zahra sedikit menghargainya?Karma! Tapi-- apa lima tahun terakhir ini belum cukup untuk menghukum Zein? Zein mengalihkan tatapannya dari punggung Zahra, memilih beranjak dari sana. Namun, langkah Zein tertahan. Kakinya tiba-tiba menginjak sesuatu. Zein
Wajah Zein berubah lesu setelah membaca surat tersebut, matanya yang menghunus tajam–menyala akan kemarahan dan kecemburuan, berubah menampilkan sorot sayu dan sendu. Zein merasa bodoh karena mengikuti emosi dan memilih tak mendengar penjelasan Zahra. Zein ingin meremukkan kertas tersebut, melampiaskan kemarahan akibat penyesalan. Namun, dia menahan tangan. Dia mendadak tersenyum lembut saat melihat cap bibir pada bagian bawah kertas. Zein mendekatkan kertas–mengecup cap bibir tersebut lalu mengusap bekas bibir istrinya di sana dengan ibu jari. Lagi-lagi dia tersenyum, berakhir berdecis geli karena mengingat isi dari surat tersebut. Selain penjelasan Zahra tentang Raka yang menemaninya, ada bagian yang membuat Zein hampir lupa dunia. Bagian Zahra menyebut jatuh cinta pada dirinya. Yah, jantung Zein berdebar sangat kuat saat membaca bagian tersebut. Benarkah?! Hell, dia sangat tak percaya akan tetapi kebahagiaan ini terasa nyata. Ada bagian yang menggelitik, di mana Zahra menulis
Setelah mandi, Zein membawa Zahra ke ruang makan. Sesuai permintaan Zahra, Zein kini bergelut di dapur–berusaha membuat masakan yang layak di makan untuk sang istri. Ini masih terlalu pagi, hari masih gelap. Hanya Zahra dan Zein yang berada di sana, cukup sepi namun Zahra merasa sedikit romantis. "Pak Zein benar-benar memasak untukku. Ini kedua kalinya," gumam Zahra pelan, bertopang dagu sembari mengamati Zein secara lekat. Tatapannya yang serius berubah menjadi teduh, senyuman muncul–mengukir indah di bibir. Ada perasaan geli tetapi kagum secara bersamaan saat melihat Zein yang sedang menengadah, setelah suaminya tersebut mengiris bawang. Lucu karena Zein menitihkan air mata oleh sebuah bawang. Akan tetapi Zahar tersentuh secara bersamaan karena suaminya rela menyakiti mata demi Zahra. Tak tega melihat Zein kesusahan, Zahra menghampiri Zein. "Biar aku saja, Suami," ucap Zahra lembut, mengambil alih pisau dan talenan dari Zein. "Matamu bisa pedih." Zein merebut kembali pisau te
"Biarkan aku ma-makan dengan tenang dulu, Suami." Zahra berkata malu-malu, membuat Zein terkekeh pelan sebab gemas dengan raut muka sang istri. "Kau sangat menggemaskan," ungkap Zein, mengacak pucuk kepala Zahra gemas lalu berpura-pura sibuk makan setelahnya. Namun, diam-diam mencuri pandang pada Zahra. ***Hubungan Zein dan Zahra beberapa hari ini menjadi lebih baik. Meskipun sering malu-malu, akan tetapi Zahra menikmati kebersamaannya dengan Zein. Satu lagi, sedikit demi sedikit ingatan Zahra muncul. Ajaib! Setelah Zein membawa Zahra ke makam sang mama, ingatan Zahra perlahan muncul. Mulai dari masa kecil dan saat-saat dia kuliah. Dia juga mengingat perjuangan Zein untuk mendapatkannya, setelah pria itu sadar serta menyesal karena menyia-nyiakan Zahra selama tiga tahun menjadi istrinya. Dulu, ulang tahun pernikahan mereka tak penting bagi Zein. Pria itu tak peduli dan tak merayakan, akan tetapi setelah menyadari kesalahan, bahkan hal kecilpun Zein ingin rayakan bersama Zahra. Z
