"Tenanglah, Wife. Aku bukan ingin mengganggumu," ucap Zein sembari menahan tangan Zahra yang berniat lari saat melihat Zein muncul dihadapannya. Karena insiden tadi, Zahra malu-malu kucing, bahkan menolak makan siang bersama. Zein greget sekaligus gemas, entah dulu Zahra pernah malu-malu kucing atau tidak akan tetapi Zahra sekarang malu-malu kucing dengan cara yang sangat lucu. Istrinya seperti anak kecil yang tengah terpesona pada seseorang, kagum tetapi tidak berani mendekat. "Aku sedang belajar membuat tas, aku tidak fokus jika ada Pak suami," ucap Zahra pelan dan malu-malu, melirik Zein singkat kemudian buru-buru seolah fokus pada pekerjaannya. Ini pekerjaan baru bagi Zahra, akan tetapi entah kenapa dia mudah memahami. Baru tetapi dia seperti orang lama di bidang ini. Mungkin ingatan yang mulai muncul atau alam bawah sadar yang memberi isyarat pada Zahra. Namun, Zahra tak bohong! Zein sangat mengganggu karena sejak tadi pria ini mengikutinya dan terus memperhatikan apa yang Za
"Zahra sayang." Zahra menatap Alana sesaat kemudian menatap perempuan di hadapannya dengan bingung. Lagi-lagi perempuan ini datang dan bersikap baik. Zahra tak ingin berpikiran buruk, akan tetapi dia sangat mencurigakan bagi Zahra. "Aku membawakan makan siang untukmu." Anita meletakkan rantang di sebuah meja putih yang ada di ruangan tersebut. "Apa kamu ingin langsung makan siang? Tante bisa siapkan sekarang," lanjutnya. Zahra lagi-lagi mengerutkan kening. "Aku akan makan siang dengan Pak Zein," jawab Zahra hati-hati, "dan aku membawa bekal dari rumah.""Kamu bisa memakan makanan yang Tante bawakan. Bekalmu bisa diberikan pada orang lain," ucap Anita, membujuk agar Zahra makan dari bekal yang dia bawa. Zahra menggelengkan kepala, tidak setuju dengan perkataan Anita. "Maaf-- tapi aku bangun jam empat pagi, khusus untuk menyiapkan bekal untukku dan suamiku. Tidak semudah itu aku memberikannya pada orang lain hanya demi memakan bekal darimu. Sekali lagi, maaf, kita tidak sedekat itu
"Ayah jatuh cinta serta ingin menikahi Anita, tetapi jika kamu tidak setuju, Ayah tidak akan melakukannya." Zahra menatap nanar ke arah ayahnya. Tak dapat dipungkiri jika hatinya terluka mendengar ucapan sang ayah. Bukan hanya itu, dia sedih karena memikirkan nasib ibunya. Tak ada kenangan di kepala Zahra tentang ibunya, dia lupa akan hal itu karena kondisi saat ini, akan tetapi Zahra tetap merasa hancur oleh permintaan ayahnya untuk menikah lagi. Apalagi pada sosok perempuan yang pernah merendahkan Zahra. Namun, Zahra tak ingin membuat ayahnya terluka karena keegoisan semata. 'Aku harus bagaimana, Tuhan? Aku bingung dengan kondisi seperti ini.' batin Zahra, menunduk sejenak untuk merenung. "Bagaimana, Nak?" Lucas menatap penuh permohonan pada Zahra, berharap putrinya mau menyetujui. Zahra mendongak, tersenyum getir ke arah ayahnya lalu menjawab, "Ayah, aku tidak bisa memutuskan apapun dalam kondisi lupa ingatan begini. Tunggulah ingatanku pulih, Ayah.""Hah." Lucas menghela napa
"Darimana?"Zahra takut-takut pada suaminya, dia meneguk saliva kasar sembari mengerjap beberapa kali–akibat perasaan tidak tenang dan terancam. "Jawab," dingin Zein, mendekat ke arah Zahra–semakin mengikis jarak antara keduanya. "Aku … ke makam Nenek," cicit Zahra pada akhirnya, menatap ragu pada Zein. "Ditemani oleh Raka?" dingin Zein. Dia tidak bertanya, melainkan menyindir sang istri. Zahra menggelengkan kepala. "Paman datang sendiri. Bukan aku yang meminta." "Tidak mungkin dia tahu kau ke makam kalau kau tidak menghubunginya." Zein berkata dengan nada rendah tetapi menggeram halus, tatapannya semakin dingin–tajam seolah belati yang siap mengiris-iris daging Zahra, "kau semakin dekat dengannya dan kuperhatikan kau lebih nyaman bersama Raka dibandingkan denganku. Apa kau jatuh cinta padanya?" Zahra kembali menggelengkan kepala, begitu kuat dengan mata melebar karena kaget sekaligus tak percaya pada perkataan Zein. "Aku-- aku tidak jatuh cinta pada Paman. Sungguh, dia datang k