"Aku ke kamar, Suami. Kepalaku ingin pecah rasanya," ucap Zahra pelan dan lemas, memilih beranjak dari sana dengan langkah gontai. Untung ada Alana yang dengan sigap membantu Zahra berjalan–memapahnya. Plak'Tamparan kuat dan keras seketika melayang ke pipi Deana, setelah Zahra meninggalkan ruangan tersebut. Zein pelakunya. "PUAS?!" teriaknya marah, mencengkeram pipi perempuan tersebut sekuat mungkin. Sengaja menekan lebih kuat dia bagian pipi yang ia tampar tadi. Tubuh Deana bergetar ketakutan, menatap Zein dengan linang krista. Jika tadi dia menangis karena Zein menolak bertanggung jawab, sekarang dia menangis karena takut. "A-apa maksud Kak Zein? A--aku hanya ingin bayiku lahir dengan sosok ayah. Apa aku salah?" parau Deana menangis pelan. "Aku tidak peduli dengan bayi dalam perutmu sialan!" Zein marah besar. Dia menyeret Deana keluar dari ruamnya lalu menghempas begitu saja tubuh perempuan itu, tak peduli jika Deana sedang hamil. "Agkhh …." Deana tersungkur kasar, langsung
"Aku sangat mempercayaimu, Suami, dan itu bukan tanpa alasan," ucap Zahra lembut, masing mengelus surai lebat sang suami.Zein semakin tak percaya, menatap Zahra dengan manik berbinar terang–penuh harap. Muncul perasaan gembira dan perlahan kegundaan serta ketakutan yang sempat melanda dirinya mulai lenyap. "Kau percaya padaku?" tanya Zein, nadanya pelan dan rendah, masih mendongak ke arah Zahra. Tangannya terangkat, melingkar erat di pinggang sang istri. Nyaman! Posisi ini sangat nyaman bagi Zein. Pelukan Zahra begitu menenangkan, jemari tangan perempuan ini yang sedang membelai rambutnya semakin membuat Zein merasakan tenang. "Umm." Zahra menggelengkan kepala, "aku sangat percaya pada suami."Zahra menangkup pipi Zein, membelai rahang suaminya dengan ibu jari. Zahra menunduk, menatap lekat pada manik gelap suaminya. "Kau tidak marah? Ka-kau pasti kecewa padaku, Wife. Maaf-- maafkan aku," ucap Zein penuh penyesalan, mempererat pelukannya pada pinggang Zahra. Dia menyesal karena
Zahra begitu kaget, tergelonjak saat seseorang memeluk tubuhnya dari arah belakang. Dia tahu itu Zein, akan tetapi masalahnya ada Alana di sini! "Su-suami," tegur Zahra malu-malu, melirik gugup ke arah Alana lalu menatap penuh peringatan pada Zein. "Kenapa, Hum?" Zein berdehem rendah dan berat, mengecup pundak Zahra lalu mengeratkan pelukan pada Zahra. Hari ini Zein sangat jauh cinta pada Zahra, rasanya dia ingin terus-terusan memeluk istrinya. Seandainya dia bisa ke masa lalu, Zein akan menemui dirinya dahulu–dirinya yang telah menyia-nyiakan Zahra demi perempuan berbisa. Lalu setelah menemui dirinya di masa itu, Zein akan menonjok wajahnya hingga babak belur. Demi Tuhan! Zein dendam pada dirinya di masa itu. "Ekhm." Alana berdehem pelan, buru-buru berdiri kemudian segera menghadap tuan dan nyonya-nya. "Sepertinya saya menganggu. Saya pamit, Tuan dan Nyonya," ucap Alana salah tingkah sendiri, membungkuk pada Zahra dan Zein lalu segera keluar dari ruangan tersebut. "Ck, dia mema
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s