"Itu hukuman untukmu karena kau memilih pria lain yang menemanimu dibandingkan suamimu sendiri," dingin Zein, melirik ke arah Zahra yang berbaring membelakanginya. Dia bisa melihat punggung telanjang Zahra yang bergetar, sepertinya diam-diam menangis. Sejujurnya Zein kasihan, cukup tidak tega pada Zahra. Namun, dia tidak peduli, Zein terlanjur diselimuti oleh perasaan cemburu serta marah. Suami mana yang tak marah melihat istrinya pulang diantar pria lain?! Setidak percaya itukah Zahra padanya sehingga Zahra lebih memilih Raka untuk menemaninya ke makam neneknya dibandingkan dirinya. Zein tahu jika Zahra masih tak mencintainya, dia tak memaksa juga agar Zahra kembali mencintainya lalu bersikap seperti Zahra dahulu. Namun, bisakah Zahra sedikit menghargainya?Karma! Tapi-- apa lima tahun terakhir ini belum cukup untuk menghukum Zein? Zein mengalihkan tatapannya dari punggung Zahra, memilih beranjak dari sana. Namun, langkah Zein tertahan. Kakinya tiba-tiba menginjak sesuatu. Zein
Wajah Zein berubah lesu setelah membaca surat tersebut, matanya yang menghunus tajam–menyala akan kemarahan dan kecemburuan, berubah menampilkan sorot sayu dan sendu. Zein merasa bodoh karena mengikuti emosi dan memilih tak mendengar penjelasan Zahra. Zein ingin meremukkan kertas tersebut, melampiaskan kemarahan akibat penyesalan. Namun, dia menahan tangan. Dia mendadak tersenyum lembut saat melihat cap bibir pada bagian bawah kertas. Zein mendekatkan kertas–mengecup cap bibir tersebut lalu mengusap bekas bibir istrinya di sana dengan ibu jari. Lagi-lagi dia tersenyum, berakhir berdecis geli karena mengingat isi dari surat tersebut. Selain penjelasan Zahra tentang Raka yang menemaninya, ada bagian yang membuat Zein hampir lupa dunia. Bagian Zahra menyebut jatuh cinta pada dirinya. Yah, jantung Zein berdebar sangat kuat saat membaca bagian tersebut. Benarkah?! Hell, dia sangat tak percaya akan tetapi kebahagiaan ini terasa nyata. Ada bagian yang menggelitik, di mana Zahra menulis
Setelah mandi, Zein membawa Zahra ke ruang makan. Sesuai permintaan Zahra, Zein kini bergelut di dapur–berusaha membuat masakan yang layak di makan untuk sang istri. Ini masih terlalu pagi, hari masih gelap. Hanya Zahra dan Zein yang berada di sana, cukup sepi namun Zahra merasa sedikit romantis. "Pak Zein benar-benar memasak untukku. Ini kedua kalinya," gumam Zahra pelan, bertopang dagu sembari mengamati Zein secara lekat. Tatapannya yang serius berubah menjadi teduh, senyuman muncul–mengukir indah di bibir. Ada perasaan geli tetapi kagum secara bersamaan saat melihat Zein yang sedang menengadah, setelah suaminya tersebut mengiris bawang. Lucu karena Zein menitihkan air mata oleh sebuah bawang. Akan tetapi Zahar tersentuh secara bersamaan karena suaminya rela menyakiti mata demi Zahra. Tak tega melihat Zein kesusahan, Zahra menghampiri Zein. "Biar aku saja, Suami," ucap Zahra lembut, mengambil alih pisau dan talenan dari Zein. "Matamu bisa pedih." Zein merebut kembali pisau te
"Biarkan aku ma-makan dengan tenang dulu, Suami." Zahra berkata malu-malu, membuat Zein terkekeh pelan sebab gemas dengan raut muka sang istri. "Kau sangat menggemaskan," ungkap Zein, mengacak pucuk kepala Zahra gemas lalu berpura-pura sibuk makan setelahnya. Namun, diam-diam mencuri pandang pada Zahra. ***Hubungan Zein dan Zahra beberapa hari ini menjadi lebih baik. Meskipun sering malu-malu, akan tetapi Zahra menikmati kebersamaannya dengan Zein. Satu lagi, sedikit demi sedikit ingatan Zahra muncul. Ajaib! Setelah Zein membawa Zahra ke makam sang mama, ingatan Zahra perlahan muncul. Mulai dari masa kecil dan saat-saat dia kuliah. Dia juga mengingat perjuangan Zein untuk mendapatkannya, setelah pria itu sadar serta menyesal karena menyia-nyiakan Zahra selama tiga tahun menjadi istrinya. Dulu, ulang tahun pernikahan mereka tak penting bagi Zein. Pria itu tak peduli dan tak merayakan, akan tetapi setelah menyadari kesalahan, bahkan hal kecilpun Zein ingin rayakan bersama Zahra. Z